Siasat Seni Kethoprak Beradaptasi dengan Zaman

Melihat perkembangan kethoprak dan negosiasinya atas perkembangan teknologi, khususnya dalam penciptaannya melalui radio hingga ranah audio-visual. 

Saya datang hari itu (9/03) tanpa tahu apa itu kethoprak. Pernah sekali saya menonton kethoprak di Magelang, di satu padepokan seni yang cukup besar di sana. Namun belum saya paham betul-betul bagaimanakah sepenuhnya kethoprak bekerja.

Kebetulan, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang sedang menggelar semacam seri sarasehan seni bertajuk Sarasehan Kethoprak: Kethoprak dalam Ruang dan Waktu, akhirnya membuka kesempatan saya untuk mengenal kesenian kethoprak. Tentu saja, saya tertarik, mendaftar, lalu datanglah ke sana untuk memahami kethoprak dan teks-teks yang mengitarinya di sepanjang horizon waktu dan ruang tempatnya mengada. 

Sarasehan itu ramai. Ruangan Seminar TBY jadi lebih hangat dari biasanya. Banyak anak-anak muda yang datang untuk kethoprak. Saya memasuki ruangan setelah mengisi buku tanda hadir, lalu duduk di tempat yang telah disediakan.

Tak lama, cukup tepat waktu, pembawa acara atau Harien Suryandari membuka acara. Ia menyambut dan mempersilahkan para narasumber untuk maju dan duduk di depan. Narasumber hari itu adalah Sugiman Dwi Nurseto (Praktisi Kethoprak RRI), Dra. Daruni, M.Hum. (Akademisi), dan Ari Purnomo (Praktisi Kethoprak Muda). Ketika ketiganya telah siap, pelantang dioper kepada Herwiyanto (Moderator), dan sarasehan dimulai oleh Bu Daruni.

Dalam Kethoprak, di Manakah Perempuan?

Bu Daruni membuka perbincangan hari itu dengan bahasan tentang perempuan dan posisinya dalam seni kethoprak. Bagaimanakah perempuan dijelaskan dalam kethoprak? Teks apa yang melingkupinya? 

Kita mengenal banyak tradisi-tradisi yang dibentuk oleh pengetahuan tunggal bernama patriarki. Dan tiada yang lain selain patriarki. Perspektif perempuan dipinggirkan dengan dalih yang kadang-kadang belum selesai dinalar. Sehingga perempuan seringkali digambarkan dengan ketimpangan-ketimpangan pandangan yang berat pada ekspektasi patriarkis yang merugikan perempuan. Dari penjelasan Bu Daruni, diketahui situasi itu juga pernah terjadi pada kethoprak. 

Dalam titimangsa kethoprak, Bu Daruni menjelaskan, perempuan pernah dicitrakan dengan sangat patriarkis. Ada kisahnya yang serba menderita, serba jadi korban, berhati-mulia. Sedangkan laki-laki berada di oposisinya. Laki-laki dicitrakan punya kecenderungan maskulin yang terkadang meluber-luber.

“Ini isunya sangat patriarkis. Kita itu, perempuan Jawa, sering ditanamkan bahwa berkorban itu mulia. Sengsoro ki apik. Sehingga ibu-ibu itu yang punya jiwa altruistik, jiwa altruistik itu jiwa yang berkorban untuk kebahagiaan keluarga, itu senang sekali,” ujar Bu Daruni.

Pandangan semacam itu dipangkas-habis ketika Doku-Drama di Benteng Fort Rotterdam yang menampilkan kisah-kisah pangeran Mangkubumi. Perempuan yang merengek-rengek, cengeng, lemah digantikan dengan perempuan perkasa.

Melepas diri dari teks dalam kethoprak, Bu Daruni pergi kepada teks di luarnya yaitu yang melekat pada pengalaman dirinya menekuni kethoprak. Kata ‘kethoprak’, dijelaskan Bu Daruni tidak sebagai kata benda semata, melainkan juga kata kerja. Kethoprak adalah gerak atau laku hidup yang menawarkan makna untuk kita memandang dunia. Tidak hanya sebagai aset budaya, seni kethoprak dapat dicairkan begitu rupa, sehingga ia mungkin menjadi ruang yang terbuka dan aman bagi siapapun. Termasuk perempuan.

Kethoprak dan Dunia yang Bergerak

Berlanjut ke narasumber kedua, acara ini mengajak peserta pada pembahasan seni kethoprak dalam lingkup radio oleh Pak Sugiman. Berbeda dengan Bu Daruni dan Mas Ari Purnomo, Pak Sugiman mengambil fokus kethoprak dengan media audio atau audio-visual. Penjelasannya adalah seputar perkembangan kethoprak dan negosiasinya atas perkembangan teknologi, khususnya dalam penciptaannya melalui radio hingga ranah audio-visual. 

Sepanjang penjelasannya, Pak Sugiman menceritakan bagaimana seni kethoprak berevolusi dalam tubuh-tubuh teknologi yang kini menggoda penciptaan seni, tak terkecuali kethoprak itu sendiri. Ia menyebutnya sebagai “tuntutan zaman”.

Kethoprak, dari banyak sumber, pertama kali tercatat disiarkan pada tahun 1935 oleh Radio MAVRO (Mataramsche Vereniging voor Radio Omroep) di Yogyakarta. Dari sana, kethoprak radio mulai berkembang. Masyarakat sering memutarnya, termasuk ayah Pak Sugiman. Itulah yang membuat Pak Sugiman kemudian tertarik pada kethoprak.  

Dalam penjelasannya, Pak Sugiman banyak menampilkan audio maupun audio-visual kethoprak beserta penjelasan teknis tentangnya. Mungkin aneh, tetapi saya masih mengerti karena penjelasan Pak Sugiman, biarpun saya tidak paham kethoprak. Penjelasan itu cair dan menggunakan kata-kata teknis yang sederhana. 

Namun sebagai orang rantauan di Yogyakarta yang minim pengetahuannya terhadap bahasa Jawa, saya diam saja. Melongo. Saya tidak bisa mencerna bahasa itu. Tetapi, pada akhirnya, saya tidak bisa menghindar dari kagum dengan yang ditampilkan. Bahwa kethoprak selalu mampu membuka diri pada gerak zaman, lalu berkembang dengan cair, persis apa yang Pak Sugiman sampaikan.

Penjelasan Pak Sugiman ini kemudian dilanjutkan oleh Mas Ari. Mas Ari menanyakan kepada peserta sarasehan, kurang-lebih, siapakah yang pernah menonton kethoprak? Masihkan betah menonton kethoprak selama dua jam? Jawaban penonton terbelah-belah. Berpijak dari itu, Mas Ari memulai pembicaraannya dengan ketegasan.

“Variasi penonton ini yang harus kita jaga. Tidak meninggalkan yang lama, tetapi bagaimana yang lama itu kita saksikan dalam kemasan-kemasan yang lebih kekinian,” buka Mas Ari. 

Momen Ari Purnomo dalam Sarasehan Kethoprak: Kethoprak dalam Ruang dan Waktu (dok. Taman Budaya Yogyakarta).

Kethoprak, dulunya adalah sarana penghiburan petani di sawah. Berasal dari kata kenthongan dan keprak. Dua-duanya alat musik yang digunakan untuk kethoprak dulu, sebelum sekarang ada saron dan sebagainya. Setelah dikomersialisasi atau dijual, kethoprak berkembang jadi kethoprak keliling, lalu bergeser pada kethoprak pendhapa, hingga kethoprak panggung. Tibalah masuk ke kethoprak radio (auditif) dan televisi (audio-visual/filmis).

“Pemilihan media yang tepat sebagai sarana untuk memperkenalkan dan kemudian mencapai sasaran sangatlah penting dalam strategi komunikasi. Esensi dari pertunjukan ‘kan berkomunikasi ‘kan? Bagaimana kita sebagai kreator mengkomunikasikan ide-ide kita lewat sebuah karya. Sehingga penonton paham,” pungkas Mas Ari.

Belajar kethoprak itu tidak harus menjadi pemain kethoprak, kata Mas Ari. Setiap orang bisa belajar banyak hal, seperti manajemen panggung sampai komponen-komponen artistik. Jangan malu mempelajari kethoprak. Justru kita perlu bangga ketika mempelajari kethoprak yang memiliki nilai-nilai warisan dari leluhur.

Lebih baik lagi jika kita menyesuaikannya dengan kehidupan masa kini. Kethoprak itu bukan tua, justru ia gerak budaya yang selalu muda. Kethoprak telah terhaluskan karena beragam penyesuaian yang merupakan hasil pembukaan diri kethoprak itu sendiri.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Taman Budaya Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts