Lagi-lagi Sekar mendapatkan dirinya terpejam di tengah ceramah Bu Nunik, guru bahasa Indonesia-nya yang kerap berceloteh dengan nuansa bak pengkhotbah Jumatan di masjid sekolahnya. Walaupun Bu Ninik seorang guru bahasa Indonesia, baginya pesan keagamaan penting untuk selalu disampaikan, biar murid-muridnya selalu ingat Tuhan dan tidak menyeleweng menurutnya.
Ia nyalakan ponsel warisan kakaknya diam-diam di laci meja kayu yang penuh dengan coretan yang didominasi oleh curahan mak comblang antar teman. Ponselnya menunjukkan pukul tiga lebih sepuluh menit. Syukurlah, gumamnya. Kalau boleh jujur, seperti siswa sekolah menengah atas pada umumnya, ia menyukai nyaring bel pulang sekolah. Kenikmatan duniawi yang tak luput ia nikmati di masa berseragam putih abu.
Tiba-tiba Bu Nunik meninggikan suaranya, “Nak, tadi kan ibu sudah jelaskan hati-hati jika memilih bacaan novel begitu. Masa saya nemu bukunya Pram yang komunis itu di perpustakaan sekolah kalian, nanti saya berpesan ke ibu pustakawan untuk tidak menaruh buku itu lagi di rak.” Teman-temannya menyahut setuju. Hanya Arman, anak pendiam yang dijauhi teman-temannya karena ia pelit memberi contekan itu mengacungkan tangannya.
Bu Nunik berdehem, “Iya, Arman?”.
“Bu, memangnya komunis itu apa?”
“Mereka itu ndak punya agama nak, sukanya membunuh orang.” Arman mengernyitkan dahinya, tampak tidak puas. Namun lirikan teman-temannya yang ingin segera keluar dari kelas pengap itu seakan-akan mendesaknya untuk menutup mulut. Sekar membaca buku yang dimaksud Bu Ninik beberapa minggu lalu, tentang kerja paksa zaman kolonialisme Belanda, jalan raya Pos, jalan raya Belanda. Menurutnya, paparan Pram dalam buku itu seakan-akan menyedotnya ke zaman dahulu. Sungguh memuakkan dan menyedihkan. Apakah manusia begitu sulit mengendalikan sisi edan mereka dari dulu?
Gadis itu memang ditempatkan di kelas IPA, namun ia tak bisa berbohong jika sejarah adalah sesuatu yang menyita perhatiannya secara lebih. Selang beberapa detik, Bu Ninik mengetuk papan tulis dengan spidol andalannya. “Kali ini saya mau kalian membentuk kelompok untuk tugas baru. Makalah kritik karya fiksi modern Indonesia. Masing-masing 5 anak ya, saya pilihkan biar adil.” Kelas menjadi riuh sesaat, banyak yang menghela napas panjang.
Sambil menyenderkan setengah badannya ke tembok, Sekar tidak peduli, yang penting dapat nilai, beres. Tidak perlu merisaukan siapa yang mau bergabung atau tidak, karena meributkan hal sepele bukanlah sesuatu yang akrab dengannya. Bu Ninik menulis daftar kelompok dan membacakannya dengan lantang. Ia mendengar namanya disebut.
“Kelompok empat nanti ada Sekar, Galih, Jeni, Arman, dan Nikita ya!”
Sekar mengangguk. Jeni dan Nikita yang duduk sebangku tersenyum puas sambil tos. Galih yang biasanya meledek Arman menghela napas sembari disindir teman-temannya. Sementara Arman memilih untuk mencatat nama mereka di buku tulisnya. Kemudian bel penanda pulang sekolah berbunyi nyaring, namun tentu saja mereka yang berada di kelas itu tak boleh langsung keluar. Bu Ninik memerintah Beno, ketua kelas untuk memimpin doa. Hening sesaat dan sekelas riuh kembali dengan amin yang menyeloroh. Semua langsung melangkahkan kakinya keluar.
“Sekar, Galih, Arman, jangan pulang dulu dong!” panggil Jeni dari bangkunya. Sekar dan Arman mendekatinya, begitu pula Galih yang terlanjur sampai di ujung lorong lantai dua, berjalan gontai menuju bangku Jeni dan Nikita. Jeni bangkit dari bangkunya.
“Gimana kalau kita kerjain sekarang tugasnya?”
