Saat ini, tiga perusahaan di Jepang sedang berkerja sama mengembangkan mesin yang sanggup memperbaiki kabel. Mesin ini dapat menjangkau ketinggian 10 meter, dan mengangkat beban maksimal 40 kg. Bahkan, mesin ini dianggap bisa mengganti sepertiga tenaga pekerja.
Mereka menyebut mesin ini, robot Humanoid. Penamaan Humanoid (human [Inggris]: manusia), mungkin dimaksudkan karena bentuknya yang sedikit menyerupai manusia, atau mungkin alasan yang lebih masuk akal karena robot ini diikhtiarkan mengganti kerja makhluk biologis bernama manusia. Diperkirakan, dua tahun lagi robot ini baru akan siap sepenuhnya.
Sekarang, bayangkan robot humanoid telah diproduksi massal. Saat ada perbaikan kabel di depan rumah, penampakan seperti di tahun-tahun sebelumnya, ketika pengerjaannya dilakukan tiga sampai empat orang menggunakan helm kuning menaiki tangga untuk menggapai kabel telah sirna. Pengerjaannya kini hanya dilakukan dua personil, yakni satu pekerja dan satu lagi robot humanoid.
Si pekerja itu tinggal mengendalikan dan mengarahkan robot pada bagian bermasalah, atau menggunakan mode auto sehinggga ia akan beraksi sendiri tanpa perlu dikendalikan. Jelas, eksistensi robot ini sangat membantu praksis manusia, setidak-tidaknya menghindarkan pekerja dari sengatan listrik kabel, apalagi sampai jatuh dari ketinggian yang dapat meregang nyawa.
Optimisme pengembangan robot di Jepang sana merupakan salah satu bagian dari bejibun inovasi yang sedang digarap umat manusia hari ini di berbagai belahan dunia. Kita bisa menjamin dalam beberapa dekade ke depan, akan lahir berbagai robot humanoid lain di berbagai jenis pekerjaan.
Inovasi seperti ini tidak akan berhenti sampai kapanpun. Hal baru akan terus lahir di tengah-tengah kita, terutama yang membantu kebutuhan praksis manusia. Sebabnya, manusia mencintai atau mengejar kemudahan, dalam kata lain pragmatisme. Dalam bahasa yang lebih sarkas, manusia sama dengan pragmatisme itu sendiri Sementara pragmatisme menuntut terciptanya inovasi terus-menerus.
Manusia mungkin tidak sadar, segala macam pengetahuan yang kita upayakan di bangku sekolah dari sejak PAUD hingga kuliah adalah untuk pragmatisme. Orang tua, tetangga, dan diri sendiri yakin menghabiskan waktu belajar di sekolah, lalu memperoleh ijazah akan mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih dari cukup. Manusia pun bisa menabung dan membayangkan menikmati masa tua atau saat tidak lagi dapat bekerja, duduk bersantai di teras menikmati pagi. Alhasil, banyak anak disekolahkan dengan bayaran kenyamanan hidup nyaman di masa depan nanti, sebagaimana bayangan benak orang tua mereka.
Meskipun di satu sisi tenaga manusia akan tergantikan mesin tak bernyawa, yang artinya akan semakin meningkatkan efisiensi dan meminimalisir resiko kerja. Di sisi lain dampak negatif dari robotisasi masihlah amat menghkhawatirkan. Bagi pengembangan perusahaan sendiri, tindakan robotisasi, yaitu segala pekerjaan praktis dilakukan oleh robot, dapat menghemat banyak uang.
Namun tanpa sengaja, perusahaan telah menelantarkan kehidupan banyak karyawan yang selama ini mata pencarian nafkahnya bergantung padanya. Seperti saat menggilanya pandemi kemarin, buruh-buruh tidak lagi memperoleh gaji, karena tempat kerja mereka lockdown.
Alhasil, kemiskinan meningkat, anak-anak mereka tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak mampu bayar SPP. Atau, lebih parah lagi, mereka jadi terkapar kelaparan sebab tidak ada lagi yang bisa dimakan dan tidak ada sepeser uang untuk dibelikan sembako. Sebagian orang berpikir, bayangan tadi terlalu keterlaluan. Yang perlu ditanamkan adalah bahwa setiap inovasi baru, bukan menghimpit lapangan kerja, tetapi membuka peluang kerja lebih luas.
Karl Benz pada akhir abad 19 menyelesaikan proyek mobil tenaga bensin pertama kali. Karya Benz ini segera menyebar luas, orang-orang berpindah dari kereta kuda yang sudah sejak lama mereka gunakan sebagai transportasi utama. Bisnis kereta kuda di berbagai tempat dan para pelaku di dalamnya mati. Namun, di kesempatan lain, industri mobil dibangun di mana-mana dan begitu pula bensin sehingga membutuhkan banyak pekerja. Lapangan kerja baru pun tercipta.
Siklus inovasi tidak selalu seperti yang dibayangkan sebagian orang tadi. Robotisasi atau mengganti kerja manusia dengan robot memungkinkan lapangan kerja semakin sempit. Melalui kecanggihan teknologi dan kerja robot-robot, nantinya kita bisa membayangkan perusahaan-perusaahan dengan pehasilan ratusan triliun dijalankan oleh tak lebih dari segelintir orang yang mengendalikan dari balik layar komputer.
Kerja-kerja kasar dilakukan robot, sementara para pemilik perusahaan hanya duduk mengamati dari monitor yang terpampang di dinding kantornya. Dari sini kita tahu, robotisasi mengancam kehidupan kelas buruh. Salah satu dari mereka, mungkin berusul, bagaimana jika kita memerintahkan ilmuwan dan peneliti berhenti melakukan inovasi demi menjamin kesejateraan banyak orang? Tentu tidak bisa.
Seperti kata Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, kerja mereka itu seperti titik-titik berjauhan yang seperti tidak akan terhubung dengan penelitian lain dan tidak diketahui pula bagaimana pengaruh temuan mereka pada praksis sosial, ekonomi, dan seterusnya. Oleh karenanya, kita tidak tahu harus meghentikan ilmuwan. Siapakah di antara mereka yang mengancam masa depan kelas buruh.
Robotisasi kerja merupakan keniscayaan masa depan kita dan ancaman bagi kelas buruh. Jalan keluar yang mungkin untuk saat ini dipikirkan adalah membuat sistem kesejahteraan. Para kapital memiliki tanggung jawab menjamin kesejahteraan kelas buruh. Pemerintah sangat dibutuhkan dalam membuat sistem itu. Otoritasnya sangat diperlukan untuk menekan kaum kapital. Misalnya dengan menaikkan pajak, mewajibkan membuat yayasan sosial, penyediaan pendidikan gratis dan semacamnya.
Akhirnya, pembacaan ini tidak lebih dari sekadar meraba-raba dalam gelap. Robotisasi kerja yang mengancam masa depan buruh bisa saja benar terjadi suatu hari nanti, atau mungkin saja terjadi sebaliknya, robotisasi kerja tetap berlangsung tanpa ada tekanan pada buruh. Atau dua-duanya mungkin tidak terjadi sama sekali. Tak ada yang tahu. Namun setidaknya, dengan mengetahui kemungkinan ini kita bisa mengambil langkah yang lebih bijak ke depannya.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: AFP/GETTY IMAGES