Mengamati Nilai Feminisme dalam Performance Art karya Fj Kunting dan Eka Wahyuni

Dalam pertunjukan ini, ada nilai feminisme yang dapat ditarik sebagai garis tentang mempertahankan makna, tanda, dan penanda perempuan dalam kehidupan.

Yogyakarta telah menjadi poros kesenian yang kental, banyak sekali seniman-seniman yang berkarya dan mengimajinasikan karyanya dalam sebuah bingkai, baik konteks alat dan makna. Bingkai yang sering dipakai untuk mengukuhkan cat minyak dalam kanvas tentu tidak didapatkan dengan mudah, tentu punya tantangan sendiri bagi seniman perempuan. Dalam jagat seni rupa, seni pertunjukan maupun performance art berhasil menarasikan bentuk rupa dan segala ceritanya tentang kehidupan. Kemudian performance art juga bisa dibaca sebagai “gambar berjalan”.

Gambar berjalan ini tidak melulu dibaca sebagai presisi ilustrasi, tetapi liukan makna yang memperbesar kemungkinan pemaknaan hidup. Gejala seni memang penuh daya untuk mempertahankan hidup, seperti perjuangan sebagian perempuan yang belum selesai.

Dewasa ini, performance art kembali bermain dalam ranah gender dengan menarasikan feminisme sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Gagasan tersebut tentu sudah dapat kita lihat sejak lama. Namun zaman yang semakin maju membuat peretasan ruang publik untuk mengimbangi dominasi nuansa maskulin. Seperti halnya yang terlihat dalam performace art seniman Fj Kunting dan Eka wahyuni (Yogyakarta) dalam rangkaian pameran Chora di galeri Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat pada tanggal 20 September 2022.

Ruang galeri pameran CHORA (dok. Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat)

Chora dalam pembacaan penulis, bisa diartikan dalam konteks tubuh-tubuh yang tak terhingga. Karena seperti yang kita tahu, tubuh selalu dibatasi dengan dua jenis kelamin saja. Tubuh diberi nama, kemudian secara biner direpresentasikan sebagai laki-laki dan perempuan, padahal dalam konteks Chora barangkali ada tubuh “di antara” Tubuh yang terus-menerus bertumbuh dan terus mencari hingga pada satu titik identitas yang pas. Penulis teringat pada buku seri feminis yang ditulis Nawai el Shadai, bahwa tubuh perempuan telah menjadi korban dan kemudian disadarkan pada batas-batas yang disematkan pada golongan perempuan.

Kesenian selalu bersifat membebaskan. Tubuh yang dibatasi dibuat lentur dalam pameran CHORA: Tubuh-Tubuh Yang Tak Berhingga-Lingkaran Pertama, ia bukan jenis kelamin baru namun gagasan baru yang melingkupi identitas-identitas liyan yang tidak mendapatkan tempat. Cenderung berani memadukan estetika yang halus khas feminin kemudian mewujud dalam aksi performance art.

Pemilihan senimannya bisa diasumsikan dipilih atas keberpihakan dan kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Esai ini mencoba untuk menceritakan sekelumit kisah atas kehidupan seni yang diambil dari gagasan dengan tema tubuh melalui praktik performance art yang dilakukan Fj Kunting dan Eka Wahyuni.

Fj Kunting bersama Ima Achyar terlihat menggendong tanaman menuju ruang galeri. Keduanya menggendong tanaman dengan memakai selendang dan memperlakukan mereka layaknya bayi yang harus dirawat tumbuh-menubuh hingga dewasa. Tanaman diperlakukan layaknya seorang anak.

Gagasan ini menarasikan ulang tentang bagaimana manusia setara dengan tumbuhan dan makhluk lain. Ini memberi kritik atas realita manusia yang masih abai dengan lingkungan yang menjadi salah satu penyebab krisis iklim berkepanjangan.

Suasana pertunjukan dalam pembukaan pameran CHORA (dok. Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat)

Kemudian Eka Wahyuni juga menampilkan peristiwa menyulam di dalam pertunjukan. Sulam identik dengan ketelitian bak aktivitas perempuan merenda kehidupan. Pada konteks keseharian teknik sulam dapat diaplikasikan menjadi baju dan pakaian yang bermanfaat.

Setelah melahirkan anak pertama, Eka Wahyuni bermaksud menggambarkan pengalamannya selama sembilan bulan mengandung dalam garis dan bentuk sulam pada sebuah kain yang dibentuk dengan kerangka melingkar dan digantung. Ilustrasi yang dibuat tidak selalu jelas. Ada kesamaran namun dapat dibaca bagaimana perjuangan dan kebahagiaan perempuan mengandung.

Sejauh amatan, proses berkarya mereka dijalankan pada bulan September lalu dengan melakukan riset, forum diskusi , dan beberapa kajian makalah dan jurnal. Yang menarik adalah performance art dipraktekkan sebagai laku bernuansa feminis sebagai gambaran kehidupan melalui seni di masyarakat. Nantinya, dua performance art ini akan ditampilkan dalam gambar berjalan di ruang galeri Cemeti.

Dalam pertunjukan ini, ada nilai feminisme yang dapat ditarik sebagai garis tentang mempertahankan makna, tanda, dan penanda perempuan dalam kehidupan. Gagasan feminisme berhasil untuk mengikut di setiap pembacaan karya yang melestarikan nilai-nilai tentang kehidupan dan bumi.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Sleep Call (2023): Misteri yang Tak Berujung

Next Article

Jika Hidup Tak Ada Arti, Lalu untuk Apa Aku Dilahirkan? | Pengalaman Mendengarkan ‘Berama’ F.M Abends