Antara Panggung Meriah dan Ruang yang Tak Terlihat di Cherrypop 2025

Langkah selanjutnya, Cherrypop mungkin perlu memastikan ulang ruang yang dapat diakses oleh berbagai macam tubuh dan cara bergerak.

Cherrypop kembali hadir di tahun 2025 dengan membawa warna dan energi yang sulit diabaikan. Dari jauh, gemerlap panggungnya seperti pusat gravitasi yang menarik semua mata. Lampu sorot menari di udara malam, musik bergema di setiap sudut dan arus manusia mengalir dari satu area ke area lain. Ada stand makanan dengan aroma yang memanggil, instalasi seni yang jadi latar foto, hingga obrolan santai di tikar-tikar yang digelar di tanah.

Di sisi lain, suasananya layaknya pesta besar yang dirayakan tanpa jeda. Ada yang mengantri minuman sambil bercanda dengan teman lama, ada yang sibuk memburu spot foto paling instagramable, dan ada juga yang diam-diam duduk di sudut, sekadar menikmati orang-orang yang lalu lalang. Cherrypop selalu berhasil menciptakan sebuah ruang (baca: ekosistem) di mana energi kreatif mengalir bebas, seolah setiap orang yang datang, berniat membagikan sesuatu. Entah itu karya, cerita, atau sekadar senyum singkat di tengah keramaian.

Semua itu menghadirkan kesan hangat, tempat orang bertemu dan kesempatan bagi ide-ide untuk saling bersentuhan serta bertautan. Sejak awal, Cherrypop memang dikenal sebagai festival yang menyatukan banyak genre musik, seni rupa, film, hingga kuliner. Masing-masing punya panggungnya sendiri, namun tetap dalam satu ekosistem yang sama dan saling memberi warna. Keberagaman inilah yang membuatnya terasa kaya.

Namun di tengah semua itu, saya sempat bertanya kepada diri sendiri: “siapa yang benar-benar bisa ikut merayakan semua ini?” 

Pertanyaan tersebut muncul bukan karena saya melihat kesenjangan yang kasat mata, tetapi justru saya terlalu sering melihat wajah yang sama. Wajah-wajah yang sudah terbiasa datang ke festival, terbiasa bergerak leluasa di tengah kerumunan, dan terbiasa mengakses semua sudut venue tanpa hambatan. 

Bayangkan jika perspektifnya dibalik. Bagaimana jika saya datang dengan kursi roda? Bagaimana jika saya menggunakan tongkat? Bagaimana jika pendengaran atau penglihatan saya terbatas? Bagaimana jika peta festival yang sebelumnya sederhana, berubah menjadi peta yang penuh labirin untuk jalur akses difabel?

Kumpulan pertanyaan itu kemudian saya refleksikan di Cherrypop 2025. Memang ada beberapa titik yang relatif datar untuk memudahkan akses untuk difabel, tetapi tidak semua area terhubung dengan mulus. Panggung yang posisinya agak tinggi tidak selalu menyediakan jalur landai dan ruang duduk khusus difabel, kalaupun ada, itu tidak terlihat jelas. 

Kondisi tersebut bukan berarti panitia sama sekali mengabaikan isu ini. Barangkali memang ada pertimbangan teknis, keterbatasan anggaran, atau tantangan di lokasi yang sulit diatasi. Namun nyatanya, informasi mengenai fasilitas aksesibilitas jarang terdengar. Tidak banyak papan penunjuk, tidak banyak pengumuman, dan di kanal komunikasi resmi pun, detail ini sering luput. Rasanya seperti bisikan pelan di tengah musik yang menggelegar. Ada, tapi sulit untuk benar-benar didengar.

(dok. Official Dokumentasi Cherrypop 2025)

Fenomena ini sebenarnya bukan hanya milik Cherrypop. Banyak festival, baik skala lokal maupun internasional masih menempatkan isu aksesibilitas sebagai catatan pinggir. Keberagaman kerap didefinisikan sebatas hadirnya beragam komunitas kreatif, percampuran genre musik, atau penampilan yang menampilkan identitas budaya berbeda.

