Dressed Like an Ocean Ajak Pendengar Mencari Makna dalam Samudera Emosi

Saat pertama kali mendengarkan Dressed Like an Ocean album “…A Winged Coda from My Leeching Arms”, saya langsung tertuju pada lirik-lirik yang disusun dengan pendekatan ‘poem story’.

Sekelompok anak muda berniat untuk mabuk-mabukan di lingkungan kampus. Sialnya, area khusus menuntut ilmu itu menerapkan prinsip integritas dengan nol toleransi terhadap alkohol. Akhirnya, mereka menyerbu deretan ruko kumuh dan dekil. Bagi mereka, tempat ini sudah cukup layak untuk mengenyahkan penat aktivitas satu hari penuh.

Di tempat seperti itulah mereka saling menuangkan ciu pada gelas plastik Power F dan mengedarkannya dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Dalam keadaan tak sadar diri, mereka mengobrol ngalor-ngidul tanpa arah sambil menertawakan luka dan sesekali curhat. Tikus dan kecoa turut menyimak obrolan mereka, bahkan kedua hewan itu menjadi saksi atas tumbangnya seorang manusia karena overdosis

Siapa sangka, berawal dari mabuk, lahirlah sebuah ide untuk membentuk band dengan genre skramz/screamo bernama Dressed Like an Ocean pada suatu malam di bulan Mei 2023. Band yang berasal dari Ambarawa, Semarang ini beranggotakan Aloysius Aditya (vokal), Irvan Naba (gitar), Gading Wicaksono (bass), Abi Mukti (gitar), dan Hilmy Zaidan (drum). 

Dressed Like an Ocean telah meluncurkan album pertama mereka bertajuk …A Winged Coda from My Leeching Arms (AWCMLA) pada 23 November 2024. Mereka bekerja sama dengan tiga label: Mortal Blood Records (Indonesia), BSDJ (Jepang), dan Slow Down Records (Norwegia) untuk merilis album tersebut dalam bentuk kaset tape. Sebelumnya, mereka sudah mengedarkan single “Torn Pages from A Restless Tale” pada platform Bandcamp lewat label Mortal Bloods Records 8 Mei 2023 lalu. Single ini juga termasuk dalam album dengan adanya pembaharuan.

Album …A Winged Coda from My Leeching Arms berisikan sembilan lagu:  “海の声”, “I Saw Your Blue One-Piece Dress Dancing Like A Wave Above The Sky”, Torn Pages From A Restless Tale”, “Link The Dots To Draw A Line”, “The Urge To Sew My Memories Was Detained On A Crooked Yarn”, “Ragged Limbs Of Stubborn Heirs”, “Nyx’s Dream”, “An Azure Note Rings In Our Ear”, dan “Virtues From A Loathsome Tune”. 

Dressed Like an Ocean berhasil memadukan skramz/screamo, post-rock, dan jazz ketika menciptakan karya-karya mereka. Sedangkan dalam penulisan lirik, mereka menonjolkan kompleksitas emosi, identitas, dan ketidaksempurnaan makna dari kehidupan manusia. Beragam karya mereka tidak memiliki tafsir tunggal, justru pendengar bebas menafsirkan apa pun yang dirasakan, termasuk dengan melibatkan pengalaman-pengalaman mereka.

Proses pengerjaan album AWCMLA ibarat sedang melukis di kanvas kosong, setiap personel yang terlibat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bereksperimen, menyusun komposisi sesuai kadar kemampuan dan intuisi masing-masing.

AWCMLA semakin diperkaya dimensi musik dan liriknya karena turut mengajak orang-orang di luar personil band. Hidda Iqbal menyuguhkan permainan piano yang subtil. Ia juga berperan membedah dan menganalisis struktur komposisi musik. Ada pula Marcelino Noreen yang menyumbangkan suara memikatnya pada “Virtues From A Loathsome Tune”  sehingga mengukuhkan bangunan musikal lagu tersebut . 

Sementara itu, Amar Amrullah, Justicia Satria, dan Rahadian Alam memberikan kontribusi penting dalam mengoreksi serta menyempurnakan susunan gramatikal lirik, memastikan tiap kata mengalir selaras dengan emosi dan intensi musik.

Seluruh proses perekaman album, termasuk mixing dan mastering, ditangani langsung oleh Irvan Naba di studio pribadinya, The Whale Labs. Instrumen drum direkam secara terpisah di 4WD Studio.

Secara musikal, Dressed Like an Ocean dipengaruhi oleh berbagai spektrum genre; distorsi berat dan atmosferik a la Sigmun, nuansa emosional dari …And It’s Name Was Epyon dan Daïtro, hingga energi melodius milik Counterparts. Tak hanya itu, mereka juga menjadikan soundtrack dari serial gim Persona dan Monster Hunter sebagai rujukan estetika dalam membangun atmosfer dan suasana lagu.

Untuk urusan lirik, Dressed Like an Ocean merujuk pada karya-karya para penyair dan penulis lintas zaman; romantisisme gelap William Wordsworth, Thomas Gray, John Keats, dan Percy Bysshe Shelley, gothic dan absurd a la Edgar Allan Poe, hingga kesenduan urban khas Charles Bukowski. Sastra Indonesia pun hadir melalui pengaruh Sapardi Djoko Damono, Remy Sylado, hingga Saut Situmorang

Saat pertama kali saya mendengarkan album terbaru mereka, perhatian saya langsung tertuju pada lirik-lirik yang disusun dengan pendekatan poem story. Kata-kata disusun membentuk ritme, mengalun seperti baris-baris puisi yang tak sekadar dinyanyikan, tetapi juga diceritakan.

(dok. Ilham Fatkhur Rahman)

Hal ini jelas bukan kebetulan. Setiap lagu menawarkan lanskap naratifnya sendiri. Coba saja kalian dengarkan Virtues from a Loathsome Tune dan I Saw Your Blue One-Piece Dress Dancing Like a Wave Above the Sky”. Dua lagu ini memancarkan penggambaran visual yang begitu kuat dalam balutan bahasa puitik.

“Inspirasi nulis itu ilham yang datang dari langit, pas lagi sering-seringnya merenung di Gua Maria, terus ke gereja sambil meratapi hidup yang ndak pasti itu, lho. Bikin kepikiran macam-macam. Akhirnya aku mutusin buat ibadah, siapa tahu bisa dapet petunjuk dari Tuhan” ujar Mr. Aloy ketika ditanya soal proses penulisan lirik. 

Para pendengar tidak bisa secara langsung mengeja bentangan kata yang diciptakan Mr. Aloy dkk. Mereka harus menerka pesan apa yang sedang dilantangkan sang vokalis. Suara distorsi gitar berat, vokal Mr.Aloy yang mengantarkan emosi yang tebal, dan dentuman drum mengentak tanpa kompromi menyembunyikan lirik-lirik tersebut. Jika setiap rilisan fisik menyertakan lirik-lirik, kaset AWCMLA tidak segampang itu untuk membagikannya.

Namun justru di situlah letak keunikan Dressed Like an Ocean.  Musik menjadi medium yang tak harus dipahami secara rasional, melainkan cukup dirasakan secara intuitif. Getaran, atmosfer, dan emosi yang dibawa oleh musik mampu menjangkau pendengar pada tingkat yang sangat personal.

Saya melihat ada kedekatan yang cukup kuat antara Dressed Like an Ocean dengan unsur budaya Jepang. Hal ini tampak sejak rilisan awal mereka di tahun 2023, lewat single Torn Pages from A Restless Tale yang menyisipkan potongan percakapan dari episode 10 anime Violet Evergarden. Dalam versi album, lagu tersebut diperbarui dengan cuplikan dari anime kultus Angel’s Egg.

Kecenderungan ini juga terlihat dari judul track 海の声 (Umi no Koe atau Suara Laut) yang secara eksplisit menggunakan karakter kanji Jepang. Di luar konteks musik, perilaku mereka di media sosial, khususnya Instagram, juga mencerminkan kedekatan dengan budaya anime

“Kami nyisipin judul sama sampling potongan anime tuh semata-mata karena anak-anak—pas lagi garap album—lagi kenceng banget nontonin anime. Jadi, ya gitu deh,” ujar Mr. Aloy.

Saya mengagumi lagu “Nyx’s Dream” dan menurut saya lagu ini adalah karya masterpiece dari Dressed Like an Ocean. Lagu ini seolah-olah membayangkan bahwa menjalani hidup layaknya anak kecil akan memberikan kenikmatan hidup. Kita hanya bermain, berlari, dan menertawakan tingkah laku dunia orang dewasa. Dalam pikiran sang anak, tak ada yang patah dan runtuh. Ia belum benar-benar memahami dunia yang terlalu menyebalkan.

Menariknya, suara anak kecil yang terdengar dalam lagu ini merupakan rekaman nyata dari keluarga terdekat Irvan di teras rumahnya. Menurut Mr. Aloy, lagu ini bahkan nyaris tidak direncanakan sejak awal karena ditulis di penghujung proses produksi, ketika mixing dan mastering hampir rampung.

Sementara itu, artwork album AWCMLA yang dikerjakan oleh GUILT! saya menemukan komposisi visual yang dipisahkan menjadi dua bagian: atas dan bawah. Pada bagian bawah tampak sosok manusia yang tengah mendekap lutut yang divisualisasikan dalam warna putih sedikit buram, seolah sedang memeluk sunyi. Tubuhnya tampak menyusut dan tersembunyi dalam diam. Sebaliknya, bagian atas artwork justru menyimpan kontras yang mencolok: kepala dari sosok tersebut digantikan oleh bunga putih yang merekah. 

Dressed Like an Ocean turut mewarnai skena musik skramz/screamo di Indonesia yang terus bergerak dan silih berganti. Mereka memahami cara untuk menjelajahi batin manusia yang gelisah dan menerjemahkannya menjadi lanskap suara yang justru melampaui perasaan gelisah manusia itu sendiri. Ahoy!


Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto sampul: Ilham Fatkhur Rahman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Belajar Jatuh: Kumpulan Puisi Valentino S.

Next Article

Leluasa (Sukoharjo): Zine Sebagai Metode Alternatif untuk Kolektif

Related Posts