Sejak pertemuan saya dengan banyaknya cuplikan lagu-lagu baru .Feast yang bertebaran di Tiktok. Mulai dari Konsekuens, diikuti Politrik, sampai Nina yang ramai digunakan sebagai backsound video-video tentang keluarga. Perhatian saya mulai teralihkan dengan gebrakan baru mereka, khususnya di lagu Nina ini.
Bagaimana bisa band yang dilabeli masyarakat sebagai band yang jurusannya sosial politik, terselip lagu keluarga di dalamnya?
Hal itu membawa saya pada pemikiran bahwa di usia bandnya yang sudah mencapai satu dekade lebih setahun, dengan segala kontroversi yang pernah mereka terima, dan berbagai konflik internal yang dilalui, pada akhirnya membawa mereka ke dalam musim yang baru. Setelah tiga single awal itu diluncurkan, sebuah kebaruan dari proses kekaryaan .Feast mulai diperlihatkan secara utuh lewat album barunya “Membangun & Menghancurkan” yang banyak memotret kehidupan internal mereka.
Saya rasa ini bukan hal yang mudah untuk dapat diterima para pendengar lagu-lagu perlawanan, apalagi sudah banyak lagu-lagu .Feast yang jadi anthem kegiatan para aktivis. Mungkin saja ada yang belum move on. Namun, ini adalah hal yang biasa terjadi. Era demi era beregenerasi, waktu berputar mematangkan segala makhluk hidup, dan pelaku musik pun mengalami perkembangan secara pemikiran, tujuan, visi dan misi, atau semacamnya.
“Membangun & Menghancurkan” menjadi menarik didengarkan karena setidaknya, ada dua hal yang saya tangkap. Pertama, framing band yang dikenal sebagai band sosial politik karena didominasi lagu-lagu kritik terhadap isu-isu sensitif, kemudian menjadi band yang cenderung reflektif. Kedua, album ini juga punya banyak produser. Pengalaman serta keilmuan produser di luar aliran rock inilah yang bikin album mereka jadi menarik.
Kalau istilah Baskara, ‘belanja produser’. Kalau kata saya, sih, ‘pameran produser’. Maka dari hasil menenggelamkan diri ke dalam lima belas track, berikut ini saya beberkan pengalaman mendengarkan, dengan sedikit kemampuan dan pengetahuan, antusias, dan tentunya agak ngeyel.
Lagu pertama, membangun. Lagu pembuka ini adalah gambaran murka atas apa yang sudah dibangun mereka selama lebih dari sepuluh tahun ini. Introduksi sampai akhir pada album ini, misalnya; punya atmosfer yang sinematik, ekspresif, penuh amarah, distorsi keras, rusak, dan nafas yang berat. Saya pun teringat dengan kalimat yang mengatakan kalau menghancurkan kebiasaan lama memang sangat susah dan berat. Hal itu diinterpretasikan dengan porsi yang pas pada musik dan liriknya.
Kemarahan masih berlangsung di track kedua dan ketiga. Bahkan kedua track tersebut punya cerita yang terhubung. Konsekuens, membicarakan dampak dari sebuah pilihan, buah dari perbuatan, atau menuai apa yang ditabur. Seperti penggalan liriknya, Berbuat maka kau harus terima // Berbuat maka kau siap derita. Lirik tersebut merespons surat Qs Al-Muddatshir ayat 38, sekaligus merespons apa yang sudah mereka bangun sebelumnya.
Bersamaan dengan itu fase introspeksi telah menanti. Inilah track ketiga, Masimarah. Merespons kontroversi beberapa tahun lalu dengan sebuah lagu pengakuan dosa. Selain marah pada diri sendiri, di bagian bridge itu rasanya ada ungkapan marah ke orang-orang yang tidak sadar diri, tidak intropeksi, yang kena polarisasi.
Lagu keempat, Arteri, punya rasa yang berbeda dari nomor sebelumnya. Tampil lebih umum, lebih enak, lebih relate macam kebanyakan lagu-lagu hit di luar sana. Ini lagu maskulin yang galau. Tentang tragedi cinta, yang isi liriknya sedih, tapi dibungkus dengan musik kencang dan lantang. Seru banget buat sing along.
