Mencampurkan musik punk dan elektronik, diramu dengan rapalan-rapalan kemarahan, membuat “Dekade Pembangkangan” berhasil menjadi bensin untuk menggenjot perlawanan terhadap mesin dan tiran di masa depan.
Berangkat dari Surakarta, 16 tahun lalu, unit yang memproklamirkan diri sebagai punk infused techno ini menggebrak dengan album baru bertajuk “Dekade Pembangkangan”. Album kedua lahir setelah satu dekade perilisan album perdana, yakni “Penghabisan” (2013). “Dekade Pembangkangan” mengawali era baru MTAD yang sebelumnya bernama Matius Tiga Ayat Dua.
Berisi 9 track yang diolah dari beberapa materi lawas dan baru, “Dekade Pembangkangan” berhasil meramu musik punk, elektronik, metal, rock, dan industrial dalam satu wadah. Alhasil, sebuah karya yang dirilis melalui DUGTRAX Records pada 30 Agustus 2024 melahirkan perkawinan musik yang cukup kompleks, lirik naratif, legit nan memukau.
Album ini laksana olahan eksperimental dengan sound design yang modern, clean, dan matang. Terdengar pula sound drum live yang begitu rapi. Kesembilan track yang mengisi album ini memiliki mastering yang seragam, namun memiliki ciri khas di setiap track-nya, baik dari segi looping instrumen maupun chord.
Ketika membahas “Dekade Pembangkangan”, tidak bisa dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri dari MTAD. Album ini memiliki benang merah yang masih berhubungan dengan ‘album sebelumnya serta grand design yang dibawa MTAD: Cyberpunk. Di dalam “Penghabisan”, MTAD yang kala itu masih menggunakan nama Matius Tiga Ayat Dua, menceritakan bahwa kiamat merupakan kesadaran dan keresahan bersama.
Pemilihan kiamat sebagai tema dalam “Penghabisan” berangkat dari sebuah ayat Alkitab dalam perjanjian baru yang juga dipakai sebagai nama band, Matius 3:2 yang berbunyi: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat”.
Bentuk resistensi yang terlihat dalam “Penghabisan” masih sangat kental terasa di “Dekade Pembangkangan”. Jika di dalam “Penghabisan” menginsinuasi sebuah konsep apokaliptik versi Alkitab, beda halnya dengan “Dekade Pembangkangan”. Album ini menggeser konsep kiamat yang semula dari Alkitab ke sebuah peradaban utopis yang dikontrol teknologi. Di sinilah konsep Cyberpunk ala MTAD terlihat. Punk yang melawan mesin di masa depan.
“Dekade Pembangkangan” adalah pesan dan seruan untuk generasi yang akan datang. Generasi yang akan merasakan kekacauan dunia karena teknologi. Generasi yang akan merasakan dibelenggu oleh tiran berbentuk mesin. Dan generasi yang akan berperang dengan robot-robot bersenjata mutakhir. Album ini menjadi genderang perang untuk terus melancarkan perlawanan dan pemberontakan.
Nomor pertama berjudul Untuk Perang Yang Akan Datang. Track yang berdurasi 3:16 menit ini, agaknya cocok sebagai pembuka sebuah karya perlawanan. Dengan intro selama hampir 40 detik, dibuka dengan suara gitar yang berat, disusul dengan jeda sisi elektronik, hingga dentuman drum bak genderang perang, lagu ini mampu menggugah setiap telinga yang mendengarkannya.
Perlawanan anak manusia // Di masa mesin berkuasa
Hari penghakiman telah tiba // Saatnya melawan penguasa
Untuk semua yang terluka // Untuk semua yang kita yakini
Tatanan dunia // Telah berubah
Melaknat ambisi terpatri // Dalamnya luka tersakiti
Ambisi yang tak akan mati // Untuk perang yang akan datang
Lirik tersebut mampu menggambarkan sebuah masa dimana mesin telah merenggut segalanya. Membuat banyak manusia terluka, marah, dan kehilangan apa-apa saja yang dimilikinya. Akhirnya, setelah semua ketertindasan yang dirasakan, amarah yang membuncah membawa setiap individu untuk melawan balik dan melakukan penghakiman.
Masih mengacu pada track Untuk Perang Yang Akan Datang, terdapat empat warna vokal yang berbeda dalam setiap part. Hal tersebut dapat ditilik pada tiga part di atas. Part pertama cenderung berkarakter berat. Part kedua masih dengan karakter berat, namun ada sedikit scream. Dan di part ketiga, suara yang lebih tinggi namun dengan frekuensi yang rendah hadir dengan sentuhan ala-ala fry scream. Pada part keempat, sambil diiringi ketukan drum, sang orator muncul dengan kemarahannya yang menggebu-gebu.
Untuk semua yang terbelenggu dalam tananan dunia maya
Hari penghakiman telah tiba
Sebuah entitas purwarupa representasi dari tuhan
Dalam wujud angka binary
Sebuah dajjal baru yang kalian sembah dan yakini
Telah merenggut ruang hidup dalam utopian kewarasan kalian
Untuk perang yang tidak akan pernah kita menangkan
Layaknya seorang yang berorasi di atas mobil komando ketika demonstrasi, diksi-diksi yang dilontarkan cukup untuk menghantam dan mengkritik orang-orang yang menuhankan teknologi. Penggunaan diksi ‘dajjal’ seakan ingin menunjukkan realitas bahwa teknologi-mesin-dunia maya adalah kesesatan, tetapi tetap saja selalu ada umat yang menyembahnya.
Ada satu hal menarik dalam penggalan lirik di atas. Ketika dari awal hingga akhir dipenuhi dengan amukan, kemarahan, dan semangat perlawanan, namun ada satu kalimat yang kontradiksi: untuk perang yang tidak akan pernah kita menangkan. Jangan-jangan, ada tendensi nihilistik dalam track ini.
Selanjutnya, In Riot Veritas. Judul track kedua ini menyadur dari pepatah bahasa Yunani, “In vino veritas” yang memiliki arti “dalam anggur ada kebenaran”. Pepatah itu pertama kali keluar dari mulut seorang penyair bernama Alcaeus yang berasal dari Pulau Lesbos sekitar tahun 630 SM. Alcaeus mengungkapkan bahwa ketika seseorang berada dalam pengaruh alkohol, akan lebih mudah mengatakan kebenaran dan keberanian.
Jika Alcaeus mengatakan bahwa anggur bisa membuat orang jujur, lain halnya dengan MTAD. MTAD percaya dengan adanya chaos dan riot, bisa membuat orang jujur dengan apa yang dirasakan. Track ini mengajak setiap pendengarnya untuk kembali pada jalur perlawanan, meski sudah berkali-kali kalah, terjerembab, dan tersungkur.
Hey! kembali melawan // Kembali dalam barisan murka, amarah dalam balutan luka
Hey! Menyulut petaka // Menyulut kobar bara amarah, untuk semua yang tertunduk kalah
In riot veritas!
In Riot Veritas memberikan porsi lebih terhadap ritme dalam instrumen elektronik. Hampir setiap part dalam lagu ini terdapat suara khas yang dihasilkan oleh sampler. Track kedua dari “Dekade Pembangkangan” ini cocok untuk dijadikan mars pembakar energi bagi setiap orang yang murka dan muak untuk kembali melawan, ketika berada di medan perang. Akan tetapi, adanya sampling-sampling elektronik yang muncul di banyak part, membuat pendengar ingin berdansa di tengah kekacauan. Jadi teringat kata-kata dari Emma Goldman: “If i cant dance, i dont want to be part of your revolution”.
Untuk sebuah narasi tanpa kompromi
Atas sebuah kasta pyramid teratas dalam kultur hirarki
Untuk sebuah obor yang kembali kami sulut
Membakar semua cawan-cawan suci yang mereka sembah
Terkadang amarah hanya dapat berbicara melalui kepal dan botol kecap
Lirik orasi di atas menyoroti hirarki kultural yang acap kali menciptakan isu-isu laten. Walaupun jarang nampak di permukaan, persoalan hirarki yang kemudian menghasilkan segregasi, menjadi akar masalah setiap ketertindasan. Aksi melawan bukan lagi hanya dengan diksi-diksi satir, melainkan dengan aksi langsung. Kepalan tangan dan botol kecap yang berisi bensin dan paku disulap menjadi senjata untuk melampiaskan amarah.
Masuk ke track nomor tiga, Barisan Petaka. Lagu ini memiliki ciri khas yang berbeda dari dua track sebelumnya. Orasi mendapat porsi lebih banyak dalam lagu yang pernah dirilis dalam bentuk Extended Play (EP) ini. Dua part orasi yang dilontarkan hampir memakan waktu satu menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam track ini, sebuah propaganda kemarahan bak orator-orator ulung ingin disampaikan pada setiap orang yang merasakan keresahan yang sama.
Ancaman perang sudah di depan mata, invasi elite global dalam mengontrol hegemoni. Kami menolak menjadi budak dalam kekang kooptasi.
Ambisi kami tuk meluluh lantakan hirarki kalian.
Melalui panji-panji pembangkangan, kami hidupkan kuasa insureksi.
Kami para martir siap membakar altar suci kalian
Hingga nafas penghabisan, kepalan kami kan getarkan tiran
Lirik-lirik yang termaktub dalam Barisan Petaka sangat jelas memperlihatkan bahwa kemarahan sudah tak terkendali. Ambisi menghancurkan setiap dominasi dan tirani hadir dalam setiap hembusan nafas. Bahkan, sampai nafas berhenti dan jantung tak lagi berdetak.
Menjajaki track keempat, Dominasi Kultural secara musikal memiliki sequence yang hampir mirip-mirip dengan musik Hardcore. Petikan gitarnya terasa berbeda dan unik. Bahasa kerennya: edge. Khusus di track ini kesadaran akan kiamat lebih kental terasa daripada nomor-nomor sebelumnya.
Ketika semua terlambat // Ketika semua terjadi
Amarah telah terasah // Mendominasi kultural
Ketika teknologi bagaikan tuhan // Mendominasi setiap kultur di mana kita berada
Tak kan terkalahkan, tak kan tergoyahkan // Kekuatan tanpa tandingan
Sebuah rezim hadir dengan proposal berlegitimasi neraka
Membuka era dimana manusia menjadi budak teknologi yang mereka sembah
Ketika semua sudah terlambat, mesin mengambil alih dunia
Kepalkan tangan, hantam hirarki // Menyulut api, bakar tirani
Kemelekatan lirik tersebut mengabarkan revolusi industri 4.0 dengan masyarakat 5.0. Teknologi yang semakin maju diiringi juga dengan kemampuan masyarakat melampauinya. Teknologi sudah menjadi makanan sehari-hari. Lambat laun, teknologi menjadi racun. Ada ketidakbijaksanaan dalam penggunaan teknologi, mengaburkan batasan-batasan manusiawi, menghalalkan tirani, menjerumuskan manusia ke neraka teknologi. Pada akhirnya, manusia menjadi budak teknologi.
Berikutnya, track kelima, Partisan Mesin merupakan representasi propaganda sebagai senjata pemusnah di era post truth kini. Propaganda disebarkan melalui media massa dan dikonsumsi masyarakat luas justru melancarkan dominasi penguasa guna memanipulasi wacana yang seragam, harus satu suara. Seakan tidak ada filter untuk mengkritisi. Maka, manusia yang hidup tidak lagi memiliki eksistensi sebagaimana mestinya, manusia teralienasi-diperplonco oleh teknologi yang mengaburkan batas-batas berpikir. Diksi “purwarupa” diartikan totalitarianisme.
Dunia utopis dalam ancaman, era mesin berkuasa
Tirani kamuflase propaganda yang mereka sebar
Telah melahirkan entitas purwarupa dalam wujud mesin pembunuh
Dunia mesin telah berkuasa, merancang angkara dalam skala global
Ribuan partisan yang telah dibaptis dalam api pencucian, atas nama teknologi siap menebar teror dan horor
Setiap perlawanan yang kami sematkan, di hadapan ribuan peluru yang melesat lurus menembus.
Kami datang, kami lumatkan!
Melesat ke track nomor enam berjudul Dekade Pembangkangan. Opresi sudah “menjadi ritual”. Maka, perlawanan yang menggebu-gebu terus berlanjut hingga memuncak menjadi kobaran api dan tetesan darah. Masyarakat menjadi kekuatan yang besar dan masyarakat menjadi satu kesatuan dalam “melawan tiran”.
Untuk api militansi para kombatan yang berkobar melawan tiran
Yang memaksa botol ini terus menyala
Membentangkan bendera yang penuh jelaga dan darah
Sebuah era baru // Era pembangkangan
Kepal tangan menjadi ritual
Sebuah era baru // Era pembangkanagn
Kepal tangan menjadi ritual
Selanjutnya, track ketujuh, Kongregasi Besi.
Kembali di barisan depan penghakiman hari akhir
Mengisi kembali amunisi barisan yang tak lagi rapat
Kembali merakit harapan melalui botol molotov dan kepalan
Dihadapan ribuan pasukan dalam wujud besi dan api
Satu koloni di bawah kontrol tirani
Lonceng kematian untuk setiap langkah pembangkangan
Penghabisan masal anak manusia yang menolak tunduk
Tetap menjaga api tetap membara
Untuk setiap pentasbihan kiamat dan bentangan panji-panji atas nama utopia fana
Metafora “pentasbihan kiamat” menunjukkan realitas teknologi. Teknologi menjadi “utopia fana”, terutama teknologi yang diproduksi oleh penguasa guna mencapai wacana harus ditumpas. Seakan-akan teknologi itu merupakan hal yang ideal, padahal fana. Ideal jika menurut masyarakat techno-utopian–masyarakat yang meyakini adanya teknologi mampu menyejahterakan umat.
Menuju akhir, track nomor delapan bertajuk Merekonstruksi Kiamat. Lagu ini berusaha mengajak kita untuk menelaah dan mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang telah lama diyakini. Keyakinan dan kebenaran yang kita dapat, apakah benar sebuah kebenaran? Atau kah hanya konstruksi teknologi belaka? Akhirnya, ketika nilai-kebenaran yang diyakini ternyata hanya sebuah bualan, maka kiamat yang meluluhlantakan seisi dunia akan terjadi.
Perjalanan panjangmu akan tersesat // Kau tak ‘kan mampu melukis indah dunia
Puncak kuasamu mengikis dosamu // Perlahan amarah tertelan menghilang
Keyakinan yang fana // Kebenaran yang sesat
Merekonstruksi kiamat, hymne akhir zaman
Kiamat digital berkumandang // Kematian naas penuh teror
Menyanyikan hymne akhir zaman // Merekonstruksi kiamat
Terakhir, ada Dekade Pembangakangan (Kombatan Version). Track kesembilan ini, dari segi lirik, masih sama dengan lagu nomor enam. Namun, dari segi musik, terdapat sedikit perbedaan. Track nomor enam lebih harsh dan penuh dengan instrumen elektronik, bahkan dari menit pertama. Sedangkan Kombatan Version adalah versi yang dimainkan secara full band, bukan hanya dengan sampler serta lebih komunikatif.
Secara keseluruhan, “Dekade Pembangkangan” berhasil menjadi seruan dan pesan untuk bibit-bibit perlawanan di masa depan. Bahkan, untuk hari ini, di situasi yang semakin carut marut. Secara musikal, karya ini mampu merobohkan tembok yang membatasi dan mengotak-kotakkan musik dengan mengoplos bermacam genre. Akhir kata, rapatkan satu barisan, kepal tangan menjadi ritual! Tabik!
Dengarkan album “Dekade Pembangkangan” MTAD di sini.
Ditulis oleh: Zhafran Naufal Hilmy dan Ancas Oryza
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: MTAD