Catatan Selama Terjebak di Rumah yang Terbakar | Ulasan Pertunjukan Teater Garasi di ARTJOG 2023

Mereka, Teater Garasi, beruntung tak berkesudahan. Tak habisnya mendapati pertemuan yang ajaib dengan berbagai macam orang dan gagasan.

Saya akui, pertunjukan WBRyT (Waktu Batu. Rumah yang Terbakar) oleh Teater Garasi atau Garasi Performance Institute pada program Performa.ARTJOG (2 & 3 Juli 2023) memanglah gila. Padahal, sudah tiga kali menonton. Tetap saja, mampu membuat saya terkagum-kagum.

Pertunjukan mereka yang mengangkat duka ekologis dengan mengaitkan isu gender, kolonialisme, urban, dan mitologi Jawa sangatlah asik. Ditambah eksperimentasi teknis dengan menghadirkan bidang panggung yang miring, properti yang unik (baca: helm dari penanak nasi), tata cahaya yang eksploratif (baca: barrier semu dari laser berwarna hijau), musik yang nyentrik (Yennu Ariendra), isian lagu yang membakar (Majelis Lidah Berduri), skenografi yang asik (Rimbawan Gerilya, Tomy Herseta, Deden Bulqini), busana yang ikonik dari sampah (Mella Jaarsma), dan masih ada hal  menarik lainnya.

Jelas, ini dapat terjadi karena manajemen mereka yang baik. Sebenarnya, masih ada hal lain yang bisa dikuliti dari pertunjukan WBRyT ini. Namun, saya enggan menulis lebih mengenai apa yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Saya hendak mencatat yang lain. 

Saya akan mulai dengan membahas tombak pertemuan dengan penonton, perihal publikasi. Unggahan pada laman Instagram-nya eye-catching dan berisi. Ada informasi mengenai bagaimana pertunjukan Waktu Batu sebelumnya, proses latihan, sampai bocoran bagaimana aktor akan “bergerak” pada pertunjukannya nanti.

Sebagai calon penonton, saya juga tertarik dengan pitch dramaturgi yang menyatakan bahwa ini adalah pertunjukan yang menggabungkan teater, sinematografi, dan gim dalam “pertunjukan silang-media”. Ide ini tergolong baru, terutama di Indonesia.

Silang media pada pentas Waktu Batu. Rumah yang Terbakar oleh Teater Garasi di ARTJOG 2023 (dok. Erwin Octavianto)

Lalu, soal tiket. Reguler seharga Rp150.000 dan VIP Rp200.000. Bedanya di posisi kursi. Reguler rendah-depan, VIP tinggi-belakang. Ini sudah termasuk tiket masuk pameran ARTJOG yang bernilai Rp75.000. Terlampau murah, layak sekali untuk dihargai lebih. Saya berani bilang bahwa pengalamannya begitu spesial dibanding pertunjukan teater yang sudah-sudah. Meskipun, saya merasa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tiket yang reguler dengan VIP.

Kemudian, cukup menarik ketika Garasi (saya akan menggunakan terma ini untuk mempermudah) memberikan harga spesial untuk pelajar dan mahasiswa senilai 80.000 rupiah (tidak termasuk tiket pameran). Upaya untuk menemukan penonton baru. Walaupun entah, berhasil atau tidak.

Hal lain yang patut diapresiasi adalah adanya buku program digital yang berisi sambutan-sambutan, pengantar pertunjukan, sinopsis dan konsep, serta kredit. Mengingat minimnya pengarsipan seni pertunjukan, ini merupakan langkah awal untuk mencapai impian yang jauh, seperti: basis data naskah drama, basis data tokoh atau kelompok teater, rekaman pertunjukan.

Sayangnya, saya tidak diberi cukup waktu untuk membacanya (setahu saya, baru muncul pada banner sebelum memasuki pertunjukan). Sehingga, malah terjadi proses yang terbalik. Nonton dulu, baru dianterin

Satu catatan yang ingin saya sarankan. Alangkah baiknya, apabila Garasi, dan seniman lain tentunya, mulai menerapkan rating dan/atau trigger warning pada tiap presentasi karyanya. Agaknya perlu mengubah paradigma bahwa hal tersebut tidaklah sepele. Apalagi setelah sekian banyak diskursus yang tercipta di antaranya. Kan sayang ya, kalau maksud yang baik belum berhasil tersampaikan karena penonton tidak merasa aman dan nyaman. 

Perihal tersebut, dipantik oleh pengalaman saya sendiri. Pada Sabtu (1/7) malam pertunjukan preview, ada bapak-bapak yang mengajak anaknya. Entahlah, itu hal baik atau buruk. Yang pasti, bapaknya melarang si anak untuk lanjut menyaksikan.

Alasannya barangkali ada dua. Pertama, penggunaan bahasa “kasar” dan terdapat properti serta adegan yang lumayan erotis. Masih soal keamanan dan kenyamanan, seperti biasa, ada beberapa hal yang disampaikan sebelum pertunjukan digelar. Mulai dari yang spesifik (diberitahukan bahwa pertunjukan akan terdapat efek asap) sampai ke yang paling umum (dilarang merokok, dilarang gaduh, dilarang makan dan minum). Tapi, tumbler saya lolos. Lengkap dengan airnya. Saya jadi mempertanyakan, apakah imbauan tadi memang dibutuhkan, atau formalitas belaka?

Momen aktor Enji Sekar dan Ari Dwianto di atas panggung (dok. Erwin Octavianto)

Kedua, soal inklusivitas, yang sedang diupayakan oleh ARTJOG juga. Mengingat Garasi sudah menggunakan proyeksi sebagai bagian dari pertunjukannya, mungkin Garasi bisa menjadi tonggak awal penggunaan surtitle di Indonesia. Ini mampu membuka kemungkinan supaya teater bisa dinikmati oleh teman tuli atau teman yang tidak paham akan bahasa yang digunakan. Juga, membuka probabilitas karya teater kita bisa ditampilkan di panggung internasional, dan sebaliknya. Namun, tentu, ini berkaitan dengan infrastruktur dan ekosistem yang jadi tantangan bersama (apabila concern, sih).

Terlepas dari segala yang sudah saya paparkan, tak henti-hentinya saya mengapresiasi Teater Garasi. Mereka beruntung tak berkesudahan. Tak habisnya mendapati pertemuan yang ajaib dengan berbagai macam orang dan gagasan. Ansambel yang sangat ciamik, dilihat dari segi apapun.

Sampai pada titik saya merenung. Bagaimana kalau Yudi Ahmad Tajudin (sutradara), Ugoran Prasad (penulis dan dramaturg), Ignatius Sugiarto (direktur teknis), atau siapapun itu yang akan saya sebut sebagai “generasi penggerak”, tetiba “lepas” meninggalkan kerja-kerja ini menuju perjalanan lainnya?

Sudahkah kita bersiap? Sementara banyak hal yang belum mapan pada ekosistem seni pertunjukan ini. Pula, tidak mungkin harus terus bergantung pada orang-orang tua ini.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Bayu Lesmana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts