Satu Dekade Album ‘Hits Kitsch’ FSTVLST: Hal-Hal yang Tersimpan di Laci Memori

Menyadari umur bertambah memang menyebalkan, semoga kita semua bisa terus mendengarkan album “Hits Kitsch” sampai ketika Sang Pemilik Waktu sudah tak berkenan.
“Iki film indo jarene masku apik, gage a sewa.” 
“Tapi aku wes jupuk papat iki e.”
“Halah, sek tengen kuwi balekno wae, elek kuwi.”
“Yo wes.”

Begitu kira-kira percakapan saya dengan teman ketika sedang memilih cakram VCD/DVD di sebuah tempat rental film di kampung saya, Pati. Akhirnya kami membawa pulang 4 VCD/DVD ditukarkan dengan uang sewa yang saya lupa jumlahnya, tentu saja kami menggunakan kartu anggota sehingga harga yang kami bayarkan mendapat korting.

Kami pulang membawa film Avatar (2009), X-Men Origins: Wolverine (2009), kemudian Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004) dan yang terakhir film Indonesia yang keputusan memilihnya ada di potongan percakapan di atas, yaitu Radit & Jani (2008).

Waktu itu sekitar tahun 2011, kami masih SMP kelas 8 dan berumur 13 atau 14 tahun. Film terakhir yang kami sewa itu merupakan film dengan kategori umur dewasa, tapi entah bagaimana kami diloloskan untuk menyewa dan kemudian menonton bersama di rumah di mana saya indekos waktu itu. Setelah menonton, saya sendiri tidak mendapatkan kesan bagus sebagaimana pesan kakak teman saya yang terangkum dalam percakapan di atas, justru saya merasa degdegan sepanjang menonton.

Tapi ada hal yang nyangkut di kepala selepas menonton film tersebut yaitu soundtrack-nya. Masa itu saya senang sekali menjelajahi internet dengan berbagai kemungkinan penemuan-penemuan yang tidak terduga. Kemudian soundtrack film Radit & Jani saya cari dan akhirnya mendapatkan file dengan judul “OST Radit & Jani.rar” (tentu saja itu produk bajakan, mohon maaf masa kegelapan waktu itu).

Hasil ekstrak file tersebut yang berisi beberapa file mp3 dan mendapati nama-nama band yang baru pertama kali saya dengar, seperti The Brandals, The Porno, The SIGIT, Teenage Death Star, dan kemudian ada satu nama band yang menurut saya catchy yaitu Jenny dengan judul lagunya Mati Muda. Akhirnya saya mendengarkan untuk pertama kali lagu Mati Muda milik Jenny dengan bantuan perangkat lunak Winamp.

Diawali dengan suara dengung noise lumayan panjang yang membuat saya memeriksa headphone waktu itu, kemudian berjejal bersamaan snare, simbal, bass drum dan bass gitar lalu disusul genjrengan gitar yang akhirnya menjelma lead melodi mengawali lagu.

Intro yang panjang sekali dan akhirnya suara vokal muncul dengan kalimat berbaris baris dan bersiaplah, sebuah kalimat perintah yang tendensius sekali, serasa mendengarkan komandan peleton. Cukup membuat terngiang-ngiang di kepala ketika selesai mendengarkan lagu itu.

Sebenarnya ada satu lagi lagu di folder tersebut yang membuat saya tertarik selain Mati Muda, yaitu lagu Tipu Jalanan milik The Brandals yang riff gitarnya serasa mendengarkan petikan jari Coki Bollymeyer pada intro lagu Cinta Gila milik Netral (sekarang NTRL).

Hal-Hal yang Tersimpan di Laci Memori

Kemudian akhirnya saya mengetahui Jenny adalah band dari Yogyakarta. Kota yang saya sebut tersebut memang sudah menjadi incaran saya untuk tinggal bila nanti berkuliah. Tentu saja salah satu tujuannya waktu itu membayangkan bisa menonton band-band rock (termasuk Jenny) manggung secara langsung.

Tahun berganti begitu cepat dan saya lambat laun melupakan semua itu, hingga akhirnya saya benar-benar berkuliah di Yogyakarta, tapi sungguh melupakan apa yang pernah saya inginkan waktu SMP karena semasa SMA keinginan pergi ke Yogyakarta sudah berganti dan lebih didasari atas penasaran mengunjungi majelis masyarakat Maiyah asuhan Cak Nun di Kasihan, Bantul: menyaksikan Kiai Kanjeng memainkan lagu Thola Al Badru, ketimbang menyaksikan band-band rock. 

Namun entah bagaimana kebetulannya, tiap berangkat kuliah saya selalu melihat baliho besar yang terpampang di sepanjang sudut-sudut jalan sekitar kampus waktu itu. Salah satunya baliho dengan gambar 4 orang, ada yang memakai semacam beanie hat atau mungkin hoodie dipadukan jaket kulit. Satu berambut gondrong, satunya lagi memakai kaos bergambar potret “Basquiat”. Sosok yang terakhir memakai fedora hat.

Di tempat lain, dalam waktu berselang beberapa minggu, melihat baliho dengan muka orang yang sama dengan beda pose dan salah satu orang bertelanjang dada dengan memakai celana bergambar kerangka tulang, kemudian ada tulisan FSTVLST berwarna merah.

Saya sadar itu baliho sebuah acara di kampus, kemudian dari paparan iklan baliho tersebut saya penasaran dan akhirnya mencari tahu, hal pertama yang saya sadari yaitu FSTVLST merupakan perwujudan lain dari band Jenny yang lagunya pernah saya dengarkan di masa-masa awal coming of age itu.

Ketika lebih dalam mencari tahu, saya menemukan fakta mengecewakan bahwa telat satu tahun untuk dapat menyaksikan perhelatan “FSTVLST TANAH INDAH Live in Concert ” pada Februari 2015 yang digelar di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM —sebelumnya bernama Purna Budaya UGM, dan sekarang gedung itu sudah tidak ada bentuknya, RIP PKKH—. Itu merupakan perhelatan yang penting jika membicarakan album Hits Kitsch karena di sana fullset album dibawakan secara live, pun ada reuni Jenny. 

Peristiwa saya menyaksikan iklan baliho itu terjadi di awal tahun 2016, kemudian untuk pertama kalinya saya menyaksikan FSTVLST juga di Gedung PKKH UGM. Saya ingat betul itu acara closing ceremony perlombaan futsal di UGM, tidak ada Mati Muda di pertunjukan pertama saya menyaksikan FSTVLST. Justru yang ada malah Farid Stevy dkk mengcover lagu Oasis dan Blur.

Namun setelahnya, saya mulai mendengarkan ulang hampir tiap hari album dengan sampul latar belakang merah dipadukan dengan tulisan nama band dan judul album yang didesain menyerupai tumpang susun british-style crossword bernama “Hits Kitsch” (2014). Saya memang gagal menonton Jenny tapi saya mendapati peninggalannya masih tercecer di album tersebut.

Apalagi di lagu Bulan Setan Atau Malaikat yang menyebut secara tersirat,

“Putih hitam berlingkar / Emas delapan tahun sejarah / Empat karib dan anak perempuannya.”

Di tahun-tahun awal saya menonton FSTVLST, penonton barisan depan acapkali masih saling ludah-meludah di lagu Hari Terakhir Peradaban. Hal yang membuat saya tidak pernah lagi menonton FSTVLST di barisan depan kala itu. Kegiatan tersebut memang dimaksudkan sebagai ungkapan saling sayang sekaligusnya kesetaraan yang selalu digaungkan FSTVLST dengan para festivalist (pendengar FSTVLST).