Galih menggaruk kepalanya, “Wah gak isok, bar iki aku arep cangkruk.” Arman berdecak, Sekar hanya memperhatikan mereka berempat dan berujar, “Aku manut kalian wes.” Arman menengok jam tangannya. “Iya nih kalau mau ngerjain sekarang ya ayo, dua jam lagi aku les soalnya.” Nikita dan Jeni tersenyum lagi, memang jika sudah bersahabat sejak lama rasanya segala kebetulan bisa terjadi spontan.
Nikita menatap ke arah mereka semua, “Ngerjain di Starbucks aja, sekalian cangkruk bisa lho Galih,”ucapnya. Seketika Sekar panik. Uang sakunya sebulan saja lima puluh ribu rupiah, boro-boro mampir ke Starbucks hanya untuk kerja kelompok. Galih mengiyakan tawaran tersebut, tampaknya Arman juga tak masalah. Jeni menepuk pundak Sekar, “Kalau gitu jadi ya, di Starbucks?”
Sekar memasang wajah kecut, “Kalau aku bantuin sendiri tanpa harus ke Starbucks boleh ndak Jen?”
“Duh Sekar, kamu mending ikut kami juga. Kalau nggak mau pesan minuman di sana juga bisa kok,” jawab Jeni. Akhirnya mereka semua berangkat saat itu juga. Sekar dibonceng Arman, sementara yang lainnya menaiki sepeda motor mereka masing-masing. Dalam hati, Sekar sebenarnya juga mau pesan kok kalau dia ada uang cukup. Tapi, ya mau gimana lagi. Ia tidak paham apa yang digemari teman-temannya dari minuman mahal yang biasa ia konsumsi lewat kemasan sasetan yang jauh lebih terjangkau dan lumayan enak. Memang sih, teman-teman Sekar terlihat lebih sugih. Orang tua mereka banyak yang pengusaha dan pejabat, sepatu mereka bermerk terkenal dan trendi. Sekolah Sekar saat ini memang terkenal sebagai tempat anak orang-orang kaya yang juga “berprestasi”. Perlu melampirkan nilai ujian nasional yang tinggi supaya bisa masuk sana, bersaing dengan ribuan anak lain yang mendambakan bangku di sana. Sekar sendiri heran bisa tembus masuk sana, walaupun nilainya mepet dalam batas minimal. Ia hanya mengandalkan buku pinjaman perpustakaan kota waktu belajar mempersiapkan ujian nasional. Berbeda dengan teman-temannya waktu itu yang mengandalkan bimbingan belajar di luar jam sekolah secara rutin. Maka jadilah Sekar yang bergumul dengan anak sejenis Jeni, Nikita, dan kebanyakan lainnya.
Namun, tetap saja itu bukan penghalang bagi Sekar untuk menjawab rasa penasarannya akan keistimewaan minuman-minuman itu. Mungkin nanti, kalau ia sudah menghasilkan penghasilan sendiri. Sesampai di sana, mereka langsung menduduki tempat yang berada di pojok dekat jendela. Pemandangan kota Surabaya yang telah ramai oleh gedung-gedung tinggi dapat disaksikan dari atas.
Teman-temannya memesan di konter depan, sedangkan Sekar menatap lurus pantulannya melalui jendela. “Gusti, dadi sugih kok enak yo,” gumamnya. Arman datang menghampiri Sekar yang melamun. “Sekar, kalau kamu mau pesan minuman ngomong aja, anggap aja traktiran,” tawarnya. Sekar tertegun. Ia menggelengkan kepala dan menunjukkan botol minumnya, “Makasih man, minumku masih ada kok.” Arman menarik kursi di depannya, “Oh, iya deh kalau gitu.”
Galih, Jeni, dan Nikita sampai ke tempat duduk mereka sambil menenteng gelas besar berwarna cokelat gelap. Benar-benar menggiurkan, namun Sekar enggan menyiratkannya karena ia takut merepotkan Arman. Nikita mengeluarkan laptop dari tasnya. Bersamaan dengan hal tersebut, Sekar langsung mengawali percakapan, “Jadi, ini mau pakai novel apa?”
“Ini aja, bagus lho ceritanya,”ujar Jeni sambil mengeluarkan buku yang dimaksud dari tasnya. Novel remaja yang jujur saja, judulnya agak aneh, Cinta Dingin Ketua OSIS. Sekar menahan tawanya, yang lainnya mengangguk setuju. Sekar pun, apa boleh buat, pokoknya tugasnya cepat selesai. Menit demi menit berlalu, volume gelas mereka semakin berkurang seiring ketikan di laptop Nikita semakin bertambah. Apalah arti tugas kelompok jika tidak dibarengi gosip-gosip kecil tentang kehidupan sekolah.
Jeni menyeruput minumannya agak kencang sampai berbunyi.
Ia menyeletuk, “Rek, kalian masih ingat Mas Satyo yang dulu itu?”
“Lah sopo sing gak kenal Mas Satyo, wis mlebu ndek youtube lho. Diwawancarai youtuber sing subscribere satu juta. Bayangno ae,” Galih menyahut.
“Masih dong, gila keren ya Mas Satyo. Bisa langsung ambil program kuliah S1 di Jepang,” sahut Arman.
Sekar menyimak pembicaraan mereka, ia tahu Mas Satyo juga. Sering dipanggil waktu upacara bendera karena menang olimpiade, dapat piala, dan sebagainya. Perasaannya terhadap Mas Satyo agak kontradiktif namun selaras, iri, dan kagum. Nikita yang tadinya agak fokus dengan laptopnya ikut menimpali.
“Lah, Mas Satyo kan sepupuku,” tertawa sejenak dan melanjutkan, “Ancen teko cilik wes dilatih karo pakdheku. Dicelukno guru les macem-macem. Onok sing bule sisan, ngajari bahasa Inggris. Saking pintere, lolos beasiswa iki. Pakdheku wes nduwe gambaran sesuk Mas Satyo iku kudu lanjutno bisnis keluarga.”
Semuanya mengangguk.
“Oh iyo, pakdhemu ae nduwe usaha real estate apartemen ngono,” balas Galih. Sekar terdiam, ia berpikir kalau kita dilahirkan menjadi orang kaya seakan-akan segala hal begitu lancar. Namun ujung-ujungnya bakal disuruh mewariskan usaha orang tuanya. Yah, itu bukan hal buruk, pokoknya kaya kan, batinnya.
Beberapa menit kemudian, Nikita menyudahi kerja kelompok sore itu, Galih berpamitan duluan. Dilanjutkan oleh Jeni dan Nikita, sementara itu Arman menawarkan Sekar tumpangan untuk pulang.
“Tak barengi aja, gapapa, rumahmu sama tempat les aku searah kok,” ucap Arman. Sekar mengangguk, “Oalah, iya makasih, Man.” Mereka berdua berjalan menuju tempat parkir. Sekar penasaran seperti apa rasanya les, apakah seperti di sekolah atau seperti ia belajar di rumah?
“Man, les itu gimana ya, apa kamu ndak capek di luar belajar lagi selama tiga jam habis pulang sekolah. Tiga kali seminggu lagi.” Arman terus berjalan dan tertawa, “Kalau dibilang capek yo capek sakjane. Tapi lewat les, belajarku lebih serius daripada di sekolah. Aku bisa tanya banyak ke guru lesku tanpa cercaan anak-anak lain dan lebih fokus dalam belajar, kamu tahu kan di kelas itu ramenya seperti apa dan guru-guru kalau jelasin tuh setengah-setengah, misalnya kayak Bu Nunik tadi. Nah, kalau aku les, waktu ujian masuk perguruan tinggi negeri peluangku lebih tinggi buat lolos.”
Sekar mulai paham, namun ia masih penasaran. Mereka sudah memasuki basement tempat parkir, ia bertanya lagi.
“Setelah lulus kuliah mau ngapain man?”
“Ya ngelamar pekerjaan, Kar. Aku ingin kerja di BUMN sih. Makanya targetku nanti itu masuk jurusan Teknik Sipil, prospeknya gede. Aku juga suka sama bidang pekerjaan itu, dan gajinya lumayan lho,” Arman tertawa lalu melanjutkan, “Atau mungkin kuliah lagi di luar negeri kayak Mas Satyo.”
Sekar merenung, ia menaiki jok sepeda motor Arman dan melajulah mereka, sepertinya les menarik, gumamnya. Setelah melewati beberapa lampu lalu lintas, sampailah mereka berdua di depan gang sempit yang hanya bisa dimasuki satu sepeda motor. Ia menepuk pundak Arman. “Berhenti sini aja, Man. Dekat kok rumah aku.”
“Yang bener?”
“Santai Man, gapapa kok. Nanti kamu terlambat lho.”
“Ya udah kalau gitu..”
“Suwon lho man.”
