Adalah bentuk keluhuran
Merongrong kuasa yang tiran
Demikian ucap Cholil Mahmud, vokalis sekaligus gitaris Efek Rumah Kaca (ERK), dalam lagu Bersemi Sekebun pada album “Rimpang” (2023). Sedari album pertamanya, ERK memang selalu menjadi pengingat bagi para pendengar musik mereka untuk tidak apatis dengan permasalahan sosial-politik.
Di beberapa wawancaranya, saya mendengar Cholil menyampaikan bahwa dalam sistem demokrasi semua orang harus menjadi aktivis, dan tetap kritis akan isu-isu sosial-politik adalah kewajiban bagi seorang warga negara. Kini band indie-rock alternatif itu telah sampai pada album keempatnya “Rimpang” yang dirilis pada 27 Januari 2023 lalu, tujuh tahun setelah mereka merilis album “Sinestesia” (2015).
Album “Rimpang” menghadirkan warna baru pada musik ERK. Hal ini ditandai dengan absennya Adrian Yunan serta kehadiran Poppie Airil dan Reza Rian sebagai personil tetap. Namun, materi pada album ini tetap membawa isu sosial-politik dan lirik-lirik memikat khas ERK. Saya melihat bagaimana melalui lirik-liriknya, ERK tidak hanya memberikan kritik, tetapi juga renungan dan harapan. Hal yang membuat album “Rimpang” terasa lebih jenaka dan dewasa dibanding album lain sebelumnya.
Lagu favorit saya pada album “Rimpang” adalah Bersemi Sekebun. ERK yang berkolaborasi dengan Herry Sutresna atau lebih dikenal sebagai Morgue Vanguard, begitu piawai dalam memilih diksi dan memainkan rima untuk merangkum apa yang ingin disampaikan. Begitu memikatnya lagu ini hingga saya merasa iri pada kemampuan mereka dalam menulis lirik.
Lagu Bersemi Sekebun cukup banyak memotret perlawanan pada penguasa yang bobrok, terutama di ruang akar rumput. Bersemi Sekebun sukses menggambarkan bagaimana perlawanan ini sering kali kalah di hadapan kekuasaan.
Kelamnya Perjuangan
Akhirnya tercerai
Kau jatuh terjerembap / Dalam selokan
Diayunkan senapan / Kau saksikan
Langit hitam
Lagu Bersemi Sekebun dibuka dengan lirik yang menggambarkan “ngeri”-nya perjuangan panjang melawan penguasa yang tiran lengkap dengan iringan musik yang terdengar cukup gloomy.
Kelam memang, tapi begitulah adanya. Orang-orang yang tengah memperjuangkan sesuatu kemudian perlahan tercerai, entah akibat pukulan tangan atau laras panjang kiriman penguasa memang masih terus terjadi. Hingga detik ini ada banyak perlawanan yang belum bisa bertemu titik menang di Indonesia.
Rempang -yang namanya terdengar mirip dengan “Rimpang”, entah sengaja atau tidak- adalah salah satu kasus yang terbesit di pikiran saya kala mendengar lirik pembuka Bersemi Sekebun.
Asap mengepul ke udara
Laras panjang hantam kepala
Nasion di atas manusia
Pecah berserakan cinta
Bila melihat laporan Tempo.co, Konflik Rempang sudah berlangsung sedari September 2023 silam. Beberapa tahun yang lalu di Rempang, meskipun warga belum sepakat digusur, sejumlah aparat gabungan yang terdiri dari TNI dan Polri merangsek masuk ke perkampungan milik warga untuk memasang patok tanda batas lahan proyek Rempang Eco City. Menurut laporan setidaknya ada 20 warga yang mengalami luka ringan hingga berat.
Satu tahun kemudian, warga Rempang ternyata masih harus berjuang. Pada 18 Desember 2024, puluhan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG) menyerang posko warga penolak Proyek Strategis Nasional (PSN). Penyerangan tersebut mengakibatkan delapan warga mengalami luka-luka.
Sayangnya tidak hanya kasus Rempang, masih banyak perlawanan lain yang belum usai di Indonesia. Setelah terus mendapatkan tekanan yang perlahan mengikis mental dan fisik tanpa hasil memuaskan, lantas tidak mengherankan jika ada banyak orang yang merasa perjuangan mereka sia-sia.
Merajut Perlawanan
Pada yang perlahan padam
Ada sejenis api dari kemustahilan
Sejenis harapan yang datang dari pelan nyala sekam
Sejenis badai lahir dari rajutan bukan kepalan
Setelah mendapat gambaran kelam tentang perjuangan, tiba-tiba suara berat dan tegas milik Morgue Vanguard muncul di tengah lagu, seakan menjadi penenang bagi pendengar. Berbeda dari biasanya, pada Bersemi Sekebun Morgue Vanguard membawakan liriknya dengan lebih tenang, tidak meledak-ledak seperti di lagu lainnya yang ia bawa.
Kalimat-kalimat yang digunakan oleh Morgue Vanguard seperti mencoba menjadi penguat bagi mereka yang hampir menyerah.
Melansir dari Consumed Magazine, Morgue Vanguard mengungkapkan bahwa lagu ini merupakan pesan bahwa hal-hal kecil yang dilakukan untuk melawan di antara rentetan kekalahan tidak sia-sia. “Sesederhana itu sebetulnya. Yang kita lawan adalah kuasa gargantuan. Leviathan. Hari-hari ke depan gak akan lebih mudah,” tegasnya.