Tradisi itu bermula dari lagu Hari Terakhir Peradaban itu sendiri yang mana sang vokalis terdengar meludah “Cuhhhh!!!” sebagai bentuk kemuakan dengan keadaan yang digambarkan dalam lirik lagu tersebut. Namun ketika kegiatan itu diaktualisasi di pertunjukan, sering kali menemui sasaran yang sebenarnya tidak menghendaki hal tersebut. Mau bagaimanapun selalu ada pendengar baru yang hanya ingin menonton FSTVLST menyanyi, alih-alih kena ludah yang tidak menahu dari mana asalnya.

Pun tidak semua pendengar mengerti tradisi semacam itu, pertunjukan sebuah band tentu saja tidak terjadi di ruang hampa. Lambat laun saya mengetahui kegiatan tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Saya pikir itu keputusan yang baik. Kemudian sekarang FSTVLST menjadi salah satu band yang selalu menyuarakan ruang aman bagi siapapun, terlebih untuk perempuan yang ingin bersenang-senang di barisan depan atau bahkan ingin menjajal crowd surfing yang biasanya didominasi laki-laki. Itu merupakan upaya yang keren dan selayaknya digaungkan selalu.

Selama saya tinggal di Yogyakarta sudah terbiasa dengan lagu-lagu FSTVLST yang terdengar di sudut warung kopi (coffee shop), burjo (warmindo), instagram story teman yang sedang membagikan kegiatannya mendengarkan lagu FSTVLST dari Spotify, maupun sepiker di rumah kontrakan yang saya tinggali. Kemudian nasib membawa saya keluar Yogyakarta beberapa tahun dan perasaan kangen itu acap kali menyentuh ingatan saya.

Kebetulan ada salah satu teman di kontrakan yang suka sekali dengan lagu Tanah Indah Untuk Para Terabaikan dan Ditinggalkan, kalimat dalam reff lagu tersebut “Kan kuajak mereka yang merasakan serupa / Kan kujemput jiwanya di rumahnya,” selalu mengingatkan saya kepada teman-teman ketika awal mula menginjak kaki dan tinggal di Yogyakarta. Saya selalu menganggap tanah indah tersebut adalah Yogyakarta itu sendiri. Tentu orang lain bisa menginterpretasikan dengan menempelkan nama daerah masing-masing, atau untuk lebih luas dan mengingatkan pada kesepakatan nation dalam realitas intersubjektif kita, bisa pakai nama Indonesia.

Pada akhirnya teman-teman yang ketika itu mendengarkan bersama lagu Tanah Indah Untuk Para Terabaikan dan Ditinggalkan di rumah sewa yang sama, sekarang sudah meninggalkan Yogyakarta satu persatu, hingga pada saatnya saya kembali ke kota ini lagi dengan keadaan yang berbeda, tapi masih mendengarkan lagu yang sama dengan perasaan yang sama.

Kemudian menemukan lagu-lagu “Hits Kitsch” tercecer dalam soundtrack beberapa film Indonesia, seperti lagu Azun Buai Zaman pada film Bukaan 8 (2017), ada pula lagu Hari Terakhir Peradaban tampil pada film Filosofi Kopi 2: Ben & Jody (2017) dan yang terbaru adalah lagu Hal-Hal Ini Terjadi menjadi scene pembuka film 24 Jam Bersama Gaspar (2023) yang berlatar distopia di masa depan. Lagu itu sendiri sebenarnya semacam kapsul waktu yang dipesankan Farid Stevy dan kawan-kawannya dalam bentuk barisan lirik panjang yang isinya cerita kepada anak dalam racikan situasi masyarakat satu dekade lalu.

Jika dibaca kembali hari ini isi lirik tersebut masih sama saja dengan keadaan sekarang, satu dekade memang bukan waktu yang cukup panjang untuk sebuah perubahan mendasar perilaku masyarakat. Mungkin lagu ini akan bisa didengarkan satu abad lagi oleh generasi setelahnya dan niscaya akan menjadi informasi kapsul waktu di mana mereka berpijak.

Saya akan selalu mengingat bagaimana pertama kali menemukan band ini: dari medium pop culture yang bukan skena musik. Saya percaya akan ada orang-orang seperti saya yang justru mendengar FSTVLST untuk pertama kali bukan di gigs, melainkan ketika menonton film, misalnya, atau tahu pertama kali band bernama FSTVLST dari membaca sebuah artikel di website media alternatif seperti Sudut Kantin Project.

Ada masanya FSTVLST saya anggap sebagai band jago kandang. Ketenaran FSTVLST dalam skena Yogyakarta tidak perlu diragukan lagi, hampir tiap pensi kampus di sekitaran Yogyakarta pasti pernah mengundang FSTVLST. Mulai dari acara yang hanya ditanggap di halaman gedung jurusan, sampai yang menggunakan panggung besar, bahkan anak-anak remaja yang baru mengenyam masa remaja di kabupaten-kabupaten sekitaran Yogyakarta bisa dengan bersahaja menikmati lirik-lirik yang ditulis Farid Stevy. Itu fenomena yang mengagumkan (di luar mereka paham betul atau tidak arti dari lirik tersebut, tapi itu hal lain yang bisa dibicarakan dalam obrolan berbeda).

Jimi Multazam (vokalis The Upstairs, Morfem, Jimijazz) yang notabenenya adalah salah satu inspirator Farid Stevy dalam penulisan lirik pernah berkata di salah satu wawancara Youtube, “Farid ini ibaratnya lirikisnya modelnya kayak Eka Anash (The Brandals) lah ya, pinterlah ya.” Kemudian Jimi menjelaskan lebih lanjut bagaimana bisa lirik semacam Ayun Buai Zaman dan Hujan mata Pisau bisa dimengerti anak-anak kecil —SMP dan SMA— kabupaten. Dengan ketenaran lokal semacam itu, waktu itu saya masih jarang mendengar FSTVLST ditanggap di kota besar luar Yogyakarta, seperti Jakarta, misalnya, tentu saja pernah tapi tidak sering, itu yang saya maksud band jago kandang. 

Hingga suatu masa saya tinggal beberapa bulan di Jakarta dan bertemu dua teman baru. Ada waktu-waktu kami bersepeda dari Bundaran HI hingga melintasi Jalan Imam Bonjol dan melesat sampai Jalan Pangeran Diponegoro. Dua teman saya itu tiba-tiba membahas FSTVLST, tentu saja karena saya memperkenalkan diri dari Yogyakarta, waktu yang tepat untuk mereka membicarakan band dari Yogyakarta dalam rangka menyambung obrolan. Waktu itu anggapan saya tentang FSTVLST kemudian berubah, band ini sudah menjadi band besar.

Lalu kami sepanjang perjalanan di tengah malam Jakarta yang sedang longgar dengan bahagia memutar pedal sepeda sembari teriak menyanyikan,

“Maka sudahilah / Sedihmu yang belum sudah
Segera mulailah / Syukurmu yang pasti indah
Berbahagialah / Bahagialah.”

Salah satu kenangan yang akan selalu saya rindukan ketika tinggal di Jakarta.

Sekarang FSTVLST sangat dinanti-nanti kehadirannya manggung di Jakarta. Saya sendiri pernah menyaksikan FSTVLST manggung di sana, memang ada yang berbeda menyaksikan band ini di ibu kota. Penonton yang datang sejenis orang-orang yang sudah menantikan hari agung itu tiba, karena kalau dilihat pada statistik digital, orang-orang yang bermukim di Jakarta memang menjadi kerumunan paling banyak memutar FSTVLST. 

Baru Satu Dekade dan Selanjutnya

Perayaaan atas satu dekade album “Hits Kitsch” sendiri dipentaskaan secara spesial di Cherrypop 2024. Pentas itu selain mengagumkan juga mengharukan, dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya kemudian pertunjukan dimulai dengn lagu Menantang Rasi Bintang dibawakan secara akustik.

Sirine peringatan, seperti yang akhir-akhir ini sering berseliweran di media sosial besama visual Garuda Biru, lagu Orang-Orang di Kerumunan mengalun —yang mana pendengar versi Spotify tidak akan pernah tahu suara sirine tersebut, kecuali menonton video musiknya di Youtube, atau silakan beli rilisan fisiknya.

Dilanjutkan dengan Setan atau Malaikat dan langsung memainkan Satu Terbela Selalu dan Akulah Ibumu. Tidak lupa Farid Stevy mengingatkan penonton untuk selalu mengenang Jenny karena dari situlah semua bermula. Tidak lama kemudian Hujan Mata Pisau dilantunkan dan setelahnya Hal-Hal Ini Terjadi yang sudah jarang dibawakan di pentas-pentas reguler FSTVLST dibacakan. Kemudian Farid Stevy memegang gitar akustik dan kalau sudah pada posisi tersebut, bisa dipastikan Ayun Buai Zaman segera dinyanyikan.

Waktu tak terasa berjalan kilat dan Hari Terakhir Peradaban didengungkan. Perayaan peringatan 10 tahun album Hits Kitsch tersebut dipungkasi dengan Tanah Indah Untuk Para Terabaikan dan Ditinggalkan. Sebelum pentas berakhir, seperti biasa, bacotan Farid Stevy tidak pernah lepas dari sesi pertunjukan FSTVLST, Farid mengajak penonton dan festivalist semua untuk mengumpat bersama-sama: “Fuck FSTVLST!”.

Perayaan satu dekade album ini tidak putus hanya di Yogyakarta. Album yang pernah menerima pujian sebagai salah satu dari 20 album terbaik di tahun 2014 oleh majalah Rolling Stone Indonesia ini juga dirayakan di festival musik Pestapora 2024 di Jakarta. Bagi teman-teman Jakarta, selamat merayakan “Hits Kitsch”.

Sudah satu dekade dan saya masih saja sering memutar album ini ketika bekerja, bersepeda, atau sedang santai di rumah saja. Tiap melewati momentum sebuah album musik berumur kelipatan dekade, saya selalu mencatat dua hal; pertama yaitu di umur berapa pertama kali bersentuhan dengan album tersebut, karena untuk menyadari umur saya juga bertambah 10 tahun mengikuti album itu. Kedua adalah pengharapan agar diberkahi umur yang panjang sehingga bisa mendengarkan album tersebut lebih lama lagi, bisa merayakan kelipatan dekade album tersebut kembali.

Menyadari umur bertambah memang menyebalkan, tapi umur hanyalah hitungan kelipatan tanggal kelahiran kita tiap tahun, tidak berarti apa-apa jika objek yang lahir tidak melakukan hal yang berarti —setidaknya bisa dikenang— dalam hidupnnya. Untuk itu semoga kita semua bisa terus mendengarkan “Hits Kitsch” sampai ketika Sang Pemilik Waktu sudah tak berkenan.

Semoga kita sampai pada umur untuk bisa menceritakan serta menjelaskan apa yang tertulis di lagu Hal-Hal Ini Terjadi kepada anak cucu kita kelak nanti, sebagai kapsul waktu kenangan masa lalu yang (semoga) sudah tidak terjadi di masa depan karena keadaan semakin membaik. Atau malah justru semakin keos? Siapa yang tahu masa depan?

Selamat satu dekade, “Hits Kitsch”.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantin.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Rantau yang Lain: Kumpulan Puisi Lugas Ikhtiar

Next Article

Dari Panggung Protes ke Ruang Pribadi: Evolusi .Feast di Album 'Membangun & Menghancurkan'