Film Captain Fantastic banyak mengajarkan kita tentang filosofi hidup dan membangun sikap kritis, serta mengajarkan kita untuk tidak hanyut dalam perilaku konsumerisme.
Film Captain Fantastic sangat cocok untuk kalian yang suka terhadap unsur-unsur filosofis, nilai-nilai kehidupan, cinta, pendidikan, dan juga keluarga, karena di dalamnya mengandung itu semua.
Film ini menceritakan satu keluarga yang tinggal bersama dan mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Ben merupakan ayah dari keenam anaknya bernama Bodevan, Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja dan Nai. Ia memilih untuk tinggal di hutan agar bisa mengajarkan banyak pengetahuan kepada anak-anaknya secara home schooling.
Kegiatan sehari-hari mereka diisi dengan berbagai misi dan latihan yang dipimpin oleh Ben, seperti berburu hewan, menanam tanaman, memasak, berolahraga, bermusik, hingga belajar bersama saat malam hari. Ben bisa dikatakan sebagai tokoh ayah yang berbeda ketika mengurus dan mendidik anaknya. Pada film ini, ia sama sekali tidak tertarik untuk merayakan Natal seperti orang lain, ia lebih memilih untuk merayakan hari kelahiran dengan sebutan Noam Chomsky (tokoh intelek asal Amerika).
Secara garis besar, alur cerita film ini menceritakan misi keluarga yang ingin menyelamatkan pemakaman istri Ben bernama Leslie. Ia menuliskan surat wasiat yang isinya; Leslie ingin mayatnya dikremasi lalu abunya dihanyutkan ke dalam toilet, bukan dikubur di perut bumi. Sebab istri Ben diceritakan sebagai orang yang mempelajari Buddha, akan tetapi agama Leslie sendiri bukanlah Buddha, melainkan urusan pribadinya dengan Yang Maha Esa dan bersifat tidak terorganisir.
Pihak keluarga Leslie tidak mengetahui hal tersebut sehingga mereka melakukan prosesi pemakaman dengan tata cara Nasrani. Hal itu membuat Ben berinisiatif untuk menyelamatkan Istri tercinta dan segera mengkremasinya sambil diiringi nyanyian bersama anak-anaknya.
Dari misi itulah perjalanan film ini dimulai. Ben dan anak-anaknya akan melakukan petualangan dan keluar dari hutan menuju kota untuk menyelamatkan hari pemakaman Leslie. Pada bagian ini berisi banyak petualangan yang membahas soal gaya hidup, kapitalis, serta nasionalis. Kita akan dilihatkan adegan anak-anak Ben tampak heran melihat orang-orang bertubuh gemuk yang mereka anggap sedang sakit. Pemandangan lain juga akan terlihat ketika Ben tidak mengizinkan anak-anaknya makan makanan cepat saji dan minuman bersoda, sebab ia menganggap makanan itu tidak sehat dan dianggap beracun.
Kehidupan cerita keluarga ini memang jauh dari kata modern dan kekinian. Mereka tidak memiliki televisi, wifi, playstation, maupun smarthphone di rumahnya. Bahkan untuk memasak pun, mereka masih menggunakan cara tradisional. Kondisi ini yang bisa dikatakan unik, kuno dan jauh dari kata modernisasi.
Jika dilihat dari kehidupan modern sekarang ini yang bisa dikatakan semakin tak terkontrol dan selalu dimanjakan dengan berbagai macam peralatan, merawat anak dan keluarga dengan pilihan gaya hidup alternatif dan jauh dari kata modernisasi bisa menjadi pilihan tersendiri. Lagi pula orang tua juga tidak menginginkan anaknya tumbuh dalam lingkungan sub-culture yang membawa dampak tidak baik, pengaruh buruk, serta merugikan keluarganya.
Hal ini dapat dilihat dari cerita film Captain Fantastic, bagaimana Ben mengajarkan pada anak-anaknya agar tidak terjerat arus kekinian. Ia memilih untuk mengisolasi diri dari kehidupan sosial di luar sana dengan mengajarkan metode survival selama kurang lebih 10 tahun di hutan. Meskipun cara Ben mendidik anaknya termasuk ekstrim dan bisa dikatakan radikal namun anak-anaknya tumbuh pandai, tangguh, dan tidak manja.
Contoh adegan yang mungkin bisa dilihat adalah ketika satu keluarga ini memilih untuk latihan panjat tebing bersama. Terjadi sebuah insiden ketika Rellian salah menempatkan posisi dan membuat tangannya terluka. Kejadian itu terjadi di sebuah tebing yang tinggi. Jika tidak hati-hati maka bisa terjatuh hingga berakibat patah tulang, dan bahkan meninggal dunia jika terjadi di kehidupan nyata.
Ketika berinteraki dengan orang asing, anak-anak Ben cenderung gagap dan kebingungan. Adegan ini bisa dilihat ketika Bodevan sedang berinteraksi dengan Claire, teman lawan jenisnya yang ia temui di rest area sewaktu perjalanan menuju kediaman Leslie. Tampak Bodevan terlihat konyol ketika mereka ketahuan kencan sampai larut malam, lalu tiba-tiba ia bersujud dan langsung melamar Claire di hadapan ibunya. Apalagi si kecil Nai yang memilki rasa keingintahuan yang besar terhadap hubungan intim dan mengapa orang-orang ingin melakukannya. Itu tampak menggemaskan.
Selain itu, film ini juga banyak mengajarkan tentang filosofi hidup dan membangun sikap kritis, serta mengajarkan kita untuk tidak hanyut dalam perilaku konsumerisme. Budaya belanja zaman sekarang seolah dinomorsatukan dan dijadikan sebagai gaya hidup. Rasanya tidak eksis jika kita tidak mengikuti tren fashion saat ini.
Adegan yang menggambarkan persoalan ini muncul ketika Ben dan anak-anaknya sedang berada di rumah Dave, saudaranya. Persisnya sewaktu adegan di meja makan ketika membahas soal brand sepatu Nike dan Adidas. Kemudian ketika anak Dave yang bernama Jackson amat sangat candu dengan smartphone-nya. Terlihat saat makan dan berkumpul bersama pun ia tetap menggenggam dan bermain game di smarthphone-nya.
Sungguh pemandangan yang saat ini dianggap lazim dan lumrah terlihat dalam kehidupan anak muda di sekitar kita.
Sebelum adegan itu, telihat Ben dan anak-anaknya yang tengah sampai di perkotaan melihat berbagai macam gedung supermarket yang berceceran di sepanjang perjaanan. Kemudian sambil menyetir, Ben memberikan narasinya yang berisikan, “ …. And yet most of our fellow citizens engage in frenzied shopping as their form of social interaction. Come on down, let’s go shopping. These prices are insane.”
Jika dilihat dari potret zaman now, memang apa-apa serba belanja dan toko-toko selalu memberikan diskon secara berkala sampai besar-besaran. Tentu ini suatu hal yang menggiurkan bagi para konsumen dan secara tidak sadar akan menumbuhkan pola hidup konsumerisme yang melekat nantinya.
Melihat tumbuhnya perkembangan zaman dan industrialisasi di segala penjuru, film ini cocok untuk semua umur. Mengingat konfilk dalam film ini juga mengangkat isu keluarga dan perubahan sosial yang semakin marak terjadi di kehidupan sekarang. Peran orangtua juga perlu terlibat dalam mendidik anaknya, bukan semata-mata ditempatkan di bangku sekolah beserta aturan institusi di dalamnya. Sekaligus ini menjadi sikap kritik terhadap pola asuh orangtua sekarang yang terlalu sibuk dengan dunia bekerja dan kadang-kadang tidak ada waktu untuk keluarga mereka.
Pada film Captain Fantastic ini, ada beberapa adegan yang tentu tidak boleh ditiru, misalnya adegan ketika Ben dan anak-anaknya melakukan mission free the food di supermarket. Tentu itu sebuah tindakan pencurian yang tidak layak dicontoh dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
Ben dalam film ini juga bukanlah sosok ayah yang sempurna, ada bagian scene di mana Ben tersadarkan dari pemikiran dan pola asuhnya terlalu berisiko terhadap perkembangan anaknya. Contohnya pada adegan kecelakaan yang dialami Vespyr, ia jatuh saat melakukan misi penjemputan Rellian di rumah kakeknya dan membuatnya patah tulang bahkan hampir meninggal. Ben kemudian tidak mau kejadian itu terulang kembali dan tidak ingin melihat anaknya menderita, apalagi melakukan misi dan hal yang berisiko terhadap kehidupan anak-anaknya.
Film Captain Fantastic tidak serta merta menentang gaya hidup alternatif atau sepenuhnya setuju dengan kehidupan yang serba kekinian. Akan tetapi film ini menawarkan sesuatu yang lebih, yaitu mengenai pola pandangan lain seperti kekeluargan, pendidikan, dan nilai-nilai kehidupan yang tentu bisa menjadi opsi lain. Pola hidup seperti ini harus dijalani beriringan dengan pola kehidupan yang sekarang makin hari semakin cepat berubah, kompleks, dan dinamis.
Editor: Dion Raharditya Krisna