Sebelum Puisi: Kumpulan Puisi Aly Reza

dok. Akwila Chris Santya Elisandri

Kumpulan puisi ini: Sebelum Puisi, 3000 Abad, Catatan di Meja Makan, dan Apostrophe, ditulis oleh Aly Reza, seorang kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Saat ini sedang disibukkan dengan aktivitas menulis untuk beberapa media online.


Karena HM, seluruhnya

Sebelum Puisi

Jarak antara hidup dan kematian begitu tipis. Tak lebih tebal dibanding air mata dengan basahnya. Aku menyongsong keduanya dengan segala putus asa atas kekacauan yang terjadi di dunia, atau perang tak berkesudahan yang terus berkecamuk di dalam kepalaku sendiri. 

Tapi aku justru menemukanmu, yang lalu memeluk gigil tubuhku; membisikkan firman-firman yang seperti kau nukil dari api yang tak pernah lancang membakar seorang nabi. 

“Hamba mana yang tak menginginkan kematian? Entah karena rindu keabadian atau karena menyerah pada usia? Tapi setidaknya, hiduplah sebagai manusia yang punya gairah,” tuturmu, berdentang-dentang.

Begitulah dan akhirnya aku memilih menulis puisi. Maka, bacalah. Bacalah atas nama dirimu sendiri….

Rembang, 2022

3000 Abad

Kota kita menghitam, dan lebih sering memerah. Jam kerja semakin padat, manusia kian sibuk, dan burung-burung seperti lupa caranya hinggap di dahan-dahan, juga kupu-kupu atau capung atau lebah atau kumbang yang sengaja mematahkan sayap masing-masing.

Kota kita menghitam, sebelum akhirnya memerah. Tidak ada koran pagi, cangkir kopi, dan suara renyah perempuan dari dapur. Hanya klakson yang bersahutan dan bentakan dan teriakan yang nyaring dan tidak jelas. 

Kota kita tidak lagi mencintai puisi atau musik atau pertunjukan teater yang rutin kita saksikan di balai budaya tiap malam Minggu. Sungguh, aku mulai berpikir membuat sebuah sekte. Lalu kuyakinkan orang-orang bahwa kiamat jatuh pada tanggal 32, sepanjang tidak ada satupun manusia yang menulis atau membaca puisi, mengompos lagu atau bernyanyi. Tapi kau tahu aku tidak begitu berbakat menjadi nabi.

Ah, pada kenyataannya aku hanyalah manusia yang hidup di dalam bayang-bayang isi kepalanya sendiri. Dunia semakin menyebalkan dan aku berhasrat betul menenggak racun serangga. Tapi ada kau di kepalaku, dan aku merasa harus hidup sampai 3000 abad lagi.

Rembang, 2021

Catatan di Meja Makan

Kematian semakin dekat, mengetuk satu per satu pintu rumah setiap yang meminjam nyawa di kolong langit ini. Hari ini, atau esok, mungkin lusa, bisa juga di suatu masa yang entah, Kematian dengan tabiatnya yang tiba-tiba mengetuk pintu rumah seorang pecundang yang menulis puisi ini dengan kebingungan yang ia pendam selama berhari-hari; aku.

Itulah kenapa rumahku selalu kubiarkan terbuka, dengan meja makan yang selalu tersedia dua kaleng bir bermerek nama salah satu benda langit. Aku tak suka kopi (lebih tepatnya tidak kuat. Asam lambung membenci kafein. Dan aku membenci asam lambung). Tapi aku menyukai kematian. 

Barangkali untuk yang terakhir kali, aku ingin berbincang dengan kematian, sebelum jasadku ditimbun dan dilupakan, atau dibuang ke laut, mungkin juga dilempar ke tempat sampah. (Aku percaya surga, tapi tempat itu terlalu suci). Oh, aku juga ingin berbicara denganmu; seseorang yang membaca puisi ini—memang aku tulis buatmu. 

Aku berhutang rasa pada keduanya; dirimu, juga kematian yang sudah mengintip di celah pintu. Kematian adalah satu hal yang membuat hidup ini terasa bermakna, sedang kau adalah lain hal yang membuat kematianku tak terlalu sia-sia.

Rembang, 2021

Apostrophe

Aku datang kepadamu sebagai seorang lelaki yang menggenggam bunga layu di tangan kiri; bercak lumpur di sepatu; juga darah di mantel kusam yang kukenakan. 

Di sepanjang jalan, orang-orang memaki dengan kata-kata yang konon diciptakan dari bangkai manusia, busuk dan tentu lebih anyir dari bau mulut seorang pemabok yang terbata-bata mengeja cinta.

Kau tahu, aku datang hanya untuk kematian. Mungkin dengan cara mati paling konyol dari yang pernah aku dengar dan saksikan. 

Tapi aku justru tiba kepadamu, sebagai seorang lelaki yang menggenggam bunga layu di tangan kiri; bercak lumpur di sepatu; juga darah di mantel kusam yang kukenakan, dan kau justru mempersilakanku masuk ke rumahmu yang hangat dan temaram. 

Kau lantas duduk di sebelahku, menatapku sejenak, lalu katamu, “Tinggallah,” sambil menunjuk ke dada kiri. 

Aku seperti melihat kehidupan kedua yang tak akan sia-sia. Aku masih ingin mati, sungguh, tapi tidak untuk saat ini.

Rembang, 2021

 

Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Akwila Chris Santya Elisandri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Jangan Menangis di Pusaraku; Kumpulan Puisi Zeiliana Ardifta

Next Article

Puisi Tanah: Kumpulan Puisi Antonius Wendy