Kesan penggemar emo mungkin dipandang sebagai orang aL4y, namun musik emo tetaplah menjadi pelampiasan atas depresi, bullying, gangguan kecemasan, dan masalah-masalah umum bagi semua orang.
Gue kemarin berdiri di depan cermin dan diskusi ama diri gue tentang kemana musik emo? Kenapa akhir-akhir tahun ini jarang terdengar lagi? Gue kangen musik emo!
Karena jauh sebelum adanya sobat ambyar, sadboys dan sadgirls di kancah musik independen Indonesia yang dipopulerkan oleh almarhum Pakde Didi Kempot, para pendengar musik galau sudah lebih dulu kenal dengan emo.
Emo itu singkatan dari emotional music. Dari segi musikalitas, grup musik emo pada dasarnya merupakan penggabungan antara suara distrosi tebal dan berantakan ala grunge dan ketukan drum cepat ala hardcore, lalu dibaluti lirik puitis ala musisi pop. Tema lirik di setiap lagu biasanya juga bercerita tentang emosi setelah putus cinta, insecure, cemas, dan depresi. Galau banget kan!
Itulah yang menjadi alasan genre musik ini disebut emo, sebab semua lirik dalam lagu memang mengekspresikan emosi jiwa yang lebih dark, meluap-luap, dan liar.
Pada tahun 2000-an, banyak band emo yang semakin berkeliaran juga berkembang. My Chemical Romance dan Saosin bisa dibilang merupakan raja-raja yang memopulerkan musik ini. Bukan cuma dari segi musik, mereka juga memopulerkan fashion emo; rambut berponi panjang yang tak jarang menutupi keseluruhan wajah. Tak jarang juga musik ini identik dengan goth but with style. Itu lho style yang serba hitam-hitam pokoknya.
Demam emo kian haredang haredang haredang alias panas panas panas meradang. Tahun-tahun berikutnya di Negeri Paman Sam, My Chemical Romance dan 30 Second To Mars mengalami masa kejayaan hingga akhirnya menjadi inspirasi band-band dengan musik yang masih dalam lingkaran emo, sebut saja Attack Attack!, Bring Me The Horizon, bahkan Suicide Silence eranya Mitch Lucker yang pada dasarnya datang dari skena metal namun bergaya ala musisi emo dengan rambut berponi.
Di Indonesia sendiri, demam ini pun pernah terjadi. Di Jakarta dan Bandung, musik emo seperti Jakarta Flames, Killing Me Inside, dan Alone At Last, menjadi punggawa di skena indie dan panggung-panggung bawah tanah. Band-band tersebut juga memengaruhi gaya berpakaian dan selera musik banyak remaja di Indonesia. Meski kerap diejek dan dicibir, boleh gue tebak semua remaja SMP dan SMA di era 2007-2009 itu pasti mengetahui beberapa lagu dari band-band ini. Tak terkecuali gue, mungkin juga sampai sekarang.
Berbeda dengan tampilan emo yang sesungguhnya, penggemar emo di Indonesia justru cenderung terlihat seperti Andika Kangen Band atau anak ABG tengil kemarin sore yang dulu suka memakai tambahan nama di medsos dengan “GuEeH NaKh eMo niCh”.
Mungkin wajar jika banyak netizen Indonesia jadi cringe kalau melihat kelakuan anak emo. Apalagi terkesan seperti performatif atau seperti ABG kurang perhatian yang butuh perhatian tapi sok cuek di sekitarnya. Sedikit banyak terpengaruhi oleh musik emo, banyak ABG yang frontal mengekpresikan kemalangan hidupnya di sosmed tanpa rasa takut. Sebuah kesan akan hidup mereka yang menyedihkan. Seperti dalam ungkapan “my life is suck, nobody cares for me, f**k the world, blablabla…….,” hal-hal seperti itulah yang membuat orang awam kadang malas melihat anak emo dan seperti merusak image emo yang sebenarnya.
Kesan penggemar emo mungkin dipandang sebagai orang lemah dan lebay (aL4y), tapi musiknya jelas tidak pasif. Musiknya mengandung kemarahan, ektremitas, dan juga teatrikal. Apapun yang kamu hadapi; depresi, bullying, gangguan kecemasan, dan masalah di rumah, ini merupakan masalah-masalah umum bagi semua orang dan emo menjadi musik untuk melawan (atau melampiaskan) itu semua. Musik emo menciptakan ruang aman bagi orang-orang untuk membahas permasalahan hidup yang mereka miliki bersama orang tua, saudara, teman, pacar, gebetan, bahkan guru sekalipun. Dan di balik semua melodramanya, emo adalah sebuah gerakan yang menganggap serius isu-isu dari orang-orang tersebut.
Gue belum ikhlas kalo musik ini hilang ditelan masa atau disalip sama yang lagi ngehits juga viral. Gue cuma kangen, bukan gimana dan bagimana sih, musik emo menurut gue membantu banget dalam masa-masa seperti itu. Intinya adalah menemukan sesuatu yang tidak akan merusak masa depan dan keselamatanmu, tapi tetap bisa membuat otak dan isi kepalamu terasa keluar dari masalah-masalahnya.
Akhirnya gue menatap cermin kemudian memeluk diri gue sendiri.
Ayo tunggu apalagi prend, jogetin aja masalah loe pake musik emo. Putar musik emo loe kenceng-kenceng sekarang juga.
Gue tantang loe kirim playlist ambyar loe di kolom komentar!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Bullet for my valentine coba gan (Fav ane bloods of hand, sama tears don’t fall)