Wayang Sampah ‘Opera-Si Plastik’: Dari Sampah, Ada Wayang dan Gamelan Kemasan Baru

Di panggung PSBK, Wayang Sampah hadirkan pertunjukan dengan berbagai karakter wayang dan perlengkapan gamelan dari daur ulang sampah.

Tengah tahun ini, Jogja lagi-lagi membuat kegaduhan dengan menyematkan kembali status darurat sampah. Menumpuknya sampah di TPA Piyungan yang berujung penutupan sementara bukan kali pertama terjadi. Namun, kejadian tahun ini merupakan yang pertama mereka tidak tahu kapan akan dibuka kembali TPA Piyungan. Akibatnya, banyak tumpukan sampah kemudian muncul di pinggir-pinggir jalan kota Jogja karena warga yang bingung ke mana harus membuang sampah mereka. 

Meskipun sebagian warga sudah berupaya menjalankan bank-bank sampah dan beberapa upaya penanggulangan lainnya, seperti pengolahan sampah organik dan non organik, pembuatan biopori di rumah-rumah, namun tidak akan bisa menjadi solusi permanen jika tidak adanya kesadaran dan gotong royong bersama pemerintah dan masyarakat. Fenomena ini berulang dari tahun ke tahun tanpa solusi yang matang dari pemerintah.

Sedikit banyak, permasalahan sampah ini yang selalu digaungkan dan diingatkan oleh kawan-kawan Wayang Sampah dari Surakarta. Pada Sabtu 28 Oktober 2023 lalu, Jagongan Wagen Padepokan Seni Bagong Kussudiardja kembali menampilkan pertunjukan edisi 150 dengan judul Opera-Si Plastik oleh kelompok Wayang Sampah (Wangsa).

Pertunjukan wayang yang ditampilkan masih menyoroti persoalan sampah, terutama di perkotaan. Kerusakan lingkungan, permasalahan sampah plastik, dan fenomena mementingkan penampilan fisik daripada kepribadian merupakan fokus utama dari lakon yang diangkat oleh Wangsa. Melalui Opera-Si Plastik, Wangsa ajak para penonton untuk mencintai diri dan lingkungan.

Genduk sebagai tokoh utama yang pada mulanya ditampilkan sebagai perempuan yang minder dengan bentuk badan yang dinilai tidak sesuai dengan standar kecantikan yang ia yakini. Dengan berani dan tekad yang kuat, Genduk mendatangi Mbah Wongso yang konon bisa mengubah bentuk sesuai dengan yang diimpikan.

Melihat kegigihan Genduk, Mbah Wongso tergerak untuk membantu mewujudkan keinginan Genduk dengan melakukan operasi plastik. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, operasi Mbah Wongso kebablasan mengubah Genduk menjadi raksasa. 

Sedih dan bingung, Genduk ingin kembali ke bentuk semula saja. Mbah Wongso kemudian memberikan syarat tapa ngerame, di mana Genduk harus menolong sesama jika ingin kembali seperti sedia kala. Ada satu weling lagi, Genduk harus berjalan lurus ke timur jangan belok-belok dan akan menjumpai sosok yang perwujudannya sama. Binasakan dia! Pesan terakhir mbah Wongso. 

Sesuai dengan petunjuk mbah Wongso, Genduk berjalan ke arah timur dan benar menemui wujud raksasa yang serupa dengannya. Klimaks berikutnya setelah transformasi Genduk menjadi raksasa adalah ketika ia harus melawan Si Ampah yang digambarkan sebagai raksasa yang terdiri dari berbagai macam sampah plastik berbentuk mengerikan hingga binasa.

(dok. PSBK/Sito Adhi Anom)

Berkali-kali Genduk menang atas raksasa, namun si raksasa mempunyai keahlian bisa hidup kembali. Genduk serang lagi, gigit, hajar si raksasa, namun lagi-lagi raksasa bisa kembali hidup dan menyerang Genduk. 

Mbah Wongso lalu memberi pesan kepada seluruh penduduk desa agar membantu memisahkan bagian-bagian tubuh Si Ampah agar tidak bisa hidup lagi. Sesuai dengan pesan mbah Wongso, penduduk mengeroyok Si Ampah dan memisahkan bagian tubuh untuk dibuang ke tempat yang berbeda hingga akhirnya Si Ampah bisa mati. 

