Aroma tanah basah belum berhenti menguasai sejak mentari masih tinggi. Tiada hari-hari yang lebih menjemukan selain hujan berjilid-jilid yang melanda Jogja. Saya tiba di Jalan Mangkuyudan No. 53A sekitar pukul 20.25 WIB, memasuki jalan yang ruasnya cukup untuk membagi ruang kepada tubuh, dan dua hingga tiga motor yang terparkir.
Langkah sejenak terhenti, papan bertuliskan ‘MES 56’ tampil dibersamai pendar lampu di antara manusia-manusia yang datang dan terduduk di depan layar putih, dibelakangi dapur, dan membelakangi proyektor beserta gitar beralas kursi sebagai singgasananya. Sudah lama saya mendengar nama Ruang MES 56, terutama sejak mengikuti sesi bincang Pilot Project Yogyakarta Art Book Fair 2024 pada bulan Maret silam. Saat itu Wok The Rock, salah seorang pendiri kolektif ini hadir dan berbagi serba-serba kerja penerbitan alternatif.
Bergerak ke masa sekarang, singkat cerita saya ditunjuk dan diberi kepercayaan oleh seorang teman untuk memandu gelar wicara di tempat ini. Malam Selasa (10/12) itu, MES 56 menjadi tempat peluncuran album musik bertajuk “Selamat”. Ini sebuah kompilasi lagu yang terhimpun dengan baik berkat kerja kreatif penciptaan sebuah band bernama Nara, empat mahasiswa perantau dari tanah Adonara, Nusa Tenggara Timur yang menjalani studi di Jogja yang telah aktif bermusik sejak tahun 2021 silam.
Moniker “Nara” bukan sekadar mencuplik sebagian kata dari “Adonara” yang menjadi nama tanah kelahiran mereka. Dalam bahasa Adonara, Nara memiliki arti saudara, teman, dan bukan lawan. Personil Nara diisi oleh Firman pada vokal dan gitar, Hyro pada gitar, Virgi pada bass, dan Tansen pada cajon. Hadir dan bertahannya komunitas berisi para pelajar dari tanah Nusa Tenggara Timur di Kota Jogja menjadi fondasi yang turut menguatkan langkah mereka hingga hari ini.
Usai berpindah-pindah panggung selama bermusik di Jogja, terbit kerinduan terhadap tanah kelahiran yang mau tak mau harus dicurahkan. Para personil Nara memutuskan pulang. Album “Selamat” dirilis secara resmi dalam panggung live di Adonara, Nusa Tenggara Timur pada 26 Juli 2024, membawa tajuk “Geniko Lewo” dalam bahasa Adonara dimaknai sebagai kembali pulangnya Nara ke kampung halaman. Menurut Firman dalam sesi gelar wicara, ada perasaan berbeda, termasuk keharuan yang muncul ketika Nara manggung menyanyikan lagu-lagunya di kampung halaman sendiri.
Lika-liku perjalanan hidup menjadi kata kunci yang teramplifikasi dari penggalan lirik yang digubah oleh Firman dan kawan-kawan. Proses penulisan lirik menjelma metode dengan masing-masing ciri khas dari balik dapur pengkaryaan seorang musisi. Merespons pertanyaan saya tentang keresahan yang dituangkan lewat penulisan lirik, Firman mengaku banyak tergerak dan terinspirasi dari bertebarannya kalimat-kalimat di status di media sosial, termasuk Facebook yang sering kali punya distingsinya sendiri. Beberapa lagu mereka memiliki judul yang menekankan relevansi dengan dinamika dan denyut kehidupan generasi muda, sebut saja Selamat Datang Bahagia, Perayaan Luka, dan Membunuh Rindu.
Perbincangan semakin mengerucut menyentuh ke bagian musikal. Mengidentifikasi nuansa petikan gitarnya, saya teringat Sisir Tanah, Fourtwenty, Nosstress, atau bahkan Daun Jatuh. Ada kekhasan auditif yang muncul lewat format akustik yang minimalis dan manis. Didukung juga lewat pelibatan cajon, tak semasif drum set yang umum digunakan pada band pop lengkap.
Saya sendiri sedang mengalami pergumulan yang intens dengan musik-musik balada, folk, atau kalau boleh meminjam istilah dari komunitas Jejak Imaji, musik-musik “perjalanan”. Nara juga beberapa kali pernah mengalami dialog soal genre musik apa yang sebenarnya mereka usung. Akan tetapi, Firman dan para personil Nara pada akhirnya membebaskan para pendengar untuk mengalami dan memaknai sesuai hati masing-masing.
Idola seorang musisi seolah menjadi dua bagian yang tak terpisahkan. Di tengah sesi gelar wicara, Wimo Ambala Bayang, salah seorang figur di balik eksisnya Ruang MES 56 tertarik mengetahui siapa musisi idola tiap-tiap personil. Firman mengaku mengidolakan Coldplay dan Utha Likumahuwa. Hyro mengidolakan The Beatles dan Guns and Roses. Sayangnya, saya tidak mengingat musisi yang diidolakan oleh Virgi dan Tansen. Barangkali karena hanya berfokus pada kesamaan selera, atau sudah terlalu banyak informasi yang ditampung di kepala. Para figur yang mereka idolakan tentunya turut menjadi penentu gaya bermusik Nara, baik disadari atau tidak.
Perjalanan Nara terbilang sudah cukup panjang dan masih panjang. Terhitung sudah berjalan dua tahun lebih tujuh bulan sejak Juni tahun 2021 silam. Saya menaruh harapan bahwa kehadiran Nara bisa menembus batas dimensi geografis Jogja dan Adonara. Sedikit mencoba cairkan suasana, saya berkata bahwa siapa tahu suatu saat Nara bisa manggung di Ibu Kota Nusantara. Sebelum menginjak bagian akhir, sejujurnya masih ada beberapa hal yang tersimpan di dalam hati. Tentang dikotomi antara menaruh yang lokal dan yang di luar kelokalan.
Supaya kemudian tidak terjebak dalam nuansa aransemen dan vokalisasi yang bertahan di zona nyaman. Di wilayah intramusikal, tentang bagaimana kekhasan auditif yang diperdengarkan kemudian dapat melibatkan idiom-idiom tertentu, sebuah sonic signature yang bisa pendengar asosiasikan langsung dengan Adonara.
Di luar itu semua, Nara menutup malam itu dengan sajian musik yang menghangatkan jiwa, di sela pemutaran film “Geniko Lewo” yang berisi dokumenter perjalanan pulang ke kampung halaman, dibersamai sorak sorai teman-teman dari Jogja maupun Adonara yang saling rangkul dan menebar kegembiraan.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Ruang MES 56