dari ujung laras di bibirmu: Kumpulan Puisi Tsaqifah Zeiliana Ardifta

Kumpulan puisi ini: dari ujung laras di bibirmuSeandainya Aku Bisa Mengerti, dan Angkara, ditulis oleh Tsaqifah Zeiliana Ardifta.


dari ujung laras di bibirmu

Batang, 16 Maret 2025

di antara kebrengsekan
demi kebrengsekan yang dilakukan oleh negara,
aku masih saja memikirkanmu.

tak lagi kupedulikan kemungkinan
hidup dan matiku di tangan aparat,
atau ke mana arah revolver
yang sewaktu-waktu bisa menembus dadaku.

sebab aku sudah terlebih dahulu berdiri, dan mematung,
tepat di saat suaramu menjadi peluru terakhir
yang menghentikan denyut jantungku.

Kolase karya Tsaqifah Zeiliana Ardifta

Seandainya Aku Bisa Mengerti

Batang, 26 April 2025

Ada gelak tawa yang dulu memenuhi ruang-ruang kecil dalam diriku,
pun juga tangis yang sesekali pecah di sudut-sudut kamar yang tak sempat kita rapihkan.

Suara-suara yang kian hari kian surut dan mereda.

Bukan,
bukan waktu yang menggerusnya,
bukan pula jarak yang mengaburkannya.

Tetapi aku.

Aku dengan egoku yang terlalu angkuh,
mengusirmu dari ambang pintu kamarku.

Gema suaramu yang tak lagi bisa kujamah,
dan balasan dari rindu yang dulu begitu sederhana,
terasa begitu mustahil untuk kudekap.

Aku dengan segala keserakahanku,
tanpa sengaja menancapkan paku dalam-dalam pada dahan-dahan rapuhmu.

Bodohnya aku, yang buta membaca isyarat.

Aku yang tak pernah merasa cukup,
yang tak pernah benar-benar sadar,
yang tak pernah bisa paham.

Bahwa aku pernah dicintai sehebat-hebatnya olehmu,
di saat kuhanya mampu memberimu serpihan-serpihan kecil diriku.

Angkara

Batang, 13 Mei 2025

Aku yang tak lagi kau puja,
menjelma neraka yang berbalut jelaga.

Lihat mataku, sayang.
Ia tak lagi setenang telaga tempatmu berlabuh.
Kini sinarnya menusuk tajam, dan memerah.

Seperti mirah delima,
yang lahir dari tumpukan amarah yang membara,
ditempa oleh kehilangan,
dipahat perlahan oleh pengkhianatan.

Kau lupa, bukan?
Kita pernah bercinta di tengah reruntuhan;
dua jiwa patah bersandar pada sisa-sisa harapan,
membaptis diri dalam kecewa, yang kita telan
diam-diam.

Kita pernah berpadu, bercinta
sedalam-dalamnya lautan luka,
saling menoreh rasa sakit,
naif—mengira itu adalah cinta.


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Tsaqifah Zeiliana Ardifta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Jalar Liar 2025: Tamasya Media, Menjalar, Mengabarkan

Related Posts