Pameran Arsip dihadirkan untuk memprovokasi ingatan dan kesadaran pengunjung atas sebuah wilayah yang mempunyai sejarah panjang yang terhubung melalui garis khatulistiwa.
Ketika menghadiri pameran seni rupa, pengetahuan dan memori kita berperan penting dalam proses memahami sebuah karya atau peristiwa seni dan melalui itu lah jalan terhadap apresiasi dan kritik seni dapat terbuka.
Sebut saja pengetahuan dan memori yang berada di kepala kita sebagai arsip. Arsip ini bergerak di wilayah ketidaksadaran manusia. Meski begitu ia lah yang mendikte interpretasi manusia sehingga muncul kesadaran baru. Sebuah arsip tentu bisa membantu menguatkan imajinasi dan merentangkannya ketika kita berhadapan dengan sebuah karya seni.
Arsip tak melulu perkara dokumen tertulis. Ia dapat dialihwahanakan sehingga menjadi moda yang sama sekali lain tanpa menyapu bersih informasi yang ada padanya. Coba saja tengok Museum Khatulistiwa Game of The Archive di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Di sana kita akan menemukan sebuah wahana gim minecraft yang dibuat berdasar pada sebuah arsip Biennale Jogja seri Equator 2011-2019. Terdapat empat tema yang membangun gim tersebut, yakni: perairan, spiritualitas, disrupsi urban, dan pergerakan.
Dengan membaca arsip, benang merah antarperistiwa dapat ditarik untuk dapat menghubungkan secara jelas sehingga miskonsepsi dapat dihindarkan.
Tampaknya pameran arsip di TBY tak hanya sebuah upaya untuk melihat kembali pagelaran satu dekade Biennale Jogja seri Equator. Lebih dari itu, ia dihadirkan untuk memprovokasi ingatan dan kesadaran pengunjung atas sebuah wilayah yang mempunyai sejarah panjang yang terhubung melalui garis khatulistiwa.
Indonesia dan India contohnya. Pada tahun 2011, kedua negara ini bekerja sama dalam sebuah kolaborasi seni di bawah perhelatan Biennale Jogja XI Equator #1. Tema karya yang diangkat para seniman partisipan meliputi: religiositas, spiritualitas, dan kepercayaan.
Dapat dilihat bagaimana erat hubungan dua negara tersebut. Bersamaan dengan tajuk Shadow Lines Indonesia Meets India bentang kesejarahan terhampar sebelum nama Indonesia muncul dan menjadi nama sebuah negara. Paling tampak kita dapat menelusuri via kepercayaan terhadap dewa-dewi di bumi Indonesia yang kemungkinan dibawa oleh penduduk India.
Tahun kedua pasca Equator #1, giliran lima negara di kawasan Arab, yaitu Arab Saudi, Mesir, Oman, Uni Emirat Arab dan Yaman menjadi bagian dari pagelaran BJ XII. Kawasan ini tak hanya melulu tentang gurun, unta, dan kurma.
Menyoal simbolisme di atas yang menjadi begitu kuat sebagai representasi kawasan Arab diakibatkan media massa atau sosial. Padahal lebih dari itu melalui BJ XII dapat dilihat perkara lain seperti gagasan tentang tanah air, diaspora, dan migrasi.
Arsip pagelaran Sharjah Biennial di TBY tampaknya juga memberi jawaban atas perkara representasi oleh media yang mendominasi wacana global. Di tahun 2019, mereka mengangkat tema Leaving The Echo Chamber. Tema ini begitu dekat dan lekat dengan tahun digital yang makin hari makin kuat. Echo Chamber dapat dipahami sebagai ruang gema. Ia bertalian dengan fitur bubble yang hidup di perangkat digital kita. Pengguna akan dipaksa masuk dalam sebuah ruang yang berisi orang-orang dengan ideologi atau gagasan yang sama. Hal ini menyebabkan penguatan ideologi yang mengarah pada fundamentalisme. Tak adanya diversifikasi gagasan akan menutup pandangan lain yang sebenarnya kita butuhkan untuk menyelesaikan perkara kompleks dalam dinamika berbangsa-bernegara.