Narasi di bagian akhir lakon, mengingatkan kita satu cara untuk memerangi persoalan sampah ini secara komunal, bersama-sama, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau satu dua tiga orang yang mempunyai inisiatif saja. Permasalahan sampah harus dikelola secara memadai dari hulu hingga hilir. Untuk mencegah monster Si Ampah lainnya yang tercipta karena perbuatan manusia sendiri. 

Selain itu Genduk akhirnya tersadar, bahwa bukan hanya “ukuran” yang menjadi satu-satunya syarat menjadi mbak-mbak cantik sesuai standar masyarakat. Menjadi orang yang berani, percaya diri, dan mempunyai hati yang baik agaknya menjadi nilai yang kemudian lebih dipercaya oleh Genduk hingga di akhir pertunjukan ditampilkan wujud Genduk berubah kembali ke mula, lebih cantik malah.

Edukasi mengenai sampah dan pengolahannya juga tak luput dari pertunjukan meskipun diselingi dengan guyonan di sana sini, pesan tentang bijak mengolah sampah dan kesadaran pilah sampah masih tersampaikan dengan baik. Pengelolaan sampah masih menjadi permasalahan besar tak hanya di Yogyakarta, namun juga Indonesia. Wangsa berusaha mengajak masyarakat untuk bijaksana mengelola sampah dengan menggabungkan upaya konservasi lingkungan dengan seni budaya Jawa, yaitu wayang. 

Kepedulian terhadap isu lingkungan dan budaya, membuat Wangsa turut berkolaborasi kreatif bersama anggotanya dengan menciptakan boneka (wayang golek) dan alat musik yang terbuat dari bahan daur ulang. Kelompok ini tidak hanya fokus pada seni wayang tetapi juga konsisten mengkampanyekan kepedulian terhadap lingkungan sebagai upaya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mengurangi produksi sampah lewat gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Olah Sampah jadi Atribut Artistik

(dok. PSBK/Sito Adhi Anom)

Berbagai karakter wayang berjejer di depan debog pementasan. Bermacam bentuk karakter mulai dari tokoh perempuan berambut panjang, laki-laki bertopi, bibir merah tebal, kulit berwarna warni, hingga karakter monster di sebelah kanan dan kiri debog, semuanya terbuat dari sampah tas plastik (kresek)

Hal yang paling menarik perhatian di pertunjukan ini adalah gamelan yang digunakan mengiringi wayang. Semua alat musik gamelan yang digunakan terbuat dari sampah daur ulang. Mengikuti rasa penasaran dan kagum atas bentuk gamelan yang tersaji, pertanyaan berikutnya adalah akan seperti apa bunyi yang mereka hasilkan?

Untuk telinga saya yang awam, hampir terdengar tidak ada bedanya dengan gamelan yang terbuat dari kuningan. Mungkin malah saya tidak akan tahu bedanya jika tidak menyaksikan langsung pertunjukan wayang sampah ini.

Set gamelan slendro terdiri dari bonang dari tabung gas (bekas), gong gesek, kendhang dari pipa pralon bekas, dan gender, saron, suling, slenthem dari kaca (bekas), rebab dari pralon dan kawat, dan siter dari kawat dan kaleng bekas roti, merupakan buah karya dari Muhammad “Kondhe” Sulthoni, yang juga adalah salah satu pendiri komunitas Wayang Sampah. Gamelan ini dimainkan oleh para pengrawit dan seorang sindhen yang membawakan gendhing gubahan mereka sendiri yang bernafaskan kepedulian lingkungan.

Selain berbagai instrumen gamelan yang sudah memukau, penonton makin dimanja dengan latar gambar yang dihasilkan projeksi OHP sebagai pengganti blencong dan kelir. Sebuah pengalaman yang cukup baru dan menyegarkan, mengesankan kesenian yang tidak monoton dan menawarkan kebaruan di dalamnya. 

Tata panggung yang epik, permainan gambar proyeksi yang melengkapi, musik yang atraktif, dan cerita yang sarat pesan menjadikan Sabtu malam itu berkesan, meskipun saya baru sampai pada tahap terkesan. Masih belum tahu apakah saya mampu berbuat hal serupa kawan-kawan Wangsa ini atas sampah yang saya hasilkan?

Masih terngiang kalimat Si Ampah di awal pertunjukan, “bumi semakin hari semakin sakit, semakin rusak, semakin penuh dengan sampah yang butuh kepedulian dari kita semua.”


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: PSBK/Sito Adhi Anom

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts