Patung

Priiit!
“Kiri! Kiri! Kiri! Kanan jauh!
Priiit!
“Ke kanan sedikit, Pak!”

Aku mengusap peluh yang terasa tidak berhenti menetes di dahi dan sekeliling leherku. Aku melihat arloji digital bergambar Totoro  yang melingkar di lengan kiriku. Pukul sebelas siang. Dan sudah tiga mata pelajaran terpaksa aku tinggalkan. Sudah tiga hari ini seluruh anggota OSIS, termasuk aku, dikerahkan untuk membantu mengatur lapangan basket sekolah yang disulap menjadi lahan parkir.

Salah satu lapangan markas kegiatan eskul di sekolah kami terpaksa digunakan menjadi tempat parkir sementara untuk tamu-tamu yang datang. Menjelang siang hari, mobil-mobil wartawan dan mobil dengan logo rumah sakit bahkan dinas kesehatan berdatangan ke sekolah. Mereka datang ke sekolah kami dengan tujuan yang sama mengejar berita yang sedang ramai dibicarakan. Berita menggemparkan tentang patung di sekolahku.

“Sialan,” batinku sembari memegang perut.

Perut yang hanya kuisi dengan bubur ayam Pak Jenggot langgananku sudah kembali meracau. Salah seorang rekan di OSIS yang sedari tadi meniup peluit, juga tampak kelelahan. Ia mengacungkan telunjuknya dan menunjuk arah gedung sekolah, sebuah isyaratnya memintaku masuk ruang OSIS terlebih dahulu. Mungkin ia mulai kasihan melihatku yang sedari tadi terpapar terik sinar matahari, mengarahkan mobil-mobil, tanpa makan atau minum. Rasa lelah mengalahkan enggan sehingga aku sepakat dengan permintaannya.

Aku akan pergi ke ruang OSIS. Lalu aku berjalan masuk ke gedung sekolah melalui hall. Kulihat rombongan wartawan duduk di ruang tamu. Mereka tengah menunggu giliran meliput dan mendokumentasikan area taman tengah kami.  Rada, Si Ketua OSIS, bersama guru pembina kesiswaan tampak di tengah kerumunan wartawan.

Cih, masih saja cari muka! Masih sebal juga ketika kulihat Rada. Sejak peristiwa ini, makin arogan sikapnya. Rekan-rekan kami di OSIS memang tidak terlalu mampu memahami sikapnya. Ia selalu datang pagi untuk menyambut para tamu yang datang. Padahal biasanya ia datang selalu lima atau sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai. Semua agenda wawancara dengan wartawan selalu diisi oleh namanya. “Aku merasa cakap dalam berbicara” katanya.

Ya memang sih, kamu cakap berbicara, tapi bukan berarti tiba-tiba kamu mengatakan kalau semua anggota OSIS bersedia membantu di tempat parkir dong!

Aku melanjutkan perjalanan menuju ruang OSIS yang berada pada ujung koridor. Pandanganku otomatis tertuju pada taman belakang yang dipenuhi banyak orang. Mereka mengelilingi sebuah patung, yang bisa dikatakan, menjadi ciri khas sekolah kami.

Patung seorang wanita menggunakan rok selutut dan atasan berkerah yang sederhana. Rambutnya digelung dan wajahnya yang tersenyum manis. Tangannya memegang sebuah buku sedangkan tangan yang satunya menengadah ke langit. Patung ini tidak beralas kaki. Semua siswa di sekolah ini pasti pernah berfoto di dekat patung ini, setidaknya sekali seumur hidup. Setiap kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) sekolah kami berakhir, maka masing-masing kelas akan berfoto di depan patung ini bersama wali kelas yang menjadi orang tua kita di sekolah.

Tidak pernah terpikirkan olehku, satu tahun setelah aku dan teman-temanku berfoto di sana selepas MOS, patung itu akan menjadi sumber perhatian seluruh masyarakat. Patung itu tampak biasa sebelum tiga hari yang lalu kegemparan itu datang.

Ibu kantin yang biasa mengantar makanan dan minuman untuk ruang guru memulai rangkaian peristiwa viral sekolah kami hingga hari ini. Semua berawal dari sebuah pagi, ketika Ibu kantin hendak mengantar serabi untuk makanan ringan dan segelas teh untuk minuman di kantor guru. Semua orang yang hendak menuju kantor guru bisa melihat tampak depan patung tersebut.