Semua itu penting dan patut diapresiasi. Namun, keberagaman yang sejati bukan hanya soal apa yang terlihat di atas panggung, melainkan juga siapa yang duduk di depan panggung, dan bagaimana semua orang bisa berada di sana tanpa rasa canggung atau terhalang secara fisik. 

Kita jarang membicarakan bahwa keberagaman juga berarti keberagaman cara hadir. Ada yang berdiri di barisan depan dan bernyanyi sekuat tenaga, ada yang memilih untuk duduk jauh di belakang sambil menikmati dari kejauhan, ada yang membutuhkan kursi karena tidak bisa berdiri lama, ada yang membutuhkan jalur lebar untuk alat bantu jalan, bahkan ada yang membutuhkan ruang tenang karena terlalu sensitif dengan keramaian dan suara keras.

Pengalaman festival semestinya bisa dirasakan siapa saja. Inklusivitas bukanlah “fitur tambahan” yang bisa disisipkan di akhir persiapan, melainkan bagian dari rancangan acara sejak awal.

Sama seperti memilih line-up artis atau menata pencahayaan, aksesibilitas seharusnya masuk ke meja perencanaan di tahap paling awal. 

Bayangkan jika aksesibilitas ini benar-benar menjadi prioritas. Kita mungkin akan melihat festival yang menyediakan peta khusus untuk pengunjung difabel, jalur landai di semua area, informasi audio untuk mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan, bahkan layar teks real-time untuk penonton dengan keterbatasan pendengaran. Tidak hanya itu, panitia yang terlatih untuk membantu, papan penunjuk yang jelas, dan kanal komunikasi yang secara aktif mengumumkan fasilitas ini akan membuat pesan inklusivitas terasa nyata. 

Cherrypop sudah membuktikan diri sebagai ruang kreatif yang mampu merangkul banyak disiplin seni. Namun, langkah selanjutnya mungkin adalah memastikan ruang itu benar-benar dapat diakses oleh berbagai macam tubuh dan cara bergerak. Sebab keberagaman yang paling bernilai adalah keberagaman yang terasa. Bukan hanya yang terlihat tetapi juga yang mempersilahkan semua orang masuk, bukan hanya mereka yang sudah terbiasa berada di dalam. 

(dok. Official Dokumentasi Cherrypop 2025)

Saya membayangkan festival di masa depan, di mana keberagaman penonton menjadi bagian dari “pemandangan panggung”. Di mana penonton yang duduk di kursi roda tak harus memandang dari sudut sempit, di mana seseorang dengan alat bantu dengar bisa mengikuti lirik lagu yang sedang dibawakan, di mana mereka yang membutuhkan ruang tenang bisa tetap menikmati acara tanpa harus keluar dari venue. 

Mungkin, di festival berikutnya kita bisa melihat pemandangan yang lebih utuh dengan panggung yang tetap meriah dan penonton yang lebih beragam secara nyata. Bukan hanya di identitas kreatif, tetapi juga dalam cara setiap orang hadir dan menikmati. Karena pada akhirnya, merayakan kreativitas akan lebih indah jika semua orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari perayaan itu. 

Pesta tanpa akses yang merata mungkin tetap meriah, tapi ada sebagian orang yang hanya bisa melihatnya dari kejauhan bukan karena mereka tidak mau datang tetapi karena ruang itu belum benar-benar memanggil mereka untuk masuk. Dan bukankah panggung terbaik adalah yang bisa membuat semua orang merasa diterima, apa pun cara mereka melangkah, duduk, atau mendengar musik yang mengalun?  


Editor: Zhafran Naufal Hilmy
Foto sampul: Official Dokumentasi Cherrypop 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Melihat Nafas Ekonomi Musik-Musikan dalam Cherrypop 2025

Next Article

Tiga Obrolan yang Takkan Tercatat, Kalau Bukan Aku yang Mulai: Kabar-Kaburan Vol.2

Related Posts