Panjul dalam Lakon: Cinta

Pembahasan tentang cinta adalah pertanyaan seumur hidup manusia yang terus digumamkan sepanjang zaman. Barangkali seperti Sisifus, perjuangan manusia mencari cinta sering dianggap sebagai pekerjaan yang sia-sia, padahal, perjuangan itu sendirilah yang telah mengisi hati manusia, setiap zaman. Mungkin saja, Sisifus sebenarnya berbahagia, mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya menggelinding lagi. Begitu seterusnya, hal ini terjadi berulang-ulang, cinta adalah rutinitas yang sibuk.

Petilan suara sayup narasi short YouTube yang diiringi lagu Kekasih Sejati milik Monita Tahalea, keluar dari handphone Panjul. Setelah kuota internetnya habis, video singkat itu berhenti dan YouTube-nya buffering.

“Oh mungkin aku bermimpi menginginkan dirimu untuk ada di sini menemaniku. Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku? Semoga tak sekadar harapku…”

Panjul sendiri sudah ketiduran dan memeluk mimpinya sejak belasan video pendek sebelumnya. Agahan, dia bangun dan sekonyong-konyong merasa lapar, lewat tengah malam seperti ini. Tak pakai pikir panjang, ia lintang pukang ke angkringan Kang Ramto sebelum matahari datang.

Di sana, sepasang kekasih sudah nangkring terlebih dahulu. Angin malam yang berembus membuat siapa saja mengkerat jaketnya lebih erat untuk mengusir dingin. Mereka berdua duduk di depan tungku yang disesaki oleh tiga ceret milik Kang Ramto. Mengusir dingin barangkali. Namun, apakah sebongkah tungku mampu mengusir dingin di dalam hati?

Panjul duduk. Kang Ramto yang sedang bertaruh tembak ikan di gawainya terus menggaruk telapak tangannya yang tidak gatal. Berharap keberuntungan hinggap barangkali. Setelah dua tiga kali menguap, ia lantas meraih nasi teri yang telanjur dingin.

Suasana angkringan sunyi. Hanya ada bunyi lirih dari hape Kang Ramto, beradu dengan lagu-lagu TikTok yang keluar dari hape perempuan di depan tungku. Sementara sang pria, menghisap dalam-dalam sebatang garpit di mulutnya.

Sejak masuk ke angkringan Kang Ramto, Panjul belum melihat sejoli itu berbicara sepatah katapun. Bahkan, keduanya tak saling berinteraksi barang saling menatap.

“Kang Ramto, kayanya indomie rebus satu enak ini pake telor dan irisan rawit,” ujar Panjul.

“Sabar Njul, satu lagi sek sek sek,” Kang Ramto kian erat menggenggam hape-nya.

“Keburu mengigil dingin ki lho aku Kang,” Panjul merajuk.

“Semangkuk indomie ini tidak mungkin cukup mengusir dingin, kalau dinginnya berasal dari hati,” Kang Ramto meracau.

“Main slot kok ada puisinya to Kang?” ujar Panjul.

Bandot yang sedang ngalong narik ojek online datang. Melepas balaclava dan sarung tangan ia cari tempat duduk sebelah Panjul.

“Apa itu cinta Njul?” kata Bandot.

“Barangkali itu racikan rasa memiliki, egoisme, narsistik, dan sedikit hukum take and give,” Panjul sok tahu.

“Tidak mungkin Njul,” Bandot melongo.

“Ya cinta juga kadang cuma kumpulan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan,” Panjul nyeplos.

Bandot menerawang, ia menggali lagi cerita dari penumpangnya tadi siang. Sepanjang jalan, penumpang itu menceritakan betapa cinta mungkin memang tidak untuk siapa saja di dunia ini. Cinta bukan gula-gula yang yang dibagikan gratis di pinggir jalan.

“Tadi siang aku bawa penumpang. Patah hati,” Bandot memulai ceritanya.

“Jadi dia naksir cewek, sudah PDKT, karena tidak ada umpan balik, ia nekat melompati step by step P-E-N-D-E-K-A-T-A-N, nekat Njul,” kata Bandot.

“Ia minta ke seorang teman ngantar sepatunya ke rumah si cewek, sambil titip pesen ‘kalau kamu naksir si pria itu, nanti kalau ke sini tolong kasihin sepatunya ini’,” Bandot meruntut kembali cerita yang baru saja ia dengar.

“Dia sendiri nyeker jalan kaki di siang bolong yang terik ke rumah gebetannya itu, padahal ada kalo 5 kilometer itu Njul,” ujar Bandot.

“Modar, mlonyoh itu pasti,” Panjul mulai tertarik.

“Pas sampai di rumah ceweknya. Dengan gagah berani tapi nyeker, dia nembak si doi, Njul, Kang, Mas, Mbak. DITEMBAK!” Bandot gemas sendiri.

“Terus…terus…terus,” Kang Ramto ikut penasaran.

“Sambil nenteng sepatu yang ada kaos kakinya, cewek itu bilang kalau dia sudah punya pacar,” kata Bandot.

“Nih Mas sepatumu, dibawa pulang. Barusan malah ditanyaian ibuku, sepatunya siapa, bikin penuh rak sepatu,” ujar Bandot menirukan cewek itu. 

Angkringan mendadak sepi. Bunyi panci yang merebus indomie Panjul jadi latar belakang yang riuh. Tak ada kata-kata setelah itu. Tanpa ada ancang-ancang, Panjul berharap bisa mencairkan suasana di angkringan. Kang Ramto tampak setuju dan dengan lirikan kecil keduanya sepakat memulai pembicaraan.

“Yang jelas ya Kang, angkringan adalah tempat paling romantis menghabiskan hari Valentine, karena di sini sepasang kekasih bisa menyantap makan malam dengan sebatang lilin atau lampu semprong,” ujar Panjul.

“Yang lebih sering, angkringan itu malah jadi suaka bagi cinta-cinta yang kandas kok Njul,” kata Kang Ramto.

“Kalau urusan cinta-cintaan muda belia macam kamu itu aku sudah kenyang Njul, kupingku ini sudah hafal bin khatam dengan lika-liku romansa pelanggan di sini,” Kang Ramto jumawa.

Bicara soal cinta, Bandot yang saban hari karib dengan aspal jalanan ingat suatu peristiwa lainnya. Tentang sebuah kisah cinta yang dipertontonkan di layar kaca, saban hari. Cerita cinta yang terus digulung dan digiling sampai sudut-sudut tergelapnya jadi terang benderang dijejalkan di mata masyarakat.

Cinta yang mungkin memenuhi hati manusia, bagaimana pun bentuknya.

“Apakah atas nama cinta, kita boleh membunuh?” kata Bandot lirih. 

Panjul bergumam, “Tentang cinta yang setajam kebencianku padamu, tentang cinta yang telah memaksamu membunuh…”


Editor: Michael Pandu Patria
Desain sampul: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Rayakan Hari Valentine, Simak Rekomendasi Hal Menarik ala Kru Sudut Kantin!

Next Article

Ngobrol Bareng MCPR: Membahasakan Isu Kemanusiaan ala Punk Rock