Siasat Sultan Hamengku Buwono IX dalam Serangan Umum 1 Maret, sebuah upaya menyerang tentara Belanda dan meredam kekacauan kota Yogyakarta.
Pada tanggal 19 Desember 1945 semua unit kelaskaran rakyat Indonesia berkumpul untuk mempersiapkan latian militer. Suara letusan senjata dan pesawat yang meraung-raung terdengar oleh laskar rakyat di langit Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta menganggap suara senjata tersebut bagian dari latihan laskar rakyat. Namun rakyat menyadari bahwa suara letusan senjata dan raungan pesawat itu adalah sebuah serangan dari pihak Belanda. Sejumlah pesawat bertanda asing, biasa disebut pesawat “cocor merah”, mulai menyerang lapangan Maguwo “Adisucipto”. Serangan Belanda ini dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda II.
Pasukan Baret Hijau yang diterjunkan mendapat tugas merebut lapangan terbang Maguwo. Ketidaksiapan laskar rakyat mengakibatkan keadaan tidak seimbang. Di satu pihak Belanda datang dengan persenjataan yang lengkap dibandingkan pihak penjaga keamanan Maguwo yang minim serta kondisi tidak siap. Hal ini mengakibatkan pasukan Belanda dengan begitu cepat menguasai lapangan terbang Maguwo.
Ketika Belanda menyerang dan mulai menduduki kota Yogyakarta, kondisi kesehatan Sultan Hamengku Buwono IX sedang lemah. Namun karena Republik Indonesia sedang terancam, maka Sultan HB IX segera memanggil K.R.T. Honggowongso agar segera berangkat ke Gunung Kidul untuk mempersiapkan segala sesuatu manakala kota Yogyakarta sudah tidak aman, maka pusat pemerintahan akan dipindahkan ke sana.
Sultan HB IX juga menghubungi beberapa pamong praja Kota Yogyakarta untuk menjalankan beberapa perintah. Pertama, kedua Sri Paduka Kepala dan Wakil Kepala Daerah beserta staf tetap berada di kota Yogyakarta. Kedua, Pamong Praja harus mempertahankan kedudukannya agar tidak dapat diperalat oleh pihak Belanda. Ketiga, Pamong Praja dan Pamong Desa harus tetap berada di dalam wilayahnya masing-masing untuk melindungi rakyatnya. Keempat, komunikasi daerah harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan memakai kode tertentu. Kelima, komunikasi antara pemimpin satu dengan pemimpin yang lainnya harus memakai bantuan kurir dan tidak diperbolehkan menggunakan surat agar tidak diketahui oleh Belanda. Keenam, Pamong Praja akan dijadikan sebagai sarana penghubung antara Sultan dengan semua instansi sipil, militer, maupun kementerian.
Dari dalam keraton, Sultan mulai menjalankan siasatnya. Siasat pertama yang dilakukan adalah menyebarkan berita bahwa ia meletakkan jabatannya sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyebaran berita ini dilakukan agar tanggung jawab mengenai masalah keamanan dipegang oleh tentara Belanda. Dengan cara ini Sultan tidak akan diperalat atau disuruh untuk melakukan rencana-rencana pasukan Belanda.
Kondisi kota Yogyakarta setelah dikuasai Belanda penuh kekacauan. Rakyat hidup dalam penderitaan karena dibawah tekanan pasukan Belanda. Sultan HB IX, menyadari bahwa keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan secara terus-menerus. Sultan menyusun suatu rencana untuk mengembalikan semangat juang rakyat Jogja dan memberitahukan kepada dunia Internasional pemerintah Republik Indonesia masih ada.
Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan sebuah ide untuk melakukan serangan balasan kepada pasukan Belanda. Sultan pun mengirim surat kepada Jenderal Sudirman untuk memberitahukan rencananya yakni mengadakan serangan terhadap Belanda. Jenderal Sudirman kemudian mendukung rencana Sultan serta menyarankan agar Sultan membicarakan rencanya kepada Letnan Kolonel Soeharto.
Pada tanggal 13 Februari 1949, Sultan HB IX mengadakan pertemuan dengan Letnan Kolonel Soeharto dan menyiapkan suatu serangan umum. Untuk mempermudah jalannya serangan umum maka, dibentuklah sektor-sektor yang mempunyai tugas masing-masing. Sektor Barat dipimpin oleh Mayor Venje Sumual, Sektor Selatan dipimpin Mayor Sardjono, Sektor Utara dipimpin Mayor Kusno, serta Sektor dalam kota dipimpin Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.
Pada tanggal 1 Maret 1949 tepat pukul 06.00 WIB ketika sirene berbunyi, semua sektor melaksanakan tugasnya masing-masing. Sektor Selatan menyerang kedudukan Belanda di Kantor Pos, Gedung Negara, Benteng Vredeburg, Pabrik Anim Wirobrajan, Waston, Kotabaru, dan Lempuyangan. Pasukan Sektor Barat menyerang Malioboro, Hotel Tugu, dan Hotel Merdeka.
Sektor Utara berangkat dari Mrican yang dibantu pasukan A, B, dan C.
Pasukan A yang dipimpin Kadet Sujamadi menyerang kedudukan Belanda di Maguwo. Pasukan B yang dipimpin Mayor Sakri menyerang Hotel Tugu, Hotel Merdeka, dan Kewek. Pasukan C yang dipimpin Lettu Zidminuri, Suragil, dan Letda Sujiman menyerang Pingit, Jetis, dan Gondolayu. Kompi TP, Martono, dan Letda Aliadi menyerang pos Belanda di Beran.
Sektor Timur menyerang Belanda dari Bantar melalui jembatan Bantar yang dipimpin oleh Nurmunir dan bertugas untuk menghambat bantuan Belanda dari arah Barat.
Adanya sistem penyerangan dari 4 penjuru mata angin dan dilaksanakan pagi hari berhasil membuat pasukan Belanda kerumitan. Dalam penyerangan ini rakyat berhasil menduduki kota Yogyakarta selama kurang lebih enam jam. Pasukan yang mengikuti serangan umum ini menggunakan tanda khas yakni “janur kuning”.
Sultan HB IX mengetahui bantuan pasukan Belanda datang dari arah Magelang, maka, Sultan memberitahukan Letnan Kolonel Soeharto untuk segera menarik mundur pasukannya. Berita serangan dari rakyat Yogyakarta ini secara cepat menyebar melalui Radio AURI PC2 yang berada di Playen, Gunung Kidul. Tersiar berita Serangan Umum 1 Maret hingga ke Bukittinggi (Sumatra). Dari Bukittinggi berita diteruskan ke India dan akhirnya sampai ke PBB. Adanya berita serangan umum ini berhasil menghapus propaganda dari pemerintah Belanda yang mengatakan bahwa, Negara Republik Indonesia telah hancur.
Dewan Keamanan PBB pun mulai bersimpati kepada Negara Republik Indonesia. Serangan Umum 1 Maret 1949 yang direncanakan oleh Sultan Hamengku Buwono IX dapat disimpulkan telah berhasil menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa Negara Republik Indonesia masih ada serta memberikan semangat perjuangan kepada rakyat Yogyakarta.
Sumber : G.Moejanto, 1988, Indonesia Abad Ke-20 jilid 1, Kanisius, Yogyakarta
Ginanjar Kartasamia,dkk,,1986, Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949,PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta.
Editor: Arlingga Hari Nugroho