“Kurang tidur Bo? Matamu udah kayak ketek batman gitu,” ucap Heru sambil menuang susu yang sudah dia kocok ke segelas es.
“Mimpi, Her,” jawabku dengan mata yang becek penuh uap. Sudah 2 bulan mimpi buruk itu mampir semenjak ritual yang Mamak lakukan, yaitu menelponku tepat di jam 7 pagi tiap hari untuk menceritakan mimpinya. Ceritanya selalu sama. Di mimpi itu, aku berangkat kerja dengan mengenakan seragam coklat muda.
Awalnya aku malas mengangkat teleponnya, tetapi Mamak mempunyai ancaman yang setara dengan ancaman pembunuhan. Dia tidak akan mengirimkan uang bulanan lagi jika aku tidak mengangkatnya. Mau tak mau aku mengorbankan telinga ini demi kedamaian ususku.
Mamak selalu mengakhiri telepon dengan kata yang sama pula, yaitu “Mamak sayang kamu.” Aku selalu gatal mendengarnya. Jika dia benar-benar sayang, harusnya dia berhenti menelponku seperti hari ini. Itulah mengapa hari ini kupingku bisa bersantai dengan damai.
Heru meletakan segelas susu di hadapanku dan duduk. Dia langsung mengemut rokok, menyalakannya, dan bertanya padaku.
“Gimana mimpimu?”
“Ngeri, Her. Tiap hari mimpinya selalu terulang persis!” Aku mengambil rokok yang bertengger di asbak kaca. Tanganku gemetar. Rokok aku hisap dan aku hembuskan pelan-pelan.
“Aku ada di ruangan penuh sekat. Aku duduk di antara sekat itu menghadap sebuah komputer, sama seperti tiap orang di sana. Tanganku selalu mengetik tanpa ku suruh. Semakin aku mencoba berhenti, semakin cepat jariku menari di atas papan berhuruf itu. Aku tak mengerti isi layar di hadapanku, tetapi aku menemukan kejanggalan dari pantulan layar. Aku melihat kepalaku berbentuk kotak! Tidak hanya itu. Dadaku bolong! Bolong sebesar bola futsal. Aku menjerit keras. Jeritan itu tidak bertahan lama, karena sebuah dasi tiba-tiba menamparku. Dasi itu digenggam oleh manusia berkepala anjing yang mengenakan jas. Makhluk itu menghujaniku dengan cambukan dasi hingga aku terbangun.”
Selesai bercerita, keningku basah bagai embun di gelas es susu yang sedang ku teguk. Berbeda denganku, Heri malah tertawa.
“Artinya bagus itu Bo! Kamu bakal dapat kerja kayak mimpiku,” ucap Heru setelah menepuk pundakku dengan senyum kudanya.
Heru berkata seperti itu karena sebelum dia bekerja di warung kopi ini, dia juga sempat mendapatkan sebuah mimpi berulang. Dia bermimpi terapung-apung di sebuah danau kopi. Badannya menjadi terasa pahit, tapi jiwanya terasa tenang. Sebenarnya cerita dari mimpi dia lebih panjang. Hanya saja aku malas untuk menghapal karena banyak mengandung senja dan lagu akustik.
Heru sangat yakin bahwa mimpi itu adalah pertanda baik. Aku tidak setuju. Mimpi ya mimpi. Bunga tidur. Tiap orang bisa dapat bunga yang indah, bau, atau tajam. Tapi itu tidak penting, karena toh ketika matamu melek bunga itu akan musnah.
“Kerja kantoran itu enak loh Bo.”
“Kata siapa? Kerja kantoran cuma kayak budak kurang gerak. Cuma duduk-duduk, pura-pura kerja, sambil ngomongin atasan.”
“Kan enak gajinya gede.”
“Tapi seragamnya jelek.”
Heru terbahak. “Namanya juga kerja ya ada ketentuannya Bo.”
“Kamu sama aja kayak Mamakku, Her. Lama-lama warungmu ku bakar juga!”
***
Aku selalu ingat kata Bapak di depan kolam lele. Dia berkata, “Bapak semalam mimpi, kamu bakal jadi orang hebat!”
Waktu itu aku masih SD, jadi aku tidak begitu paham maksud Bapak. Mimpinya tidak spesifik. Aku hanya tahu bahwa itu adalah terakhir kali aku melihat bapak. Mamak pun selalu menjadi tuli ketika ku tanya keberadaan Bapak.
Lima tahun Bapak lenyap begitu saja. Aku sampai lupa jika aku punya Bapak, hingga akhirnya Lik Mul yang sedang mabuk berat tiba-tiba mengoceh tentang Bapak. Lik Mul berkata bahwa Bapak adalah orang hebat. Bapak dikenal di mana-mana dengan julukan Dewa Judi Ngantuk.
Julukan Bapak tidak sembarang sebut. Bapak memiliki kesaktian. Tiap angka yang Bapak pilih pasti dijamin tembus. Bapak tidak asal menebak karena angka-angka itu muncul di mimpi Bapak. Akan tetapi, kesaktian Bapak hilang 5 tahun lalu. Bapak tidak lagi memimpikan angka-angka. Dia malah ditibani angka-angka hutang. Sejak saat itu pun legenda Bapak berakhir.
***
Warung Kopi ini cukup sepi. Orang-orang sibuk dengan laptop mereka, tidak seperti aku yang sibuk mengamati mereka. Heru pun menghampiri ku lagi setelah selesai mengantarkan segelas americano.
“Yaudah kamu daftar sini aja. Nemenin aku.”
“Gak sudi. Gajinya kecil.”
“Daripada minta Mamakmu terus.”
Heru terdiam. Pandangan orang-orang langsung tertuju ke kami setelah mendengar suara beling pecah bergelegar. Napasku kacau. Aku terkaget melihat beling dan abu berantakan di lantai. Aku menatap Heru dan berkata.
“Maaf Her, nanti aku ganti.”
“Kalo betah nganggur ya sana. Aku gak seberuntung kamu dibiayai orangtua.”
“Her nanti..”
“Metuo!”
Aku langsung mengambil jaketku dan melangkah keluar. HP-ku bergetar. Nama Lik Mul muncul di layar. Hal terakhir yang ku ingat di hari itu adalah Lik Mul yang membicarakan Mamak, api di rumah, dan Heru yang berlari ke arahku.
***
Ruangan ini secerah siang, tapi mataku seperti mati lampu. Kemeja yang dikenakan mbak-mbak di hadapanku sungguh mulus. Wangi citrus tak berhenti terbang dari tubuhnya ke hidungku. Wangi itu sangat kontras dengan bekas sungai di pipiku.
“Silakan perkenalkan diri anda,” ucapnya dengan senyum manis dan pipinya yang berbulu tipis.
“Nama saya Bo. Rebo Mulyono,” ucapku terbata. Mbak-mbak itu tiba-tiba tertawa.
“Lucu sekali. Semalam saya juga bermimpi memegang amplop bertuliskan Rebo Mulyono,” mbak-mbak itu melanjutkan tertawanya. Aku mencoba meniru tawanya, tapi tidak sanggup. Sepertinya pipiku akan basah lagi.
Ilustrasi & Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho