Obrolan Pidi Baiq dan Sirin Farid Stevy dalam 10 Menit: Jadi, Siapa Tuhanmu?

Dalam durasi 10 menitan, Pidi Baiq dan Sirin Farid Stevy berhasil membahas persoalan hidup yang absurd dan membuka hal personal yang jarang diketahui.
Sirin Farid Stevy dan Pidi Baiq ngobrol absurd di pameran ‘DCDC Yogyes in Absurdum’ di Jogja National Museum, Rabu (23/11).

Konon, pencapaian (maqam) tertinggi seorang manusia bisa dilihat dari kemampuannya menertawakan diri sendiri. Betul. Namun barangkali, pencapaian yang lebih tinggi daripada itu adalah kemampuan menertawakan diri sendiri bersama-sama dengan orang lain.

Di suatu malam (23/11), sungguh sebuah ketidaktahuan diri untuk memberanikan diri menemui dua seniman ternama di tengah kesibukan berpamerannya. Suasana ruang galeri Pendopo Ajiyasa, Jogja National Museum, sedang ramai-ramainya dengan pameran seni DCDC Yogyes in Absurdum.

Setelah hilir mudik dan resah menunggu waktu yang tepat, Sudut Kantin Project akhirnya berhasil mencegat Pidi Baiq (akrab dipanggil Ayah) dan Sirin Farid Stevy dari kejaran kerabat dan penggemar yang, oh ternyata mereka bener-bener terkenal!

Kemudian kami duduk melingkar di salah satu sudut ruang galeri, sedikit menjauhi kerumunan. Sesi ini tidak kami lihat sebagai rentetan pertanyaan wawancara, sebab -dengan lancang- kami menodong Pidi Baiq dan Farid Stevy untuk memberikan pertanyaan satu sama lain.

Ta-ra! Dalam durasi 10 menitan saja, keduanya berhasil mempercakapkan kehidupan yang absurd ini. Keduanya (sedikit) membuka hal-hal personal yang mungkin jarang diketahui orang lain.

Sedikit catatan, sangat disarankan untuk menumbuhkan rasa humor yang berlebih agar dapat menertawakan percakapan mereka. Sebab, kembali lagi, pencapaian tertinggi adalah kemampuan menertawakan diri sendiri, apalagi bersama orang lain.

Selamat membaca.


Farid Stevy (FS): Rasanya punya banyak uang kayak gimana, Yah?

Pidi Baiq (PB): Rasanya punya banyak uang itu gelisah, cemas. Karena saya orangnya suuzan-an, takut temen minjem [uang]. (Tertawa)

Sama seperti saya waktu lagi nanam, saya nggak pernah umumin waktu lagi panen, tapi saya umumin pas tanam. [Takut] temen-temen itu pada datang [waktu] panen gitu. Kalau ada penen itu ada tulisan lock down.

Nggak ini bercanda, tapi… kadang-kadang jangan-jangan [punya banyak uang] tulus. (Tertawa)

FS: Masih inget rasanya nggak punya uang?

PB: Masih inget waktu bayi, saya sampai minta dilayani sama ibuku. Karena belum punya uang waktu bayi. Jadi saya diem aja, biar ibu yang nyari. (Tersenyum)

FS: Ingatan masa kecil yang paling Ayah inget, yang paling kecil, [waktu] masih bayi umur berapa, [mungkin] umur dua, tiga? Salah satu ingatan yang diingat.

PB: Aku ingat waktu bayi itu, bahwa saat itu saya belum tau ini Indonesia. Belum tahu. Ya, hanya gini aja. Tau Indonesia pas SD kelas dua.

FS: Terus perasaannya setelah tau ini Indonesia?

PB: ‘Hah Indonesia? Ku kira Inggris’, gitu.. (Tertawa)

FS: Inggris atau Belanda, Yah? Ya berandai-andai aja. 

PB: Saya suka keduanya, tapi kalau saya memilih Belanda mungkin masih ada rasa Indonesia-nya. Ada singgungan yang kuat dengan masa lalu Indonesia.

FS: Masih seberapa Belanda-kah Bandung hari ini?

PB: Sudah berkurang, karena nama-nama jalan udah diganti. Nggak lagi bahasa Belanda. Gedung Sate sudah bisa dibanggakan, di masa penjajahan mungkin dibenci, ya gitu.

FS: Hari ini selain ITB dan ISI, ada juga tentang Sunda dan Jawa. Menurut Ayah kayak gimana? Hari ini, perasaan Ayah tentang Jawa dan Sunda yang kemudian sekarang merokok bareng?

