Sebuah Kota yang Lahir dari Mimpi: Kumpulan Puisi Imam Budiman

Kumpulan puisi ini: Kota yang Tumbuh dari Kulit Kita dan Sebuah Kota yang Lahir dari Mimpi ditulis oleh Imam Budiman. Seorang pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia di Madrasah Darus-Sunnah dan SMA Adzkia Daarut-Tauhiid.


Kota yang Tumbuh dari Kulit Kita

gedung-bangunan-jalan-parit-trotoar tumbuh
sepanjang hari dari pecah kulit dan perut buncit.
seorang nenek geleng kepala melihat anak SMA
tawuran saat menjemur pakaian. kucing ngeong
ngeong gelisah sulit cari pasir tempat berak mesti
ditimbun. burung-burung setengah malas berkicau 
di atas kabel listrik di tengah terik. panas kian bara,
keluh batang cemara jadi serapah miskin suara.

apabila matahari nampak jatuh dari kepala, pekerja
buruh bersorak seperti ratusan kambing ternak lepas
kandang. waktu berakhirnya hari merupakan hal
paling menyenangkan di kota ini –sekaligus jadi
menakutkan bagi para pekerja; jumpa celoteh anak
dan masakan istri, meski tubuh harus terlebih dulu
menenggak berkubik asap kendaraan, keringat 
asam, juga dicabik-cabik macet.

di kota ini, kota maha lelah seluruh penghuninya, 
kita semakin sukar membedakan, mana orang utan
dan mana orang-orang yang tinggal di hutan.
bagaimana tidak, tuan. orang-orang yang mendaku
daku modern, lebih intelek dan berperadaban, kerap
bertingkah serupa hewan, kita bisa lihat langsung di
layar televisi. mereka pelakon andal yang pandai
memainkan peran penuh kepura-puraan.

kota kita yang aneh, kota yang serba absurd; yang
jauh terasa dekat, yang dekat terasa tak ada, yang tak
ada selalu dibayangkan. sampai akhirnya, kita gila
oleh tingkah laku sendiri. beruntung, kota ini masih
berbaik hati menerima kita. kota kita yang jauh dari
keramaian: kota kita, kota kata-kata.

ayolah. kita perlu ruang dan alat bernapas lagi. 
kita perlu insang teknologi canggih keluaran 
terbaru —paru-paru kita sudah rusak 
oleh udara kota ini, bukan?

pohon-pohon adalah akar
benteng yang dipasak tuhan.

danau-curug-telaga adalah
bayi-bayi sumber kehidupan.

: tubuh kita menumbuhkan mereka

2023

Sebuah Kota yang Lahir dari Mimpi

Syahdan, I

ketika itu, yang kuingat, hanya ada sekelebat daun
pirawas dan beberapa kelopak kembang culan yang
sempat melambai sebentar setibanya kedatanganku 
di kota ini. sambutan yang manis. di samping itu,
sebenarnya ada juga yang ingin mereka keluhkan.
entah apa. lantas aku bergegas saja melewati mereka.
bukan karena tak ingin melepas rindu pada kenangan
masa kecil. hanya saja ada suatu  hal yang mesti
segera kuselesaikan berkenaan kedatanganku
yang mendadak ini.

Syahdan, II

sudah lama sekali rupanya aku tak lagi pernah
berkunjung ke kota ini. kota yang sunyi. kota yang
kedap dari suara. yang dikenalnya hanya bahasa sunyi
dan kerat-kerat ranting tua. hamparan pohon kelapa
yang sudah tak lagi subur. konon, dulunya ibu lebih
sering menghabiskan waktu di perkebunan ini. Ia
punya banyak sekali cerita masa lalu. aku seringkali
menjadi pendengarnya. meskipun terkadang ibu
menceritakan beberapa cerita yang terulang. 
aku tetap antusias mendengarkannya. bahkan 
meminta kepadanya untuk bercerita lebih 
dengan mengumpan beberapa pertanyaan. 
aku selalu tahu bagaimana cara memancing 
ibu agar tak letih-letihnya becerita.

Syahdan, III

sungguh, aku ingin pulang untuk waktu yang lama.
tak ingin terburu-buru terjaga. aku ingin kembali
menyusuri jalan di mana memunguti kembang sepatu
untuk bermain kala sore, menjadi sebuah kesenangan
tersendiri bersama kawan-kawan. menyelinap ke
halaman depan rumah nenek Kutai. oleh guru mengaji
di surau, kami diajarkan untuk tidak mengambil
kepunyaan orang lain secara diam-diam. itu namanya
mencuri, dilarang agama, bisa masuk neraka. kami
berpikir untuk meminta izin saja memetik beberapa
buah musiman itu dengan nenek Kutai. tetapi,
berulang kali kami meminta, nenek Kutai justru
malah memarahi kami.

Syahdan, IV

“hei buah-buah kwini! sedang mengantuk atau
sedang melamun? runduklah tangkaimu ke dalam
genggam setelapak bawang ini,” kami pun tertawa
kecil andai kami mengingat kembali mengenai
percakapan imajiner itu.

2023


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Letak Tubuh di Antara Intermedialitas

Next Article

Siasat Seni Kethoprak Beradaptasi dengan Zaman