Atas Nama Kedaruratan, Komcad-Pam Swakarsa Jalan Terus!

Pematangan perancangan Komcad dan Pam Swakarsa menemui momentumnya ketika masa wabah saat ini. Ketika semua serba darurat, ketika semuanya serba tiba-tiba. Layaknya ambulan, wacana itu jalan terus seolah tanpa rintangan.


Ketika anak-anak sekolah sedang di masa stress belajar daring, para petugas medis berbulan-bulan lembur, para pedagang PKL mengeluhkan sepinya pembeli, sanak saudara saling bertukar kabar kematian kolega, dan kekacauan lainnya, ada keributan lain yang sepatutnya kita cermati juga. Sayangnya keributan itu sepertinya sudah hampir terlambat untuk ditangguhkan.

Dua kelompok aparat negara sedang sama-sama menghimpun kekuatan guna menebalkan pertahanan dan keamanan Indonesia. TNI dengan Komponen Cadangan (Komcad)-nya, POLRI dengan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa)-nya.

Dalam dokumen “Penataan Komponen Cadangan dalam Sistem Pertahanan Negara” yang ditulis oleh Kolonel Inf. Arief Wahyu, dimuat di kemhan.go.id, dijelaskan bahwa Komcad merupakan bagian dari sumber daya nasional yang perlu dilibatkan dalam rangka melaksanakan sistem pertahanan negara Indonesia yang bersifat semesta. Komcad dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama, yakni TNI. Komcad terdiri dari Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana.

Sebenarnya wacana ini bukan barang baru. RUU Komcad sudah masuk ke Prolegnas sejak 2006. Namun, saat itu masih dibungkus dengan kerangka wajib militer. Mungkin dalam perjalanannya, RUU itu tersendat oleh kritik-kritik berbasis HAM. Misalnya, wacana conscientious objection, ketika warga negara berhak menolak wajib militer dengan pertimbangan moral dan religius.

Tapi siapa sangka, UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang PSDN (Pengelolaan Sumber Daya Nasional) lahir juga sebagai landasan hukum diselenggarakannya Komcad. Intinya, penyelenggaraan Komcad saat ini sebagai operasionalisasi dari UU itu. Bedanya, kalau dulu wajib sekarang sukarela.

POLRI juga tak ketinggalan. Sama-sama untuk urusan keamanan, perlindungan masyarakat, di bawah arahan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Pam Swakarsa akan dibangkitkan kembali. Lagi-lagi, perangkat ini juga bukan barang baru. Pada 1998, Pam Swakarsa adalah kelompok sipil yang dipersenjatai dan dibentuk oleh penguasa untuk mengamankan sidang istimewa DPR/MPR, menghadang massa demonstrasi mahasiswa. Keberadaan mereka jelas jadi trauma untuk demokrasi.

Tapi untuk versi sekarang, Pam Swakarsa diniatkan berbeda. Hampir mirip dengan Komcad, Pam Swakarsa versi sekarang juga digelar untuk mengoperasionalkan produk hukum, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Juga, mengutamakan kemauan dari masyarakat. Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa jadi landasannya.

Kalau Komcad terdiri dari SDM, SDA, Sumber Daya Buatan, Sarana dan Prasarana, Pam Swakarsa terdiri dari Satpam, Satkamling, dan pranata sosial misalnya Pecalang di Bali, siswa dan mahasiswa Bhayangkara, dll. Untuk versi sekarang juga akan lebih terintegrasi dengan POLRI, baik dari segi kontrol dan teknologi.

Atas Nama Kedaruratan

Sekali lagi, fenomena di atas bukan barang baru. Bahkan, masing-masing punya kritik tajam yang tidak main-main. Semuanya melibatkan urusan HAM. Tapi pertanyaannya, mengapa bisa tembus sampai ada landasan hukumnya? Hemat saya, jawabannya adalah “atas nama kedaruratan”.

Sudah jadi hal lumrah ketika ada mobil ambulan dengan suara sirine kencang melaju di jalan, kita harus memberi ruang longgar. Tak peduli ia lawan arus atau ada di persimpangan lampu merah. Keselamatan jadi pengecualian yang tak bisa digugat. Dan di masa wabah seperti sekarang ini, mobil ambulan barangkali bersliweran di mana-mana. Kurang lebih begitulah analogi sederhana “atas nama kedaruratan”.

