Jauh sebelum hari ini, saya mengira pertunjukan teater–khususnya kontemporer dengan segala keabstrakannya–lahir dari fantasi yang dikarang-karang secara paksa oleh si pengkarya. Punya fantasi, fantasi menjadi gagasan, gagasan dirumuskan menjadi konsep, konsep dituangkan menjadi susunan cerita, susunan cerita itu kemudian dimanifestasikan menjadi pertunjukan, yang disebut teater. Beberapa pertunjukan bisa terkoneksi ke saya, beberapa tidak (meski selama hidup kegiatan menonton teater bisa dihitung jari).
Asumsi tersebut kemudian saya koreksi sendiri setelah menghadiri Pesta Boneka IX di Kampoeng Media, Sleman, dari 23-27 Oktober 2024. Tidak butuh lama, satu pertunjukan sudah cukup membuka pikiran terhadap cara pandang lain. Sebagai penikmat seni yang selalu pongah sibuk mencari-cari makna suatu karya, saya sadari festival ini bukan sekadar disajikan untuk menghibur, akan tetapi juga mengedukasi, sengaja maupun tidak disengaja. Bila mengedukasi dirasa terlalu tendensius, bisa saya pakai kata memantik, memantik pikiran untuk memandang gelaran ini dari beraneka sudut.
Salah seorang, atau dua orang, penampil yang memikat saya di Pesta Boneka IX adalah Ta Nuttapol Kummata dan May Nattaporn Thanhahuad dari Ta Lent Show, grup teater dari Thailand. Dalam penampilan tunggalnya di program Puppetry Slam, Ta Nuttapol Kummata menganimasikan hewan-hewan laut hanya bermodalkan bantal duduk–bantal gepeng berbentuk persegi dan bertekstur wajik dengan dua utas tali di salah satu ujung untuk diikatkan ke tiang sandaran kursi agar bantal tersebut tidak bergeser-geser. Ada bentuk ikan pari dan cumi-cumi setidaknya yang paling saya ingat malam itu. Sedangkan May Nattaporn Thanhahuad melalui penampilan tunggal terpisah menganimasikan bunga menggunakan tangan kanannya yang dibalut sarung tangan berwarna kuning-jingga menyerupai bunga matahari dan menciptakan interaksi yang hidup dengan dirinya.
Ta Nuttapol Kummata bercerita bahwa gagasan penampilannya tersebut muncul pada masa pandemi Covid-19 yang dalam periode lockdown itu tidak ada pagelaran teater ataupun kegiatan luar ruang apa pun untuk anaknya selama setahun penuh. Ia pun harus mencari cara kreatif guna memberikan penghiburan untuk anaknya. Terciptalah pertunjukan “teater” animasi dengan bantal tersebut.
Sebagai audiens awam yang berpengetahuan nol tentang teater, saya melihat Pesta Boneka menyajikan sebuah opsi, pilihan atas metode untuk menghibur maupun mengedukasi. Tanpa bermaksud membuat analisis ndakik-ndakik (muluk-muluk) mengenai era digitalisasi dengan tren gawai serta media sosial, saya berani berkata bahwa kita tetap perlu kembali ke medium-medium pembelajaran fisik semacam teater boneka ini. Sedekat apa pun mata kita dengan layar gawai belum bisa menggantikan koneksi “persentuhan” antara kita sebagai penonton dengan penampilan langsung di panggung, dengan segala cacatnya, dengan segala kesalahan/kekurangan produksinya, dengan segala spontanitas penampilnya, yang mana di sana terdapat reaksi, ekspresi, emosi, dan interaksi.
Melalui dunia digital kita hanya menerima apa yang sudah jadi, hasil akhir dengan segala kesempurnaan (hasil editing) tanpa mengenal autentisitasnya. Elemen-elemen pada teater yang saya maksud tersebut juga mencakup teknologi pendukung seperti properti, pencahayaan, latar panggung, termasuk juga hal-hal eksternal di luar naskah, seperti suara dari alam, atau dari masjid. Asyik, bukan?
