Hari itu matahari sedang panas-panasnya, aku mengendarai motor dari Gunungkidul, Yogyakarta untuk bergegas menjalankan ibadah musik di Cherrypop 2024. Bermodalkan digicam yang sudah di-charge semalaman, aku siap menangkap momen sakral yang ada dalam Lapangan Kenari hari itu.
Tiba pukul 14.08 WIB dengan keringat yang mulai membasahi kening, aku langsung memutuskan untuk menepi dahulu di bawah rimbunnya pohon sambil menikmati segelas es teh dan menyelonjorkan kedua kaki. Waktu itu, panas matahari memang sedang membabi buta.
Setelah menghabiskan sekitar setengah jam di bawah naungan pohon, aku memutuskan untuk berjalan mendekat ke Cherry Stage. Waktu itu megahnya panggung Cherry Stage diawali dengan penampilan dari band emerging asal Semarang, Sychowayne. Tak lama berselang, penampilan dilanjutkan dengan band asal Kotagede, Yogyakarta bernama The Kick.
Ini adalah kali kedua The Kick tampil di Cherrypop Festival. Tahun ini mereka hadir dengan suasana yang berbeda. Pasalnya, kali ini band dengan lima orang personel itu tampil sore hari ketika matahari masih terik. Sedangkan pada panggung perdananya dulu, mereka tampil ba’da magrib.
Meskipun matahari terus membuat silau kedua mata, aku tetap bergegas mendapatkan tempat di barisan paling depan untuk dapat sudut pandang optimal menyaksikan band asal Kotagede ini. Pertunjukkan sore itu dibuka dengan intro dari lagu Rangsang, kemudian dilanjutkan dengan nomor lain seperti Orgasme dengan Sepeda dan Mengudara. The Kick juga membawakan salah satu single barunya yakni Kendala Takdir.
Aku ingat persis bagaimana crowd pertunjukan mereka sore itu. Mungkin terbakar adalah satu kata yang cukup mewakilinya.
Aku berada di barisan paling depan. Namun, aku sangat penasaran dengan bagaimana kondisi kerumunan yang ada di belakang. Begitu terkejut ketika aku akhirnya menoleh karena banyak orang yang rela membakar kulitnya untuk melihat band yang sedang naik daun ini.
Di tengah riuh rendah itu, tak luput tanganku beberapa kali tertendang oleh kaki dari penonton lain, tetapi hal itu sama sekali tidak membuat kesenangan berkurang.
Menyelipkan Pesan Kemanusiaan
Dalam pertunjukan itu pula, The Kick menyuarakan pesan kemanusiaan untuk kemerdekaan rakyat Palestina pada sela-sela set list-nya.
Pesan tersebut muncul di pertengahan penampilannya saat mereka membawakan lagu Mati Saat Melukis. Sebuah pesan bertuliskan “FREE PALESTINE” muncul begitu besar di layar panggung Cherry Stage sore itu. Tulisan berwarna putih tersebut tampil dengan latar hitam gelap.
Seketika perhatian penonton tentu berfokus pada layar besar panggung tersebut. Berangkat dari pengalaman visual tersebut, aku kemudian berjumpa dengan salah satu personel The Kick yakni Jiwe.
Kami berjumpa pada Sabtu 17 Agustus 2024 di Westpash, Kotagede. Fan The Kick atau yang biasa disebut adik-adik The Kick tentu tidak asing lagi dengan tempat ini. Tempat ini juga merupakan lokasi syuting video musik lagu Raya.
Tiba pukul 19.21 WIB, aku langsung memarkirkan motor dan melihat sekitar, dari jauh sudah terlihat pria berperawakan tinggi duduk menggunakan kaos hitam berada dalam keramaian trotoar Westpash dengan meja besi berbentuk bundar.
Setelah menyapa dan bersalaman, aku pergi untuk memesan segelas Matcha less ice untuk mengurangi dahaga.
Malam itu merupakan kali pertama aku ngobrol langsung dengan Jiwe. Walaupun sebelumnya sudah sering bertemu, tetapi kami tidak pernah ngobrol ataupun saling sapa. Awalnya aku sempat gugup, sebelum respons Jiwe yang begitu santai mampu mencairkan suasana malam itu.
Sambil sesekali menghisap rokok, vokalis The Kick itu mengungkapkan asal muasal keyakinannya membawa pesan-pesan kemanusiaannya dalam aksi panggungnya.
“Pertama memang teman-teman The Kick sering berdebat ketika membawa statement tentang Palestina. Karena mungkin ada orang yang berpikir, Sumbangsih e opo kok wani statement?” kata dia, Sabtu (17/8) lalu.
Tetap bergeming, Jiwe yakin The Kick tidak pernah berpikir ke arah sana. Yang paling penting, orang-orang tahu keberpihakan apa yang diusung The Kick.
Perbincangan kami berjalan mengalir saja seperti diskusi kelompok kecil, ditambah suasana Westpash yang cukup ramai begitu mewarnai telinga malam itu.
Aku sesekali menghadap ke jalan dan melihat orang yang sedang wara-wiri menuju Pasar Kotagede. Sejenak aku mengistirahatkan obrolan kami, melihat lampu kuning yang menerangi pertigaan di dekat Westpash juga memberikan kesan hangat dan tenang.
Jiwe juga masih terus berlanjut dengan sebatang rokoknya yang sudah tampak mulai terbakar habis. Melanjutkan obrolan tadi, Jiwe menyampaikan, sumbangsih terhadap kemanusiaan tidak harus lewat materi, tetapi bisa lewat statement dan doa.
Tak hanya itu, Jiwe juga berharap agar statement soal kemanusiaan itu terus dibawa oleh media. Harapannya agar lebih luas masyarakat yang tahu bahwa warga Jogja tetap akan memiliki posisi dan kepedulian.
Tentu saja The Kick bersikap tegas dalam menyampaikan pesan tersebut kepada para penggemar dan seluruh masyarakat. Ia berharap, masyarakat tanpa ragu mengambil sikap dalam hal membela Palestina. Jiwe juga mengatakan hal ini harus terus dikampanyekan.
Ruang Aman Bagi Perempuan
Tak hanya memiliki keberpihakan pada kemanusiaan, The Kick juga menyuarakan soal tempat aman bagi perempuan dalam pertunjukan musik.
Beberapa waktu lalu hal tak mengenakan terjadi saat The Kick tampil di ARTJOG pada tanggal 30 Juli 2024. Sangat disayangkan ada salah satu penonton perempuan yang mengalami pelecehan seksual di tengah pertunjukkan The Kick.
Semula, Jiwe sempat bingung harus bersikap seperti apa atas kejadian tak mengenakan tersebut.
Namun pada akhirnya banyak pelajaran yang bisa dipetik dari situ. The Kick juga merespons peristiwa tersebut dengan cepat, serta menyelipkan pesan untuk penontonnya.
“Mari saling jaga bersama. Mari bersenang-senang tanpa merugikan orang lain, terutama merugikan perempuan #NOPLACEFORSEXUALHARASSMENT.”
Jiwe mengaku, banyak belajar hal semacam ini dari tiga orang yakni Sirin Farid Stevy, Jimi Multhazam, dan Rian Pelor. Tentu saja, tiga orang ini mempunyai pandangan masing-masing soal membuat ruang aman perempuan di arena gigs.
Menurut Jiwe, vokalis band ((AUMAN)) Rian Pelor berpandangan, kekerasan yang ada di gigs adalah kekerasan yang konsensual. Artinya, kekerasan yang ada di depan panggung tidak bermaksud untuk menyakiti. Sebaliknya, kekerasan yang ada adalah sebuah pelampiasan energi negatif menjadi positif.
Sementara itu, Jimi yang merupakan frontman dari dua band The Upstairs dan MORFEM, menurutnya lebih menekankan bahwa setiap penonton boleh bebas, asal tahu risiko di depan panggung akan seperti apa.
Selanjutnya, Sirin Farid Stevy dan FSTVLST sempat berpesan, untuk mencari titik kepuasan itu susah, tetapi untuk rajin mengkampanyekan dan membiasakan itu bagus.
Pada akhirnya, Jiwe mengambil tiga intisari dari pandangan-pandangan tersebut. Dalam perjalanannya, The Kick sudah terlampau kerap mengedukasi dan mengkampanyekan ruang aman bagi perempuan, dan mereka akan terus melakukan hal tersebut.
“Aku ingin orang-orang saling menjaga di panggung The Kick,” timpal dia.
Sekurang-kurangnya, ada tiga hal yang akan terus dibawa dalam setiap panggung The Kick untuk disampaikan ke penontonnya. Pertama-tama, laki-laki harus menyadari keberadaan perempuan di tengah kerumunan penonton konser.
Selanjutnya, bagi perempuan juga perlu menyadari keberadaan dan kondisinya. Seorang penonton perempuan yang mungkin sedang tidak sehat sebaiknya menjaga diri dengan menepi di bagian kanan dan kiri panggung agar tetap bisa menikmati.
Terakhir, The Kick percaya, semua orang yang ingin bersenang-senang hendaknya harus saling menjaga. Imbauan itu tak kurang merupakan sebuah upaya The Kick untuk memanusiakan manusia.
“Aku ingin orang yang pulang dari panggungku itu senang, bukan menangis atau apa. Kedepannya aku akan memberikan statement yang lebih keras. Dan konsekuensinya pun akan lebih ngeri juga. Karena akan sangat disayangkan apabila hal tersebut nantinya terulang kembali. Kami harus wawas diri untuk lebih meng-handle crowd,” ucapnya.
Hal ini masih kerap menjadi tantangan bagi The Kick. Namun, Jiwe sadar, The Kick memang sudah seharusnya mengemban tanggung jawab tersebut. Komitmen The Kick untuk terus menyuarakan ruang aman bagi perempuan tentu patut didukung agar nantinya kesadaran bagi semua orang untuk saling menjaga satu sama lain terbangun kokoh.
Sebagai sebuah band, Jiwe bilang, The Kick hanya ingin berkarya secara jujur melalui pengamatan langsung. Tak ada target di depan mata mereka. The Kick hanya mau terus menjadi keluarga kecil, berlima sampai tua. Sebagai bonus, bisa menggelar tur bersama anak dan istri masing-masing adalah impian mereka.
Yang menarik, dalam setiap penampilannya, The Kick selalu mengenalkan diri sebagai band yang berasal dari Kotagede, alih-alih kota Yogyakarta itu sendiri. Pengenalan yang hiperlokal ini ternyata dirancang untuk menyampaikan sebuah arti.
“Kami berangkat dari Kotagede jadi kami ingin dikenal sebagai band Kotagede,” ujar dia singkat.
Dalam benaknya, The Kick memang ingin mengharumkan nama Kotagede. Bukan tanpa alasan, sejak dulu Kotagede dianggap selalu memiliki stigma yang jelek di mata masyarakat.
“Kami ingin mengubah itu, dan ingin membawa hal lain selain itu,” tutup Jiwe.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Khoirunnisa Dyah Astuti
Semoga hal-hal yg yg telah dituliskan diatas tidak terulang lagi, pesannya jelas menciptakan ruang aman bagi semua kalangan terutama perempuan. Selanjutnya tinggal bagaimana kita bersama-sama saling mengingatkan dan saling menjaga. GOKSS SEMANGAT TERUS MBA NISA🔥👊🏻