Ibu Kota Negara Baru: Kumpulan Puisi Imam Budiman

Kumpulan puisi ini: Lahir dari Tanah yang Lain, Ibu Kota Negara Baru, Ketika Aku Sekolah Dasar, dan Tanah Bahari Loa Bakung. Ditulis oleh Imam Budiman, seorang pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia di Madrasah Darus-Sunnah dan SMA Adzkia Daarut-Tauhiid.


Lahir dari Tanah yang Lain

aku lahir dari lesong batu milik ibu
dahulu purba—penuh debu
sejarah tercatat sejak raja
bermukim di muara ini

di tanah itu, aku tak ingin kembali

barangkali yang tersisa hanya
doa kecil kepada leluhur sungai
kepada pesut yang kehilangan mata
sebab limbah hitam tambang batubara

sungai masa kanakku telah lama mati
sendimentasi; membunuh kenangan
antara lanting dan laju ketinting

masa kanak tak lagi dapat diwariskan
pondasi kayu ditinggikan, pondasi
batu menjelma terumbu ikan

lihat rumah ibu, bengkirai dimakan
lumut, menjadi satu akuarium baru

rawa yang sunyi, menjadi rumah
tanpa penghuni—di tanah ini
kutukan air bah telah abadi

2023

Ibu Kota Negara Baru

ibu kota sudah lama menjadi janda. anak-anaknya adalah
kami; menggigit tulang-dagingnya, memintal rambutnya,
meneguk peluhnya, membangunkan tidurnya jelang dini
hari dengan berita korupsi dan pembalakan liar. ibu kota
sebetulnya sedang sakit, tetapi kami dipaksa senang dengan
ibu baru yang lebih pandai bersolek. andai masih ada bapak.

tetapi, bapak kota adalah bang toyib yang sudah berapa kali
puasa dan lebaran tidak bisa pulang karena dimusuhi negara.

2023

Ketika Aku Sekolah Dasar

aku melihat mesin-mesin besar dengan belalainya—bentuknya
persis seperti garpu di dapur ibu, tetapi lebih gemuk berkali-kali
lipat, menggaruk bukit yang setiap pagi menelurkan matahari di
kepalanya, sebelum aku berangkat ke sekolah. mesin-mesin itu
menggaruk pelan sekali, nampak malas, tak selekas garukan jari
jari ibu ketika pantatku gatal akibat udara menjadi hawa panas dari
seng atap rumahku. mesin-mesin itu terus saja menggaruk; menjadi
komplek perumahan baru, tambang batubara baru, danau-danau
berhantu, serta nyawa seorang anak usia lima tahun yang mati
tenggelam di situ. aku takut sekali. aku sendiri kerap bermimpi:
mesin-mesin itu lewat di depan rumah saat aku bermain layangan
dan berkata, “boleh aku menggaruk masa depan dan cita-citamu?”

aku berlari dan menutup pintu. tubuhku mendadak terasa gatal. aku
menggaruk punggung dan leherku. di cermin, samar terlihat rupanya
tubuhku mulai menguning, hidungku melentur panjang, tangan dan
kakiku menjadi roda, pelan menjelma menjadi mesin-mesin itu.

2023

Tanah Bahari Loa Bakung 

tanah loa bakung tak berjarak pada bibir 
mahakam dan orang-orang yang ingin berak, 
sejak jalan gunung tunggal berundak-undak, 
telah sunyi dari ritus pohonan 
para kaum pemanggul kapak. 

lanting-lanting handil asah bergoyang, 
kapal ketinting mengolah gelombang. 
tanah loa bakung tempat angin ilir pulang, 
membungkus bau asap knalpot truk-truk raksasa
dan suara mesin pelebur batu bara, disuapkan 
dengan paksa kepada anak-anaknya. 

orang-orang kota pandai berandai-andai, 
orang-orang desa kumuh berlusuh-lusuh. 

matahari menginap semalaman 
di balik lokasi pekuburan. awan-awan 
menyisir bertubuh sekeras logam. kebun 
salak digerus para cukong pabrik yang galak. 

jendela-jendela masih menerakan kejadian 
api yang rutin setiap tahun bersinggah desa ini. 

: aku pulang sebagai yang terasing, 
waktu terbang bercampur bau pesing. 

2023


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Menyelami Ragam Rupa Ungkapan dalam Jiwa Ekspresionis Ilham Satriawan di Pameran Something to Remember

Next Article

Ruang Pertunjukan yang Menyembuhkan: Melepas Rasa dalam Tari 'Terkurung di Alam Bebas' Dendi Wardiman