Salah satu seniman partisipan BJ XII, Tisna Sanjaya membuat sebuah wahana kora-kora. Melalui wahana itu, ia mengolaborasi beragam seni budaya Indonesia dengan seni Arab. Wahana ini dipadukan dengan seni emprak yang jadi tradisi saat panen sebagai doa kepada sang pencipta atas hasil bumi. Tisna ingin menunjukkan, Islam yang masuk melalui jalur kultural ke Nusantara penuh dengan kegembiraan, suka cita, dan rasa syukur.
Masih dalam garis imajiner khatulistiwa, Indonesia kemudian bertemu Nigeria dalam upaya meretas konflik menjadi sesuatu yang berdaya guna. Seperti yang jamak diketahui, Nigeria dan Indonesia memiliki sejarah panjang terkait proses demokrasi. Tak jauh beda dengan Indonesia yang memulai babak reformasi dengan melengserkan rezim orde baru yang otoriter, Nigeria pun memasuki penggalan sejarah yang kurang lebih mirip di Indonesia. Mereka juga memulai babak baru demokrasi di tahun 1998 pasca lepas dari rezim militer yang otoriter.
Bergerak menuju barat, Indonesia sampai ke titik paling jauh garis khatulistiwa—Brasil. Kunjungan tim Biennale Jogja ke Brasil pada November 2016 memantik ide tema yang akan dibawa ke Yogyakarta. BJ XIV Equator #4 mencoba menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat manusia tidak berani untuk berharap karena kenyataan sulit untuk dipahami, maka muncullah Stage of Hopelessness dan Managing Hope.
Kembali ke Asia Tenggara, BJ XV Equator #5 bekerja sama dengan 52 seniman dan kelompok dari berbagai wilayah dan kota di Asia Tenggara. Di bawah tajuk Do We Live In The Same Playground? para kurator mencoba menampilkan hasil pembacaan atas persoalan pinggiran yang terjadi di Asia Tenggara, terutama yang beririsan dengan masalah identitas, konflik sosial politik, perburuhan, dan lingkungan.
Akhir dari perjalanan Biennale Jogja keliling dunia via garis khatulistiwa berakhir di Oseania. Perhentian ini menandai berakhirnya putaran pertama BJ seri khatulistiwa. Dengan mengusung tema Roots < > Routes, pembacaan atas ketercerabutan identitas dan migrasi paksa menjadi persoalan yang penting untuk dihadirkan.
Arsip BJ XI Equator #1 hingga BJ XV Equator #5 di TBY menghantar sebuah vibrasi isu di tiap tempat di bawah garis khatulistiwa. Semua saling mengait dan menjadi sebuah rentetan sejarah yang penuh dengan perebutan identitas atas kepentingan politik jahat. Masyarakat kemudian menjadi korban; mereka terpinggirkan-teralienasi sehingga muncul perlawanan-perlawanan organik melalui berbagai medium seperti seni.
Di tembok dekat pintu masuk pameran arsip di TBY, kita dapat melihat juga sebuah linimasa yang dibagi berdasar lima periode sejarah dunia, antara lain: imperialisme barat, puncak gerakan dunia ketiga, neoliberalisme barat, Amerika Serikat, dan zaman mutakhir.
Pada periode kedua, di linimasa, terdapat peristiwa penting bagi perjuangan kedaulatan negara-negara Asia-Afrika dalam melawan imperialisme dan rasialisme. Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat, pada 1955 menjadi upaya dunia internasional untuk bersama menjunjung hak dasar manusia. Terdapat sepuluh sila (Dasa Sila Bandung) yang dihasilkan dari KAA tersebut. Sila-sila ini menjadi inspirasi bagi terbentuknya seri equator Biennale Jogja dengan satu semangat “dekolonisasi seni”.
Dekolonisasi seni dalam jejak-jejak perhelatan Biennale Jogja, termasuk kritik yang mewarnai BJ selama satu dekade, membuka sebuah kesempatan bagi kita untuk memasuki celah kesadaran baru sebagai upaya membaca dunia dengan perspektif yang beda.
Kita diberi tawaran lain dalam memilih ingin menjadi dan bergerak seperti apa di dunia yang penuh dengan persoalan ini.
Editor & Foto: Agustinus Rangga Respati