Edukasi Alternatif?
Salah satu sponsor festival ini adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang entah dukungannya dalam bentuk apa, saya juga tidak coba bertanya ke tim Papermoon. Saya hanya bertanya-tanya, sejauh apa Kemendikbudristek melibatkan dirinya dalam festival ini? Apakah mereka mengutus delegasi untuk menonton setiap hari? Apakah sekaligus momen ini menjadi ajang bagi mereka untuk “riset” tentang metode pendidikan (informal)? Adakah upaya dari mereka menjadikan acara ini sebagai pembelajaran untuk menemukan metode-metode edukasi alternatif?
Belum lagi lokakarya-lokakarya yang memang ditujukan bagi pengunjung agar bisa bersentuh tangan langsung dengan proses kreasinya, sayang bila dilewatkan.
Sekitar dua minggu sebelum menghadiri Pesta Boneka, saya melakukan perjalanan darat ke empat provinsi, yaitu Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat selama 10 hari. Satu fenomena (mengkhawatirkan) yang saya lihat banyak dilakukan anak-anak kecil–selain bermain gawai tentunya–adalah berkendara sepeda listrik, di jalan raya. Aman sekali, bukan?
Pembacaan saya, yang bisa saja keliru, adalah sepeda listrik ini merupakan salah satu cara mudah untuk “menyenangkan anak” tanpa perlu berkeringat mengolah pikiran guna menelusuri cara lebih kreatif lainnya. Tanda kutip itu saya bubuhkan karena sudah menjadi frasa yang populer di kalangan orang tua. Bunyi kasualnya begini, “Yaaa… buat nyenengin anak.”
Fenomena umum lain yang saya perhatikan juga adalah tidak sedikit orang tua yang menuntut anak-anaknya belajar dan tumbuh berkembang tanpa mereka sendiri mau belajar dan terus tumbuh berkembang guna mendampingi perkembangan (pengetahuan) anaknya. Akselerasi pengetahuan anak di masa kini menurut saya sudah berbeda dibandingkan 30 tahun lalu, misalnya, di kala Internet masih barang asing. Banyak muncul pertanyaan-pertanyaan “berat” misalnya mengenai kecerdasan buatan, atau mengenai relevansi agama dengan perkara hidup, atau kerusakan alam, atau tentang perang, yang segala perdebatan mengenai itu dapat mereka peroleh melalui beberapa klik saja pada ponsel pintar. Siapkah para orang tua “meladeni” anak-anaknya, tanpa sikap dogmatis–dan kadangkala autoritatif–untuk menjawab segala pertanyaan kritis yang menghujani mereka? “Bu, Pak, apa itu LGBT? Kenapa ada perang? Pilih kapitalisme atau sosialisme?” Siap menghadapinya?
Rasanya keliru jika menganggap gelaran seperti Pesta Boneka ini hanya diperuntukkan bagi anak kecil, atau hanya orang dewasa, atau sekadar luapan ego seniman yang kadangkala pancen rodo angel buat dipahami. Acara seperti ini dapat bermanfaat bagi siapa pun; ayah, ibu, bujang, gadis, anak kecil, guru, pegawai negeri, seniman, mahasiswa, lanjut usia, dll, dst. Ini adalah gelaran untuk semua usia, gender, budaya, bahasa, tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi.
Papermoon adalah Keluarga
Adalah suatu fakta bila menyebut Papermoon Puppet Theater (PPT) sebagai perusahaan keluarga. Namun di luar arti harfiahnya–yakni perusahaan yang memang didirikan oleh pasangan suami-istri–sejauh yang saya perhatikan dan rasakan, chemistry Pesta Boneka memang chemistry keluarga, suatu hal yang tidak bisa Anda “akali”. Latar memang bisa diciptakan, dirancang sedemikian rupa, dieksekusi dengan tingkat perfeksionisme yang tinggi, akan tetapi hal-hal tak kasat mata seperti chemistry itu tidak cukup tercipta hanya dengan kesempurnaan teknis belaka. Tidak ada rumusan pasti sebagai panduan bagaimana festival bisa berhasil dengan nuansa khas kekeluargaan itu.