Pintu kantor guru berseberangan dengan bagian depan patung. Ibu kantin langsung berteriak histeris, menjatuhkan baki berisi makanan dan minuman tanpa sempat memikirkan rugi bahkan teguran yang akan ia dapatkan. Mulutnya menganga, badannya lemas. Ibu kantin melihat warna merah muncul dari bagian sudut mata patung tersebut. Senin pagi itu langsung gempar, saking gemparnya hingga upacara bendera yang biasanya diadakan setengah jam, menjadi tiga jam.

Kepala sekolah mengadakan sidang massal dan menganggap warga sekolah melakukan vandal. Murid bahkan guru semuanya resah, hingga Rada, Si Sialan itu, mengatakan bahwa sepertinya warna merah itu adalah darah. Semua orang, termasuk aku, kaget dengan ucapannya. Rada mengatakan mencium bau amis tercium ketika ia dan beberapa rekan OSIS melingkarkan rantai mengelilingi patung. Rekan-rekan OSIS yang ikut memasang rantai mengiyakan ucapan Rada.

Sebelumnya aku juga tidak percaya ketika melihatnya. Ketika kulihat patung itu, memang seolah patung itu menangis dengan air mata darah. Tapi warna merah darah bukan hal yang sulit dibuat. Pewarna makanan merah yang dicampur warna hitam dengan takaran tepat bisa menghasilkan warna serupa darah. Salah satu buah dari pohon yang ada di taman SD-ku dulu juga menetesan warna merah darah jika buahnya yang berwarna kehitaman diremas hingga hancur.

Aku sempat berpikir ini memang  ulah nakal Geng Clurut dari kelas sebelah. Namun asumsiku terpatahkan ketika kulihat Geng Clurut pagi itu ketakutan ketika melihat patung tersebut. Mereka sampai tidak berani mengabadikan patung itu dalam bentuk video atau gambar. Sekolah kami tegang ketika keesokan harinya beberapa orang dari rumah sakit datang dan mengecek patung kami.

Setelah beberapa rangkaian pemeriksaan, mereka mengatakan bahwa warna merah itu merupakan darah asli. Tanganku gemetar dan bulu kudukku meremang. Mungkin ini juga terjadi pada siswa dan guru yang mendengarkan pernyataan tersebut.

Aku segera mengambil jatah konsumsi yang disediakan dan duduk di emperan depan ruang OSIS yang terasa lebih sejuk dibanding di dalam ruang. Ruangan OSIS penuh dengan beberapa tim OSIS yang sama-sama kelelahan. Bahkan ada yang tertidur di sudut ruangan karena katanya sejak dua hari ini mengatur parkiran sejak siang hingga sore.

Aku makan seraya melanjutkan obrolan dengan beberapa tim OSIS tentang patung itu. Masing-masing dari kami sadar bahwa panitia MOS atau bahkan guru pun tidak pernah menjelaskan sosok patung tersebut. Sekolah hanya menyebutkan patung itu adalah lambang semangat pendidikan sekolah. Namun bukannya banyak lambang pendidikan? Bukannya bisa juga sekolah membangun patung lambang Tut Wuri Handayani? Atau patung burung hantu? Pak Wando, guru paling tua di sekolah kami, juga tidak tahu asal muasal patung tersebut selain namanya.

Pak Wando berkata perempuan di patung itu bernama Nyai Sayuni Bhanuwati. Pak Wando berkata bahwa patung itu bahkan sudah ada sejak beliau masih menjadi siswa di sekolah ini. Itu artinya sudah hampir 50 tahun patung perempuan itu ada di sana. Tentu kami tidak terlalu percaya karena Pak Wando adalah guru bahasa Indonesia yang gemar mendongeng. Setelah peristiwa ini terjadi, para anggota OSIS mulai mengulik informasi tentang sejarah patung itu.

Ada yang berbicara bahwa patung itu merupakan sosok kepala sekolah kami yang pertama. Salah seorang rekanku di OSIS, yang tengah tergila-gila dengan gerakan feminis, mengatakan bahwa patung tersebut merupakan lambang pendidikan emansipasi. Ia juga memberikan salah satu berita tentang salah satu peristiwa penting di kota ini yakni ketika forum musyawarah pelajar perempuan.

Aku juga pernah mendengar cerita peristiwa ini dari almarhum nenek. Seorang yang lain juga menemukan berita di internet, yakni bahwa patung tersebut sudah ada bahkan sebelum sekolah ini dibangun. Menariknya dari berita yang dibawa kawanku ini adalah si penulis berita menuliskan bahwa patung itu tidak dapat dihancurkan ketika sekolah kami hendak menggantinya dengan patung lain. Berita ini kawanku ini ia dapatkan dari forum pengulas sejarah kota kami. Sebenarnya aku juga mendapat informasi tentang patung itu, namun lebih baik aku menyimpannya.

Berdasarkan banyak buku yang kubaca, sempat terjadi peristiwa kekerasan kemanusiaan besar di Indonesia termasuk di kotaku. Orang-orang diburu dan dianggap mengkhianati negara. Mereka disiksa, diperkosa, dibunuh, dan mayatnya dikubur dalam satu liang yang sama. Aku tidak tertarik dengan peristiwa yang melatarbelakangi kekerasan ini, namun satu hal yang menarik adalah tentara-tentara memburu para perempuan yang mengenyam pendidikan. Mereka akan diburu, dipenjara, diperkosa, dan kemudian dikuliti sebelum dibunuh. Semua tampak mengerikan seperti cerita fiksi, namun semuanya tampak masuk akal.

Jika perempuan ini mewakili pendidikan di sekolah kami, itu artinya dia berpendidikan. Bukan tidak mustahil jika patung ini adalah salah satu perempuan yang menjadi korban pada peristiwa itu? Namun semua tetap aku simpan sendiri. Aku takut informasi ini dianggap mengada-ada, mengingat kegemaranku membaca novel horor atau cerita detektif. Teman-temanku di OSIS pasti akan langsung menganggapku maniak seperti biasanya,

***

Satu bulan  berlalu. Taman kami mulai sepi. Darah di patung itu mulai pudar bersamaan dengan pudarnya minat wartawan dan pembuat konten supranatural yang berkunjung. Berita-berita lain bermunculan dan menimbun berita tentang patung yang menangis darah di sekolah kami. Wartawan-wartawan disibukkan dengan berita kekerasan dalam rumah tangga artis, atau berita tentang persidangan pembunuhan yang sedang naik. Sebuah alur yang sangat lazim terjadi dalam dunia informasi. Wartawan, pembuat konten, bahkan semua orang, seperti halnya lalat di bangkai tikus. Kita akan mendekat jika mayatnya masih hangat dan tercium baunya. Dan kita akan pergi ketika mayatnya sudah kering dan menyatu bersama aspal hitam. Kehidupanku mulai normal kembali dan tidak ada lagi terik lahan parkiran. Tidak ada yang pernah tahu asal darah yang muncul di patung kami. Tidak ada yang bisa menjelaskan. Sama halnya dengan tidak ada seorang dari kami yang tahu seseorang yang iseng melumurkan darah di patung sekolah kami.

Tidak ada yang tahu pada suatu malam, sebelum Ibu kantin mendapati darah di patung sekolah kami, Rada menyelinap dengan masuk melalui pagar di lapangan sepak bola. Ia mengendap masuk ke sekolah pukul dua dini hari, ketika satpam sekolah mulai menggelar kasur di pos satpam untuk tidur setelah memastikan gedung sekolahnya aman. Namun satpam kami tidak sadar jika seseorang yang mengendap ini lebih paham tentang celah-celah dibanding dirinya. Rada lebih paham seluk beluk kebiasaan satpam kami, sehingga ia bisa langsung berlari ke arah patung tanpa ketahuan. Si Ketua OSIS datang dengan ember berisi darah ayam segar. Buru-buru ia menggunakan kuas untuk melumurkan darah ayam di bagian mata patung, hingga menciptakan kesan seolah patung kami menangis darah. Cara ini terbukti berhasil membuat sekolahnya viral selama satu bulan.