Untuk bagian musiknya, pattern gitar dan gebukan drum yang bergaya rock jepang, sedikit agak headbang di bagian akhir bridge, sampai pada akhirnya memadukan synthesizer dan distorsi di bagian instrumental–sangat memuaskan jiwa dan telinga. Laleilmanino as producer yang biasanya nge-pop abis dengan portofolio produksiannya banyak yang hit, kemudian terjun ke dalam arena distorsi yang ‘gila, jago banget nih produser’.
Kemudian, memahami ada di mana posisi Politrik yang sebenarnya adalah hal yang cukup menyebalkan. Karena kalau dikaitkan dengan maksud dan tujuan album ini, maka Politrik tidak bisa dijadikan sebagai peranakan dari isu sosial politik. Ini lebih ke area bagaimana .Feast sebagai band memposisikan diri sebagai penjual lagu, penjual narasi, penjual lirik atau semacamnya yang kalau diibaratkan sedang membongkar urusan dapur band mereka.
Istilah marketing, branding, positioning yang dilafalkan, sejatinya adalah formula untuk menarik pasar. Namun apakah benar ini tentang formula band mereka? Lagi-lagi di bagian bridge ini cukup membuat saya ragu untuk menentukan sikap terhadap posisi Politrik.
Apakah kali ini memaknainya tidak perlu menggunakan pendekatan semiotik seperti lagu-lagu sebelumnya, atau secara pragmatis saja memaknainya? Soalnya, lagu ini cukup potensial apabila dikaitkan dengan perilaku pemerintah kita yang suka menaikkan isu selangkangan untuk menutup gerbang neraka mereka. Kalau saja benar lagu ini sejatinya surat cinta untuk pemerintah–dan pemerintah kita dengar lagu ini–maka, semoga saja kalian (pemerintah) tidak masuk neraka!
Kemudian sebuah lagu muram hadir pada o,Tuan. Lagu yang terasa jujur karena liriknya dijabarkan secara deskriptif hingga memperlihatkan bagaimana perasaan yang menakutkan ketika dihadapi dengan situasi tentang kematian. Saya lumayan menunggu Baskara menulis lagi di project solonya (Hindia). Dua album yang ia tulis selalu mendapat ruang di hati penikmat musik, karena ada kedekatan dan rasa keterwakilan dalam kalimat-kalimat yang dituliskan. Sampai saat ini, kenyataan bahwa Baskara memang pencerita yang baik diperlihatkan dalam lagu benbenan-nya: .Feast.
Kemampuan menulis Baskara selalu bisa mentransfer suasana yang ia rasakan kepada pendengarnya. Seperti penggalan berikut ini, Melihatmu masuk ke dalam ruangan operasi // Berdoa semalam suntuk di kamar yang hening // Tanpa metafora dan analogi // Kiasan berbelit diksi // Tanpa berbungkus fiksi // Aku takut. Ini jadi lagu underrated buat saya.
Baskara masih mengukir lirik di lagu Ouroboros. Cerita yang dibangun mirip-mirip dengan lagu Ibel. Bagaimana tidak mirip, pengarang lagunya pun sama. Judulnya ini diambil dari terminologi Yunani yang artinya “melahap ekor”. Simbolnya bergambar ular yang memakan ekornya sendiri. Diksi ini mewakili konsep kehancuran, kelahiran kembali, dan siklus kehidupan. Sangat menginterpretasikan judul album mereka.
Struktur lagu ini berbeda di antara nomor lainnya. Ada banyak verse di dalamnya. Saya rasa di lagu ini .Feast seakan lebih ingin mengajak pendengar fokus pada curhatannya. Oleh karena itu bangunan musik pun dibikin lebih tenang dan bagian verse-lah yang dikedepankan. Lantunan musik menerjemahkan liriknya dengan rasa yang pas.
Applause buat Lafa Pratomo yang berhasil bikin lagu ini jadi khidmat. Buat saya, lagu ini harus diperlakukan dengan penuh perhatian. Tidak cocok apabila mendengarnya sambil berkegiatan.
Kisah cinta kembali dihadirkan pada track Nina. Bedanya, ini cinta yang lebih universal. Lagu ini banyak diterima seluruh umat karena membawakan narasi hubungan dalam keluarga. Ya, perihal keluarga memang sensitifitasnya berada di level yang berbeda. Bahkan, tanpa perlu diromantisasi, lagu-lagu bertema keluarga akan selalu mendapat posisi di hati pendengar musik.
Saya paling suka bagian chorus-nya, terbayang gimana merindingnya ketika sing along. Berikutnya masih di lorong percintaan, ada lagu yang bawain tema cinta dengan pendekatan sosial, Langit Runtuh. Gaya tulisan dan musiknya, mirip-mirip kayak lagu Cincin di album “LHAB” milik Hindia. Tapi kok ini semua mulai kayak Hindia ya? Ah, mulai ga asik. Kalau begini, kenapa gak Hindia aja yang bikin album?!
Kemudian Metakritik, isi lagunya seperti sedang me-review lagu-lagu di album awal. Di dalamnya ada upaya merespons bagaimana tutur kata, gaya penulisan, dan segala keputusan yang dibuat di masa lalu yang menciptakan momen kontroversial di tahun 2018. Makanya pada bagian chorus ada lirik, Kali ini harus main aman // Meninggalkan yang kubicarakan. Ini termasuk lagu yang punya koneksi kuat dengan Konsekuens dan Masimarah.
Kemarahan berikutnya ditunjukkan pada track kesebelas yang berjudul 5. Kali ini lagunya peranakan sosial politik. Dengan judulnya yang irit banget, tapi lagu ini sudah lebih dari cukup untuk mewakili maksud dan tujuannya diciptakan. Bahkan cukup untuk mewakili kekecewaan terhadap jabatan lima tahun itu. Musik keras dan lantang yang penuh distorsi dan teriakan, disertai lirik kemarahan adalah simbol kalau di sini .Feast tak juga melempem.
Jadi, jangan pikir kalau album ini tidak lagi bersuara perpolitikan duniawi. Buktinya, ada di track sebelas ini. Harapan saya, sih, semoga kedepannya akan tetap diselipin lagu-lagu sospol ya.
Kemunculan Tarot menjadi sebuah tanda yang meyakinkan kalau .Feast benar-benar berubah. Saya rasa, gaya bermusik yang dimunculkan pada lagu ini kurang lebih menyerap energi dari band Lomba Sihir. Memang tidak bisa dihindari hal semacam ini akan terjadi, karena ada sosok Baskara yang tritunggal. Perihal lirik tak usah diragukan lagi, sudah pasti seru untuk sing along. Misalnya pada lirik, selalu menertawakan ramalan bintang // kartu tarot // pembaca nasib // membuat lagu ini sangat anthemic.
Kemudian direspons dengan track Peralihan dan Drums yang membawa ungkapan penyesalan, harapan, dan keputusan untuk berevolusi. Setelah itu, puncak acaranya atau bagian pentingnya ada di track penutup, menghancurkan.
Lirik-lirik di dalamnya cukup tragis, tapi terasa jujur. Misalnya lirik,
Lihat aku berduka // Aku menuai abu // Darah dalam sela kukuku
Mempertontonkan pilu // Aku tak jemu-jemu // Siarkan nanah dan retak dalam hatiku.
Ini juga menjadi pengingat kalau ternyata ketika aku membangun, aku juga harus menuai kehancuran. Rasanya sangat kasihan. Namun siapa sangka nuansa yang dihadirkan cukup mengejutkan. Siapa sangka kalau musik yang diseduh adalah perpaduan rock, dangdut, dan ritem marawis. Ini musiknya udah joget tapi lirik-liriknya sedih. Ironi.
Setelah mendengar keseluruhan, memaknai, dan memikirkannya, saya rasa album ini jadi upaya mencatat transisi perubahan .Feast yang mencoba menggiring penikmatnya untuk ikut menggeser cara memandang mereka. Kesan yang saya dapatkan ketika melihat secara menyeluruh adalah mereka menjadi pencerita yang lebih baik dan lebih membuka diri.
Namun masih ada rasa mengganjalnya. Nyawa dalam perubahan ini, apakah harus bermanuver ke Hindia dan Lomba Sihir? Saya berharap, semoga kartu tarot .Feast menunjukkan takdir yang baik di karya berikutnya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @cerealmurderer