PB: Saya awalnya nggak ke pikiran itu. Saya baru menyadarinya pas acara sedang berlangsung. Ini Jogja dan Bandung. Lah lah lah, aku jadi nyambungin ke… di Bandung sudah ada Jalan Gajah Mada, di Jogja sudah ada Jalan Padjajaran, kok jadi nyambung, ya kan?

Pidi Baiq: Memang harus seperti itu, mungkin ini adalah bagian-bagian yang tidak kita sadari, bahwa kita itu ingin seperti ini. Di luar kesadaran kita loh, kita itu ingin seperti ini.

FS: Apa kita digerakkan oleh energi entitas yang…

PB: Energi hati yang bersih.

FS: Nggak punya agenda sama sekali, ketemu ya ketemu aja.

Tiba-tiba aku baru kenal personal Ayah Pidi itu baru sekarang dan aku menunggu follow Instagram-nya ketika udah ketemu. Memantau lama. Aku biasanya memberikan ‘pagar’ pada diriku sendiri untuk orang-orang yang… ini orang-orang yang aku pantau, orang-orang yang aku lihat, itu di Instagram-pun aku baru akan follow ketika bener-bener ketika sudah ketemu dan kemarin akhirnya aku follow Ayah Pidi Baiq, kemudian di-follback. (Tertawa)

PB: Artinya kalau mau di-follback, saling mengenal lah.

SKP: Tapi berharap di-follback nggak sebelumnya?

FS: Enggak, serius.

PB: Justru aku berharap di-follow. (Tertawa)

FS: Happy nggak, Yah?

PB: Saya happy di sini, sampai nggak kerasa saya sudah empat hari di sini, lima hari.

FS: Biasanya, Ayah Pidi itu jarang kerasan di luar kota.

PB: Yes! Saya pasti langsung pulang.

FS: Aku denger itu dari temen-temen, ‘Ayah Pidi susah…’.

PB: Nggak bisa berlama-lama.

Aku di sini (Jogja) kok bisa lama ya? Dan nggak terasa begitu cepet berlalu, artinya betah, dong. Kalau nggak betah mah saya merasa lama.

FS: Besok kita ke Bandung ya?

PB: Rencana kita mau ke Bandung, saya mau bawa Mas Farid ke sana untuk di kebon…

FS: Untuk menanam. Diumumkan pasti masa tanam! (Tertawa) Bukan yang panen!

— Jeda —

Pidi Baiq: Oke, aku arep nanya iki e, siapa Tuhanmu?

FS: (Terdiam, lalu tersenyum) Kayak [ditanya] malaikat ya. Belum tau, Yah.

PB: Ya nggak papa, nggak bisa memarahi, ‘kok nggak tau Tuhanmu’.

PB: Bakal masuk surga nggak Mas Farid?

Farid Stevy: Aku belum tau juga, ada surga atau nggak.

PB: Oke, dia belum tau, tapi jangan marah juga orang yang sudah tau.

Begitu cara yang bijaksana itu. Nggak bisa kamu benar, lalu menyalahkan orang yang salah. Padahal orang yang salah itu belum mengerti apa-apa. Harus jadi bijaksana, kalau memang beragama.

FS: [Obrolan ini] kayak masuk liang kubur terus ditanyain malaikat ini, ya, tiba-tiba. (Tertawa)

Terus malaikatnya bisa sambil rokokan gitu di pojokkan. Terus malaikat ngomong, ‘ya udah jangan dimarahi‘. (Tertawa)

PB: Justru sia-sia agamamu jika tidak menjadi bijaksana. Pilih Indonesia atau Papua Nugini?

FS: (Bingung) Nusantara aja ya.

Pidi Baiq: Memang sesungguhnya, sesiapa orang mengkritik pemerintah, jangan-jangan itu orang yang mencintai Indonesia. Saya melihat karya Mas Farid itu, dia mencintai Indonesia. Ia mendesak dengan karya-karyanya, mari kita terbuka. Dia mendesak dengan karya-karyanya, mari kita tidak ada penghalang lagi.

Ini milik bersama negara ini, bukan milik seseorang. Lah, seseorangnya aja dipilih oleh kita, lalu [kok] mengklaim-klaim. Seperti, aku nitipin barang ke orang, tiba-tiba diklaim oleh dirinya. Heh, gimana ini, asu!

FS: Tapi jangan dimarahi…

PB: Sampaikanlah dengan baik, seandainya kamu orang baik. Orang baik itu menyampaikan sesuatu dengan baik. Orang pemarah itu menyampaikan sesuatu dengan marah, gitu sih.

FS: Udah ya, terima kasih ya. Agak deg-degan ditanyain malaikat ya. (Tertawa)


Ditranskrip oleh Adi Atmayuda
Foto sampul: Wimo Ambala Bayang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts