Suatu siang, saya dihubungi oleh Gung Yoga (Skullism Records) untuk menanyakan ketersediaan waktu saya dalam membantu mempersiapkan agenda tur sebuah kelompok musik techno rave black metal asal Jepang, VMO (Violent Magic Orchestra).
Saya yang kebetulan sudah sempat mendengarkan karya dari VMO, memang memiliki impian untuk menyaksikan mereka secara langsung. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan tawaran dari Gung Yoga, mungkin karena beliau sibuk dalam agenda pribadinya maka agenda ini ditawarkan ke saya.
Saya segera mencari beberapa daftar venue yang bisa menampung pementasan VMO, hingga akhirnya bertemu dengan SNS yang berlokasi di Jln. Tukad Barito, Panjer, Denpasar. Kebetulan juga, venue ini sering menggelar berbagai macam pementasan musik lintas genre.
Setelah negosiasi panjang dengan pihak venue dan kesepakatan dari VMO, saya dibantu Darin—yang juga mengurus agenda program—langsung mencari kebutuhan pokok untuk menggelar acara musik, seperti sound system, lighting, dan beberapa elemen pendukung lainnya.
Setelah menghubungi sana-sini dan semuanya dirasa siap, kami (dibaca: saya dan Darin) kemudian menghubungi beberapa teman lainnya untuk turut memeriahkan acara ini. Termasuk, peran pendukung poster acara yang digarap oleh Aditya Parama (Ig: aditwashere_), serta beberapa teman musisi yang ikut tampil seperti Graung, Kadapat, dan juga Kanekuro. Termasuk juga pemikiran teknis yang banyak dibantu oleh beberapa teman individu seperti Ican Harem, Kasimyn, dan Surya.
Hingga kemudian agenda tersebut terlaksana pada tanggal 15 Agustus 2024. Kami yang bermodal nekat dan dilandasi ketertarikan dengan VMO, merasa asal tancap gas saja untuk berambisi berhasil dalam melancarkan agenda tur ini!
VMO sendiri sedang mengadakan tur mereka bertajuk “Indonesia Tour” yang digelar di beberapa lokasi seperti Jogja, Jakarta, dan Bali. Awalnya, saya sangat antusias mendengar kabar mereka akan pentas di Indonesia, namun sempat patah semangat karena kendala biaya dan lain hal. Kedatangan mereka ke Bali menjadi kabar segar bagi saya; akhirnya saya tidak hanya bisa menyaksikan mereka, tetapi juga turut membantu mengelola acara mereka.
Setelah mengumpulkan data kebutuhan para penampil dan mempersiapkan semuanya, hari pertunjukan tiba. Siang hari, saya langsung datang ke venue untuk menyambut alat sound system yang dirakit, mempersiapkan ruangan untuk malam harinya, dan menemani kawan-kawan musisi melakukan cek sound. Setelah semuanya selesai, saya pulang untuk bersiap kembali ke venue karena acara segera dimulai.
Kawan-kawan yang ingin menyaksikan acara ini mulai berdatangan. Acara dibuka oleh penampilan band post-punk asal Denpasar bernama Kanekuro. Mereka adalah satu-satunya pengisi acara yang menggunakan format band full setlist, seperti drum, gitar elektrik, dan bass elektrik. Dibandingkan dengan penampil lainnya seperti Kadapat dan Graung yang banyak memakai alat musik elektronik dan juga alat musik tradisional Bali. Meski begitu, semua penampil di sini memiliki kelebihan masing-masing tanpa memperdebatkan latar belakang musik mereka.
Setelah pertunjukan dari Kanekuro, Graung, dan Kadapat selesai, kini giliran VMO bersiap untuk segera beraksi di atas panggung. Para musisi keluar dari ruang dandan dengan makeup ala black metal—wajah dipenuhi cat putih seperti pantomime, dengan beberapa olesan hitam di daerah mata yang melambangkan karakteristik black metal itu sendiri. Mereka terdiri dari empat personil, tiga laki-laki dan satu perempuan bernama Zastar.
Saat persiapan di atas panggung, Zastar tidak terlihat membantu kawan-kawannya mempersiapkan seluruh alat aransemen. Tiga personil laki-laki yang sibuk mempersiapkan semuanya, hingga akhirnya semua siap dan pertunjukan segera dimulai.
Pementasan mereka dibuka oleh track “New World Ballad”, nuansa musik yang menggambarkan salam ucapan selamat datang di arena masa depan musik Black Metal. Saat track pertama dimainkan, Zastar tidak juga nampak di atas panggung. Sampai pada pertengahan lagu, dia muncul menggunakan senter strobe yang menyoroti ruangan venue yang sepenuhnya gelap, membuat seluruh pandangan tertuju padanya.
Zastar menaiki panggung dengan langkah pelan sambil terus memainkan kedua senter yang dia bawa, sampai di atas panggung Zastar masih berusaha santai dan tidak langsung bernyanyi. Dia seolah menghirup seluruh energi yang ada di ruangan venue, memberikan isyarat, “bersiaplah, selamat datang dan selamat menyaksikan.”
Lalu, siapa yang tidak tertegun melihat aksi panggung Zastar? Dengan wajah yang manis bak putri kerajaan Jepang, dia lantang mengeluarkan suara erangan kebisingan gelap yang menyebar cepat ke seluruh ruangan. Teknik vokal scream black metal miliknya memiliki karakter suara yang kering dan menakutkan di balik wajah cantiknya. Penonton semakin terbius olehnya hingga tempo pertunjukan dan musik perlahan naik. Dengan sentuhan musik techno rave yang menjadi tulang utama musik mereka, siapa pun yang hadir di acara malam itu serentak joget jumpalitan.
Ditambah lagi aksi panggung mereka yang sangat tidak biasa. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya lewat aksi Zastar sang vokalis, begitupun tak kalah dengan aksi panggung pendukung seperti nuansa lighting dan peran visual yang mereka kendalikan sendiri. Ya mereka, mengendalikannya sendiri di atas panggung secara langsung.
Di sebelah kiri panggung, dua personil VMO, Mongo dan Kezza, sibuk mengutak-atik alat musik elektronik serta lighting dan visual. Visual di belakang layar adalah gambaran isi pesan musik mereka: zombie-zombie yang bangkit dari kubur dan kemudian berpesta dengan musik techno rave mereka. Tentu dengan peran lighting yang tidak berlebihan, aksi mereka cukup membuat saya takjub. Bahkan, Kezza dan Mongo beberapa kali melakukan aksi teatrikal lewat permainan senter mereka.
Yang lebih menakjubkan lagi adalah aksi Kezza turun ke bawah panggung dan cair dalam suasana penonton. Personil dan penonton menciptakan ruangan moshpit mereka sendiri, berdansa dan berlari kecil ke sana-kemari dibarengi teriakan penonton lainnya, membuat suasana seperti berada dalam pesta klub black metal. Sementara di sebelah kanan panggung, Keido tetap fokus dengan genjrengan riff gitar black metal yang menyayat.
Grup musik techno rave black metal asal Osaka, Jepang, ini berhasil membuat saya terus geleng-geleng kepala menyaksikan mereka. Meski saya pribadi sambil ngebatin kesal karena ada kekurangan satu alat smoke machine untuk kebutuhan pertunjukan mereka, karena terkendala terbentur biaya produksi acara. Meski begitu saya sudah sangat puas melihat hasil pertunjukan yang berlangsung dan membayangkan bagaimana tiap adegan pertunjukan itu makin luar biasa jika ditambahkan smoke machine sebagai penambah teks dramatis pertunjukan, sial. Karena bagi VMO lighting strobe dan smoke machine adalah nyawa utama pertunjukan mereka.
Menyaksikan VMO, saya jadi teringat bagaimana produksi kesenian asal Jepang selalu menonjol dan memiliki karakteristik yang tidak biasa. Sebagai negara yang dikenal dengan istilah negara avant-garde, Jepang selalu berhasil memproduksi karya yang dianggap di luar nalar sehat kesenian, apalagi jika dipentaskan langsung di negara berbeda tentu memiliki dialog teks budaya yang kaya.
Jepang, seperti yang kita ketahui, memiliki seniman-seniman jempolan dalam berbagai bidang elemen seni seperti visual, sastra, komik, tari, bahkan musik. Saya kemudian teringat bagaimana kesenian Jepang sebenarnya berbentuk kesenian rakyat. Bagaimana produksi seni mereka lahir dari rakyat-rakyat bawah tanah, hampir mirip dengan apa yang terjadi di Bali.
Dalam konteks ini, misalnya jika kita merujuk pada esensi seni tradisi Bali, contohnya pertunjukan tari Calonarang, keterbatasan pembiasan antara panggung dan penonton sudah tidak menjadi masalah. Siapa pun bisa menjadi aktor dalam pertunjukan ini, bahkan tidak disalahkan ketika penari Calonarang sendiri berada di barisan penonton, pun sebaliknya. Teks dan model pertunjukan seni rakyat ini juga terjadi pada pertunjukan VMO, bagaimana personil VMO melebur dan membiaskan dirinya dalam energi penonton. Membuat saya yang menyaksikannya dari jauh melihat fenomena baru dalam pertunjukan musik bawah tanah.
Saya tidak percaya bagaimana waktu mempertemukan kami dengan berbagai kesenian dari berbagai penjuru dunia. Lewat VMO saya belajar bagaimana dramaturg pertunjukan itu sebenarnya bisa dipelajari dan didedah unsur-unsurnya, dicari akar kelahiran dan konsep pertunjukan yang akan dipresentasikan. Saya tidak membayangkan semisal salah satu personil VMO ada yang bisa menari “Butoh”, niscaya akan semakin sangat amburadul itu pertunjukan berlangsung dibuat.
Terima kasih VMO karena sudah bersedia mampir dan singgah di Indonesia khususnya karena menyempatkan diri hadir ke Bali. Sekaligus bisa menjadi pelajaran untuk saya, penonton yang hadir atau bahkan musisi lokal Bali dalam melihat aspek-aspek pertunjukan musik yang akan datang.
Arigatou gozaimasu, VMO!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Surya