Untuk kasus Pesta Boneka, bila memang ada nuansa khas tertentu yang Anda rasakan, mungkin memang ditanam dan dipupuk oleh pendirinya, yang kemudian ditularkan ke anggota timnya, yang etos kerja serta kekuatan relasi antaranggotanya tentu akan berbeda bila diinisiasi oleh orang lain. Mengenai bagus atau jelek itu perkara lain, dan saya bukan ahlinya untuk membahas hal itu.
Lebih dari itu, dibangun dari kehangatan-kehangatan dalam rumah yang kemudian menjadi cerita, yang direnungi, ditulis, dan dibangun menjadi sebuah pertunjukan.
Seperti halnya kisah grup Ta Lent Show di atas. Dari sebuah kondisi yang penuh keterbatasan, lahirlah fantasi-kreasi yang malah melampaui batas. Dari kepedulian terhadap nasib anaknya yang butuh penghiburan, ia simpan dulu imaji akan megahnya panggung dan hiruk pikuk tepuk tangan hadirin gedung. Misalnya saya cuma punya bantal, apa yang bisa diperbuat dengan itu?
Saya cukup yakin empati bukanlah sesuatu yang bisa lahir dari pemrosesan algoritma, atau hasil pemindaian data ultracepat bantuan bot, belum tentu juga hasil kerja pikir intelektual. Dalam kasus Ria (satu dari dua pendiri Papermoon), empati itu berupa keprihatinannya akan kondisi kreativitas seni pada anak-anak yang automatis bila disuruh menggambar pasti akan menggambar pemandangan gunung, dengan format dan warna yang seragam.
Dalam versi dia juga, empati itu terwujud dalam bentuk penampilan teater boneka dari desa ke desa selama setahun untuk menemani, menghibur, dan berbagi kepada anak-anak terdampak gempa 2006 Jogja. Empati itulah yang oleh Papermoon dicukupkan menjadi amunisi pemicu untuk menggelar festival dua tahunan yang mereka beri tajuk Pesta Boneka pada tahun 2008. “Timbang rasa” sepertinya bisa menjadi sinonim untuk kata empati ini, atau versi uraian lebih panjangnya adalah daya untuk memahami atau merasakan apa yang dialami orang lain dari sudut pandang mereka.
Akhir kata, bagi keluarga dan handai taulan, bolehkah kita merenungkan sejenak tentang cara kita dalam mendidik anak-anak kita? Bisakah kita belajar dari gelaran-gelaran seperti Pesta Boneka ini, bahwa uang, misalnya untuk membeli sepeda listrik, bukanlah satu-satunya cara buat menyenangkan anak. Ada banyak cara tak kenal batas dalam mendampingi pembelajaran anak di luar sekolah seraya menjaga kehangatan relasi antara anak dan orang tua. Lalu bagi para lembaga, organisasi, penyelenggara acara, bisakah kita fokuskan orientasi kita sedikit ke arah edukasi, yang aman, intim, dan berorientasi kekeluargaan? Saya cuma lelah dengan perang, dengan rasialisme, dengan prasangka yang tak kian berakhir ini.
Apa relevansinya, mungkin Anda bertanya. Bagi saya, gelaran seperti Pesta Boneka, dengan segala kekurangannya, bisa menjadi ruang (belajar) bagi kita semua untuk berjalin, berbincang, serta bertukar nilai, dan ekstensinya, bersama-sama menanam bibit-bibit perdamaian yang dapat dituai mungkin satu, dua, atau jelek-jeleknya seratus tahun lagi nantinya, sesuai tema Pesta Boneka IX tahun 2024 ini: benih-benih harapan (Seeds of Hope).
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Pesta Boneka IX