Sepeda motor Arman perlahan hilang di tengah riuh lalu lintas yang ramai. Sekar berjalan sambil masih memikirkan percakapan mereka tadi. Mungkin nanti kalau dia sudah kaya, dia mau coba les biar bisa masuk perguruan tinggi negeri, melanjutkan gelar master di luar negeri. Betapa menakjubkan, tapi gimana mau kaya kalau kontrakan mereka saja bayarnya masih dicicil selama 15 tahun. Utamakan kebutuhan papan Kar, ucapnya pada diri sendiri. Belajar bisa dari youtube kok. Begitu pikirnya dalam hati, jadi ia kubur mimpinya dulu pelan-pelan sebelum lunas cicilan kontrakan rumah mereka.
Orang tua Sekar tinggal ibu dan kakaknya saja, bapaknya meninggalkan ibunya setelah kekacauan yang entah nomor berapa terjadi di hunian mereka itu. Ibu memilih tetap tegar dan meluangkan waktunya menjadi penjahit di tempat Koh Hartono demi Sekar dan Teguh, kakak Sekar yang kerja menjadi pramusaji depot dekat balai kota. Dalam lamunannya itu tak terasa ia sudah sampai dan melepaskan sepasang sepatunya di sana.
“Assalamualaikum, Ibu, Mas Teguh, Sekar pulang.”
Ibu Sekar dan Teguh terlihat duduk di ruang tengah beralaskan tikar. Suasananya terlihat serius, Sekar dapat merasakannya melalui hawa yang agak pengap dan keheningan yang menegangkan. Lantas ia berganti baju dan menaruh ranselnya di kamar tidur sambil memikirkan apa yang baru terjadi hari ini. Sekian lama keadaan seperti ini terjadi, akhir-akhir ini keluarga mereka terlihat baik-baik saja. Setelah itu, ia duduk di samping kakaknya.
“Nduk, kok baru pulang? Ibu mau ngomong hal penting ini,” ucap ibunya dengan raut wajah agak jengkel.
Sekar menundukkan kepalanya,
“Maaf bu, tadi ada kerja kelompok.”
Teguh menghela napas panjang, ia meilirik ke ibu. Ibu mengangguk-angguk.
“Tadi Koh Hartono bilang, sewa ruko tempat kerja ibu hampir habis masanya. Koh Hartono juga bingung harus apa.” Sekar merasa bersalah, lagi-lagi ia merasa tak berguna. Ibu bangkit dari duduknya, pakaiannya basah oleh peluh keringat. “Jadi, tolong sabar ya, Sekar kalau mulai bulan depan uang sakumu ibu hentikan untuk sementara, pokoknya belajar yang rajin biar nanti kamu pintar, sukses dan bisa memperbaiki nasib keluarga ini.” Sekar mengangguk dengan wajah masam.
Ah, ternyata ia harus belajar lebih giat lagi. Sambil menatap atap triplek yang sering bocor kalau hujan deras, ia berpikir. Dari dulu aku tidak pernah paham apa yang aku inginkan. Apa sebaiknya sekarang aku bercita-cita menjadi orang kaya ya? Tiba-tiba ia teringat akan hobi kakaknya yang suka menulis puisi dan cerpen ke koran. “Mas Teguh, apa bayaran dari hasil tulisan mas itu bakal kurang buat saat ini?”
Teguh tertawa kecil, “Sekar, agar tulisan dapat dimuat di koran itu susah sekali, sainganku banyak, dan tulisan mereka memang sebagus itu. Tapi kalau sekedar untuk anggaran uang makan kita seminggu, cukup kok.”
“Tapi puisi dan cerpen mas banyak lho, coba kirim ke penerbit. Siapa tahu diterbitkan terus kita dapat uang, kaya deh.”
“Kan aku sudah bilang, sainganku banyak, Kar. Kalau mau kenyang ndak cukup makan puisi, harus makan nasi.”
Gadis itu berjalan lunglai ke kamarnya, ia merebahkan badannya yang ramping di atas kasur busa yang sudah mulai kempis. Saat ini, ia ingin berdamai dengan kenyataan dan menerimanya. Tetapi, ia masih ingin bermimpi selayaknya manusia yang masih punya keinginan untuk hidup. Ia menengadahkan tangannya ke atas, seakan-akan langit dapat ia gapai begitu mudahnya dan berbisik,
“Tuhan, malam ini tolong bawakan aku bunga tidur berupa kekayaan…”
Editor: Arlingga Hari Nugroho