Malam ini Rada kembali menyusup ke sekolah. Berbekal dengan strategi yang sama, ia berhasil menyelinap ke sekolah lewat lapangan belakang. Air mata darah yang dibuatnya sudah tidak lagi populer. Kini Rada kembali dengan rencana yang lebih besar.  Ia akan menyiramkan darah ayam di sekujur tubuh patung itu. Pasti sekolahnya akan menjadi lebih viral dari sebelumnya, pikirnya! Rada mempercepat langkah dengan sebuah ember penuh darah ayam beraroma anyir. Namun setibanya ia di depan patung,  Rada melotot. Patung tersebut sudah penuh dengan darah. Bau anyir yang lebih anyir dari seember darah di tangannya terhirup pekat. Bulu kuduk Rada meremang. Ia ingin segera beranjak dari sana, sebelum kakinya lemas. Mata Rada terus menatap patung yang ada di hadapannya. Meski hanya disinari cahaya bulan, Rada bisa melihat bahwa patung yang ada di depannya berkedip. Bola matanya hitam pekat dan ukiran bibirnya bergerak. Patung itu tersenyum! Patung itu bergerak! Tubuh Rada ambruk saking kakinya yang terlampau lemas. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ketakutannya memuncak ketika melihat patung itu menoleh ke arahnya dan tersenyum manis.

“Ini yang kau mau, Cah Bagus?”

***

Priiit!
“Kiri! Kiri! Kiri! Kanan jauh!
Priiit!
“Ke kanan sedikit, Pak!”

Aku mengusap peluh yang terasa tidak berhenti menetes di dahi dan sekeliling leherku. Aku melihat arloji digital bergambar Totoro  yang melingkar di lengan kiriku. Pukul sebelas siang dan sudah tiga mata pelajaran lagi-lagi aku tinggalkan hari ini. Sudah tiga hari ini seluruh anggota OSIS, termasuk aku, dikerahkan untuk membantu mengatur lapangan basket sekolah yang disulap menjadi lahan parkir. Persis seperti satu setengah bulan yang lalu. Namun kini bukan lagi wartawan yang datang, melainkan juga polisi.

Semua terjadi setelah pagi itu, Ibu Kantin berteriak histeris, dan kami semua melihatnya. Aku juga melihatnya dengan jelas. Tubuh Rada tergeletak tak bernyawa di depan patung. Tubuh Rada penuh darah dan ketika dilihat lebih dekat, semua kulitnya telah terkelupas. Tubuh Rada dikuliti. Semua murid langsung diminta tidak mengeluarkan gawai untuk merekam atau memotret tubuh Rada. Kami dipulangkan dengan menyisakan guru di sekolah. Namun potret tubuh Rada segera tersebar di dunia maya. Orang-orang semakin banyak berdatangan. Sekolah kami bukan lagi terkenal karena peristiwa mistis, melainkan juga terkenal karena peristiwa kematian.

Kami tidak pernah tahu peristiwa yang terjadi. Guru-guru terus diinterogasi secara bergiliran oleh polisi. Beberapa kawan dekat Rada juga dimintai keterangan. Giliran kami, para rekan Rada di OSIS, akan dimintai keterangan besok pagi. Sementara malam ini aku terus kebingungan dengan segala peristiwa yang terjadi. Papa dan Mama tidak pernah berhenti berusaha menenanganku untuk menghadapi interogasi besok pagi. Namun bukan pertanyaan polisi yang membuatku resah, melainkan berita yang pernah aku temukan. Berita tentang kasus pelajar perempuan yang dibunuh dengan setelah dikuliti karena dianggap pengkhianat negara. Namun semua tetap menjadi pertanyaanku. Aku tidak pernah tahu kebenaran di balik kematian Rada. Demikian juga ketika Senin pagi jenazah Rada ditemukan dan kerumunan siswa mulai riuh, aku tidak pernah tahu Pak Wando yang justru tersenyum menatap jenazah Rada dari kejauhan, sambil terus mengucapkan ucapan yang sama berulang kali .

“Satu lagi, Nyai Sayuni. Satu lagi darah perjaka untuk menuntaskan dendam Nyai,”

***

Kutoarjo, 23 November 2022


Editor: Tim Editor SudutKantin
Foto sampul: Statues on Burrough Green Old School House / Keith Edkins

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article
Ilustrasi oleh Rolin Noris

Aku lahir, hidup, tumbuh dan mati

Next Article

Menilik Sosok Butá dalam Pameran Self Reflection