Kemudian di dalam lagu, Morgue Vanguard mengingatkan, “Beberapa perang bukan untuk dimenangkan / Beberapa kemenangan bukan untuk dirayakan / Dan dalam rentetan kekalahan bertahanlah sedikit lebih lama”.
Saya menyadari bahwa sulit rasanya untuk bertahan hingga bisa mencapai titik menang. Namun tidak ada perjuangan yang sia-sia. Perlawanan-perlawanan kecil yang terus dilakukan akan menyebar seperti akar dan akan mampu membentuk perlawanan kolektif.
“Rajutan” adalah kata yang digunakan Morgue Vanguard dalam Bersemi Sekebun, sebab perlawanan tidak selalu dilakukan dengan “suara keras” yang dapat langsung terdengar. Perjuangan juga bisa dilakukan dengan sebegitu sunyi dan sabar, seakan tengah merajut perlawanan dalam geliat temaram.
Kegiatan-kegiatan yang kelihatannya tak begitu terdengar oleh khalayak seperti diskusi, berjejaring, menyebar poster, hingga membuat komentar sarkasme sebagai bentuk kritik di media sosial juga merupakan bentuk perlawanan.
Melansir dari ulasan Yudhistira Agato di Vice Indonesia, banyak orang yang menggunakan berbagai cara dan medium kreatif untuk melawan di tengah kian terbatasnya ruang untuk mengkritik kekuasaan. Cholil melihat ini sebagai sesuatu yang layak didukung dan dipertahankan.
“Terinspirasi buku A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia karya filsuf Prancis Gilles Deleuze dan psikoanalis Félix Guattari, Cholil meminjam pemikiran bahwa seperti tumbuhan batang—atau rimpang—yang menjalar di bawah tanah, perlawanan-perlawanan kecil yang terkesan acak dan tanpa hierarki ini menyebar diam-diam,” ungkap Yudhistira dalam ulasannya.
Membaca tulisan Yudhistira mengenai album “Rimpang”, saya teringat beberapa waktu belakangan muncul poster peringatan darurat dengan gambar Garuda Pancasila berlatar biru dan kalimat “Peringatan Darurat” di atasnya. Poster itu adalah bentuk protes atas RUU Pilkada.
Sebuah perlawanan yang tampak kecil, sekadar membuat dan menyebarkan poster. Namun siapa sangka perlawanan kecil itu sukses memantik amarah masyarakat yang sudah memuncak dan menghasilkan perlawanan kolektif yang masif.
Poster peringatan darurat yang berasal dari cuitan sebuah akun X, ternyata menjalar bagai akar. Mulai dari satu dua orang yang membagikan poster ini, perlahan terus menyebar hingga dibagikan oleh banyak pihak. Mahasiswa, akademisi, musisi, komedian, hingga aktor turut menyebarluaskan poster ini.
Bermunculan tagar #PeringatanDarurat, #DaruratDemokrasi, hingga #KawalPutusanMK yang perlahan memenuhi beranda hampir seluruh media sosial. Poster ini berhasil menjadi salah satu pemantik demonstrasi besar-besaran yang menurut laporan di Majalah Tempo Edisi Khusus Tokoh 2024, terjadi di 15 kota pada tanggal 22-23 Agustus 2024.
CNBC Indonesia melaporkan, sebagai bagian dari gerakan peringatan darurat, massa aksi berkumpul dan mengepung kawasan Gedung MPR/DPR di Jakarta pada 22 Agustus 2024. Aksi tersebut berhasil menghadirkan berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, buruh, hingga publik figur.
Dilansir dari CNN Indonesia, perlawanan ini menjadi bentuk akumulasi amarah masyarakat atas Baleg DPR yang menyepakati RUU Pilkada. RUU Pilkada dianggap bertentangan dengan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Poster peringatan darurat yang semula tampak remeh ternyata berhasil menjadi ikon perlawanan.
Perlawanan yang Terus Bertahan dan Tumbuh
Kawan yang perlahan padam (Bertahanlah)
Yang meranggas datang dari waktu-waktu terbenam (Bersabarlah)
Biarkan mengakar saat temaram (Bertumbuhlah)
Tak apa mengakui ringkih di palangan
Bertahanlah sedikit lebih lama
Tumbuhlah liar serupa gulma
Setelah menggambarkan kelamnya perjuangan, kemudian menguatkan mereka yang masih terus melawan, di penghujung lagu Bersemi Sekebun mengingatkan untuk tetap bertahan sebab masih ada sesuatu yang disebut sebagai harapan.
ERK bersama Morgue Vanguard menutup lagu dengan nuansa yang terasa magis dan hangat. Harapan di sini menjadi semacam bahan bakar bagi perjuangan.
Harapan ini harus dibawa oleh mereka yang tak lelah berjuang, untuk dapat terus tumbuh bersama dan melawan. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Morgue Vanguard dalam Consumed Magazine, “Kekuatan warga tidak dibangun dalam satu malam. Tapi lahir dari upaya geliat hari ke hari. Bertahan, berjejaring, bersolidaritas, saling menguatkan. Berproses dan belajar,” terang Morgue Vanguard.
Lagu Bersemi Sekebun hadir sebagai penguat bagi berbagai perlawanan yang masih terus berlanjut. Perjuangan panjang yang sudah berjalan meski terus tersendat tidak boleh terhenti.
Perlahan tapi pasti. Mengakar. Selama harapan masih dirawat, maka api perjuangan tidak akan padam.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: IDIIW Records
