Hola sobat yang rajin maupun jarang nonton film, saat ini dunia sedang mengalami wabah yang cukup menarik perhatian. Ya, itu si Coro. Ehh maaf maksudnya Corona. Virus ini sudah masuk ke Indonesia dan meresahkan sehingga pemerintah mengeluarkan imbauan untuk tetap ‘diam di rumah’ sebagai cara untuk mengurangi penyebaran virus ini.
Saya mahasiswa yang tinggal di Yogya sedikit merasa ada hal yang berbeda karena adanya kebijakan tersebut. Jalan yang tadinya padat sekarang terlihat lengang. Bukan berarti saya sering keluar –walaupun kadang keluar bertemu teman. Tapi akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu di kontrakan untuk menonton beberapa film.
Menghabiskan waktu di rumah dan tidak melakukan apa-apa adalah hal yang percuma. Karena hidup ini singkat, bukan? Semoga keadaan yang meresahkan ini tidak berlangsung lama.
Menonton film adalah cara yang saya lakukan agar tetap produktif walaupun hanya di rumah. Tentunya bukan film horror dan film itu tuh. Hehehe. Genre yang berbeda setiap harinya menambah pengalaman menonton film saya.
Kebetulan saya suka dengan film tentang sejarah, kemanusiaan, mafia, sci-fi dan romance. Saking banyaknya film yang ada di komputer saya, kadang bingung harus menonton film tentang apa hari ini. Sampailah saya pada salah satu film yang kebetulan ada unsur kemanusiaan dan sejarahnya.
Film Marshall (2017)
Film yang diangkat dari kisah seorang hakim keturunan Afrika-Amerika bernama Thurgood Marshall pada masa awal kariernya meraih kesuksesan dalam kasus Brown V.Board of Education pada tahun 1954.
Cerita sedikit tentang sejarah ya. Hehehe.
Kasus Brown V. Board of Education merupakan kasus dimana pengadilan mendeklarasikan undang-undang negara bagian yang menetapkan sekolah umum terpisah bagi siswa berkulit hitam dan siswa berkulit putih.
Cukup menarik bukan? Ini yang dikatakan peribahasa ‘sambil menyelam minum air’, kalau diartikan dengan berenang, ya, mati. Maksudnya selain mendapat ilmu tentang hukum, juga mendapat ilmu sejarah bagaimana di Amerika sempat terjadi racism soal warna kulit.
Film ini bercerita tentang seorang supir berkulit hitam yang dituduh memerkosa dan melakukan percobaan pembunuhan terhadap majikannya. Dan Marshall yang diutus oleh NAACP (Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna) untuk membela terdakwa dan kebetulan mendapat tantangan lain lagi karena harus menyelesaikan masalah tersebut bersama pengacara yang tidak berpengalaman dalam hukum pidana.
Saat itu boleh saja orang melakukan tuduhan seperti itu, tetapi tidak semudah sekarang, ferguzo. Di abad 20 ini ‘semua orang sama di mata hukum’ begitu kata dosen fakultas hukum, pastinya persis seperti apa yang dirasakan ketika membela orang kulit hitam pada masa itu.
Baca juga: Mengintip Film Corona (2020)
Tokoh utama film ini, juga jadi pemeran di film Black Panther (2018) –-walaupun saya belum pernah menontonnya. Maklum belum bisa jadi superheronya Doi. Hehehe. Menariknya, sebelum menjadi seperti sekarang Marshall menjadi pengacara untuk NAACP yang didirikan pada tahun 1909 dengan tujuan utamanya memerangi diskriminasi ras. Kalau di Indonesia mirip LBH gitu lah nolong orang yang tidak cakap hukum dan membutuhkan bantuan hukum dengan cuma-cuma.
Perbedaan sistem hukum yang ada di Indonesia menambah ketertarikan saya untuk menonton film ini hingga selesai. Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law System sedangkan Amerika yang menganut sistem hukum Common Law System. Kita tau kalau di persidangan (Indonesia) yang menentukan orang bersalah atau tidaknya adalah hakim. Ini yang membuat hakim dikatakan sebagai wakil Tuhan di dunia.
Tidak jarang ketika ada permasalahan hukum yang dianggap kurang adil, yang menjadi sasaran pertama adalah hakim. Karena ia yang menentukan semua itu. Berat makanya jadi hakim, Bro. Belum lagi kalau dapat uang suap untuk memenangkan suatu perkara. Kalian paham maksud saya. Sehingga beberapa masyarakat merasa, di Indonesia keadilan tidak ada.
Berbeda dengan yang ditampilkan dalam film ini. Amerika mempunyai sistem hukum berbeda dengan Indonesia khususnya dalam persidangan. Di Amerika, hakim hanya sebagai corong suara rakyat. Jurilah yang dalam persidangan akan menentukan apakah orang ini dinyatakan bersalah atau tidak bersalah atas apa yang telah dilakukannya.
Sepuluh juri yang dipilih oleh hakim dan disaring lagi oleh penasihat hukum untuk menentukan apakah juri ini dapat bersikap adil dan mengesampingkan biasnya dalam kasus tersebut. Sehingga keadilan yang diciptakan di persidangan itu, mutlak dari masyarakat dan untuk keadilan di masyarakatnya.
Baca juga: Rekomendasi Film untuk Para Jomlo Menghadapi Valentine
Tetapi tetap bukti-bukti dan argumen dari terdakwa atau korban menjadi bahan untuk memutuskan perkara tersebut. Akhir dalam film ini begitu menyayat hati dan pikiran saya. Bagaimana tidak, juri akhirnya memutuskan bahwa terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari jeratan hukum.
Saya tidak bisa membayangkan kalau di Indonesia menganut sistem hukum seperti di Amerika apakah akan tercipta keadilan yang diinginkan oleh masyarakat? Atau malah sebaliknya, Indonesia akan kalang kabut dalam menentukan keadilan itu.
Ini alasan mengapa mahasiswa fakultas hukum harus terbuka agak tidak sedikit kaku dalam bergaul ataupun memilih kegiatan apa yang berhubungan dengan hukum tetapi tidak didapatnya di kampus. Salah satu alternatif juga kalau film bukan hanya soal cinta atau horror seperti yang sedang trend saat ini. Walaupun di film ini saya cukup kagum dengan drama atau kisah cinta yang hadir. Hehehe. Kalau belum menonton, sempatkan untuk menonton daripada keluar kena virus.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Barry Wetcher/Open Road Films