Sebuah ruang kerja kreatif yang dikelola secara mandiri bernama Lintas Kultura menggelar Festival Lintas Kultura di Bumi Watu Obong, Gunungkidul pada Minggu (16/7/2023). Festival tersebut menjadi tanda atas peristiwa yang telah dibuat jaringan kreatif anak muda dari berbagai daerah.
Program Director Lintas Kultura, Yuka Sakalingga Mahesa, mengatakan bahwa festival tersebut menjadi peristiwa bersama atas jejaring anak muda setelah selesainya rangkaian kelas kreatif yang digelar selama satu minggu sebelumnya.
Yuka menjelaskan festival tersebut menghadirkan panggung seni, mural, dan pertunjukan musik dari pegiat seni yang terlibat dalam Lintas Kultura melalui jejaring Jala Skena. Tidak hanya itu, beberapa usaha mikro kecil menenengah (UMKM) setempat juga terlibat. Beragamnya produk khas dari UMKM setempat yang dihadirkan menjadi wujud dukungan terhadap ekosistem lokal.
“Kegiatan hari ini namanya wilujengan [slametan], ini adat Jawa yang biasa dilakukan di Gunungkidul. Salah satu cara minta izin atau kulonuwun ke warga sekitar dan penghuni yang pernah meninggali tempat ini,” kata Yuka ditemui di Bumi Watu Obong, Sabtu (15/7/).
Kali ini Gunungkidul dipilih menjadi lokasi festival karena Jala Skena mengawali kiprahnya di Bumi Handayani. Sementara, Jala Skena menjadi embrio bagi lahirnya program Lintas Kultura. Kata Yuka, Festival Lintas Kultura merupakan mimpi besar bersama jaringan yang selama ini telah diinisiasi Jala Skena.
“Setelah kami [jejaring komunitas] bertemu, pertanyaannya adalah ‘apa yang bisa dilakukan setelahnya’,” ungkap Yuka.
Dari itulah, semangat untuk tidak mengesampingkan gerakan akar rumput yang kerap dipandang sebelah mata oleh pasar industri kreatif, Festival Lintas Kultura ikut melibatkan musisi awalan atau emerging artist.
Setidaknya terdapat sebelas band yang akan mengisi panggung festival tersebut seperti Menjelang Pagi (Banjarnegara), Senjaya (Bumiayu), The Melting Minds (Gunungkidul), Diksi Paranada (Gunungkidul), O.M Kacau Balau (Klaten), Slappy Ratz (Magelang), Doppel Danger (Salatiga), Sprayer (Sukoharjo), Nitch Primitiv (Temanggung), Geist HC (Tuban), dan Sexual Modification (Yogyakarta).
“Dalam festival ini juga menghadirkan peristiwa melukis dinding [mural] yang dieksekusi oleh seniman muda asal Gunungkidul, di antaranya Budi Irawan, Flea Aura Ryanasta, dan Ghofur Sadam Irawan. Setiap seniman akan menorehkan pesan atas cita-cita merawat potensi ekosistem lokal yang ada,” ucapnya.
Tidak berhenti pada musisi dan seniman mural lokal, Festival Lintas Kultura juga menghadirkan budaya lokal Gunungkidul melalui tarian reog.
Menurut Yuka dalam menjaga keberlanjutan suatu komunitas atau program kadang kala diperlukan sebuah kompromi. Kompromi yang dia maksud adalah kemauan untuk berjejaring dengan pihak-pihak yang jauh dari unsur akar rumput seperti pemangku kepentingan daerah.
Tegas dia, seyogianya dalam menjalankan suatu komunitas atau program tidak dapat dilakukan sendiri tanpa bantuan pihak lain.
“Sekali lagi festival ini berupaya untuk menciptakan ruang bersama yang bermanfaat dalam keberlangsungan kolektif maupun komunitas aktif dari berbagai daerah,” tutupnya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Rahma Anisa W.