Pematangan perancangan Komcad dan Pam Swakarsa menemui momentumnya ketika masa wabah saat ini. Ketika semua serba darurat, ketika semuanya serba tiba-tiba. Layaknya ambulan, wacana itu jalan terus seolah tanpa rintangan. Uang saku, pelatihan, dan status keanggotaan aparat jelas jadi daya jual yang menggiurkan bagi warga usia produktif yang bisa jadi besok makin tidak jelas nasibnya karena krisis ekonomi.

Selain tujuan keselamatan, keamanan, dan ketertiban, kita juga perlu melihat aspek lain dari sesuatu yang diupayakan atas nama kedaruratan. Ijinkan saya meminjam gagasan Giorgio Agamben. Pemikir filsafat politik dari Italia ini punya gagasan soal kedaruratan (the state of exception) yang cukup relevan untuk mengupas fenomena ini.

Bagi dia, penyelenggaraan aturan dalam keadaan darurat menjadi pondasi bagi suatu tatanan politik yang seolah wangi, tapi menyimpan kebusukan. Transformasi akhir dari penyelenggaraan itu adalah kelahiran kediktatoran konstitusional, ketika kekuasaan eksekutif atas nama keamanan nasional menggeser kekuasaan legislatif dan yudikatif. Dalam praktiknya, keadaan normal akan ditangguhkan atas dasar pertimbangan politisi dan aparat dengan nalar keadaan darurat.

(Tolak Operasi Militer di Aceh/Aris Prabawa)

Memang, sukarela jadi poin yang selalu digemborkan dalam perangkat Komcad dan Pam Swakarsa. Tapi tunggu dulu. Coba kita bayangkan ke depan, ketika dua perangkat itu betul-betul sudah dilaksanakan. Warga sipil akan secara bersamaan punya status ganda. Mereka yang telah terdaftar sebagai anggota harus siap kapanpun untuk bergabung dalam keadaan genting, atau setidaknya dikatakan genting. Misalnya anggota Komcad, harus mau untuk terjun ke lapangan ketika darurat militer dikumandangkan. Pam Swakarsa juga demikian. Ketika kerusuhan massa atau konflik horizontal terjadi, mereka mungkin jadi garda depannya.

Memang, untuk Komcad, mobilisasi hanya bisa dilakukan oleh presiden atas persetujuan DPR. Tapi, pertanyaannya, siapa presidennya? Dan suara rakyat mana yang ditampung di DPR? Apalagi untuk Pam Swakarsa, komando dari POLRI sepertinya sudah cukup untuk menggerakkan mereka. Kuasa mobilisasi massa akhirnya dipegang oleh aparat dengan dukungan eksekutif. Kekuasaan legislatif dan yudikatif hanya jadi formalitas yang bisa ditembus dengan cepat, ketika status darurat jadi dasar pengecualian.

Sebuah Anomali

Saya tidak tahu apakah dua kelompok aparat ini sedang adu ‘kekuatan’ atau tidak, yang jelas saya penasaran dengan nasib warga sipil mendatang. Setidaknya mereka yang jadi anggota. Kebutuhan bulanan dan kebanggaan sebagai anggota pendukung TNI atau POLRI memang dijamin. Namun, di wilayah keseharian, di luar tugas pertahanan dan keamanan, mereka adalah warga sipil yang punya kemampuan lebih di bidang persenjataan dan pengorganisasian massa.

Konflik horizontal menjadi sangat dimungkinkan, ketika mereka menggunakan fungsinya secara salah kaprah. Sudah jadi karakter orang kita: punya relasi dekat dengan penguasa, maunya punya akses lebih dan pantas dihormati. Ditambah lagi, status mereka yang ganda (atau justru abu-abu), antara warga sipil dan bukan, akan memunculkan kerumitan di wilayah hukum dan kehidupan sehari-hari secara sosio-kultural.

Singkatnya, keadaan normal mereka bisa sewaktu-waktu ditangguhkan atas nama kedaruratan demi melancarkan kekuasaan golongan. Dan, merekalah yang justru akan terpontang-panting dalam anomali sebagai warga sipil sekaligus anggota aparat cadangan.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Tolak Operasi Militer di Aceh. Pen, Paper. Karya Aris Prabawa, 2000. Sumber: Arsip IVAA.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Pengenalan Tiga Sumber Bunyi dalam Musik Elektronik | Diskusi Daring

Next Article

Siasat Sang Sultan di Balik Serangan Umum 1 Maret