Kumpulan puisi ini; Satu Petak Tiga Babak, Jangan Menangis di Pusaraku, dan Angan, ditulis oleh Zeiliana Ardifta (Jeje). Suka menulis racauan isi kepala, apalagi pada jam-jam rawan. Mahasiswi fakultas hukum UNSOED dan aktif di Teater Timbang.
Satu Petak Tiga Babak
14 Februari 2022
(1)
Hujan mengguyur Minggu sore yang biasa-biasa saja,
petir menyambar ranting daun yang paling dekat dengannya,
gemuruh menggelegar
— seolah bisa membangkitkan kembali mereka
yang sedang dalam perjalanan menuju nirwana.
Berpadu dengan dendang suci para santri
yang kian hari semakin mesra dengan Khaliqnya.
(2)
Luapan amarah dari selokan yang tak kunjung surut
dan tetap menggenang,
airnya merembes, lalu masuk tanpa mengucap salam.
Biar ku tebak pasti mereka tak pernah diajar orang tuanya perihal sopan,
atau mungkin air-air itu hanya diantar sampai pintu gerbang sekolahan
dan sisanya entah harus mengalir ke mana,
hanya mengikuti arus lalu terjebak dalam satu kubangan yang sama.
(3)
Kala itu ibu tengah menyajikan tahu dan tempe goreng
beserta sambal dan lalapan,
bapak sibuk berkutat dengan lintingan tembakaunya
— di rumah gubuk nan reot di calon tanah sengketa
berhias suara bising lalu-lalang kereta juga debu pantura.
Sedangkan aku masih saja berdiam diri di kamar
memasang raut wajah muram
setengah gila dan hampir kehilangan asa,
di usiaku yang baru saja menginjak angka dua puluh dua.
Jangan Menangis di Pusaraku
16 Desember 2021
Jangan lagi basahi pusaraku dengan air matamu;
mereka terlalu mahal untuk aku yang terlanjur jalang,
pada setiap sudut hina keduniawian
pada setiap simpang-simpang jalan
Berhentilah melantunkan teriakan-teriakan sumbangmu itu,
suaramu tak begitu merdu di telingaku
Sudahilah sedihmu di hadapan tubuh yang sudah terbujur kaku
yang pernah menggantung di langit-langit kamar
yang pernah terseok di atas kejamnya kenyataan
Tak usah repot-repot untuk menukarkannya dengan jiwamu
engkau masih harus tetap hidup
engkau masih harus tetap merawat kehidupan;
di kolong-kolong jembatan dan sepanjang Jalan Jenderal Soedirman
Apa yang harus kau ratapi?
Sebab aku sudah benar-benar bebas,
tak kau lihatkah aku yang sedang menari-nari dengan bayangan?
Halamanku sudah habis, kawan.
ku robek, dan sisanya kubiarkan untuk kau simpan.
Angan
11 Desember 2021
Hari-hari berlalu dan tak kunjung membaik,
tubuh yang rasanya tak mampu lagi tuk bertahan
menyokong beratnya beban di pikiran
—yang begitu liar dan saling berlari berkejaran.
Dan malam ini aku kembali meringkuk;
meliuk di sudut pinggir ranjangku,
ditemani gelap malam
nyanyian merdu rintik hujan
dan juga bisikan-bisikan mesra dari jarum jam.
Aku kirimkan tatapan nanar—samar-samar—kepada langit kamar;
yang hanya bisa diam,
memandangiku dari atas sana
di dalam ruangan pengap nan gelap
berhias lampu tidur yang saling bergantian tuk berkedip
menggoda tangis yang sebentar lagi luruh dari pelupuk mata.
Temaram yang membawa nostalgi,
kehidupan yang semakin hancur
dan tak lagi begitu berarti.
Aku kembali berjalan pulang sendirian
— membawa puing-puing harapan yang tak lagi mau tuk dipersatukan.
tak tentu arah, dan tak mampu memukan jawaban.
Penyelaras Aksara: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Akwila Chris Santya Elisandri