Mengingat dan Membicarakan Geliat Penerbitan Alternatif di Yogyakarta Art Book Fair 2024

Yogyakarta Art Book Fair 2024 mengajak para pegiat media seni dan penerbitan alternatif untuk mengingat dan membicarakan kembali perjalanan kerja-kerja penerbitan alternatif dari waktu ke waktu.

Langit gelap tampak menyelimuti kota Jogja. Angin bertiup cukup kencang, hujan belum rela turun membasahi bumi. Para penggila sastra dan seni hilir mudik bermunculan dari balik pilar dan belantara pohon. Terpasang proyektor menyorot tulisan “Yogyakarta Art Book Fair 2024”, bersanding dengan meja bertaplak kain; singgasana dari terbitan terkurasi di sepanjang sejarah skena penerbitan indie tanah air.

Seni tentang buku, atau buku tentang seni? Pertanyaan literal yang muncul di benak tatkala gabungan diksi “art book” mengudara mulai dari laman Instagram hingga di pelataran Jogja National Museum. Hari Sabtu (03/02) itu, saya hadir untuk menyaksikan sesi diskusi yang tergelar sebagai pra acara Yogyakarta Art Book Fair 2024: Pilot Edition.

Sejumlah artefak terbitan seperti zine dari yang paling sederhana sampai yang relatif tebal saling mencuri perhatian. Alih-alih langsung menghampiri keberadaan mereka, saya tak sabar menunggu percakapan dari tokoh-tokoh penting atau insiator yang akan membagikan pengalamannya di kerja penerbitan dan kepenulisan alternatif.

Kira-kira waktu menginjak pukul setengah empat sore, moderator akhirnya menyapa hadirin yang sudah menunggu sesi Open Air Talks dimulai. Sesi diskusi di segmen pertama hendak menyorot geliat penerbitan mandiri dan alternatif dalam kurun waktu 1998 hingga 2010.

Penerbitan independen (indie) memasang taringnya sebagai bukti penciptaan ruang alternatif dan ekonomi berbasis komunitas. Terma ekonomi kreatif belum akrab di era tersebut. Mikrofon berpindah ke tangan Ade Tanesia, selaku salah satu pengelola media bernama Aikon yang berdiri di tahun 1994. 

Menurut Ade, Aikon mengemuka sebagai media yang rajin mengabarkan jadwal-jadwal kegiatan seni di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, hingga Jogja. Awalnya, Aikon mengolah berbagai poster acara yang kemudian beralih bentuk menjadi media.

Kekuatannya ketika itu terletak pada desain dan material kertas daur ulang. Aikon memiliki pendekatan desain dan tipografi yang sangat berbeda sebagai media seni, terlebih sebagai penanda kuat dibongkarnya paradigma media mainstream.

Alih-alih sebagai sebuah media publikasi seni yang hanya berkutat dengan dunia miliknya, Aikon juga mengabarkan ragam hal lain dalam keseharian. Menariknya, Ade bercerita dalam satu edisi, Aikon pernah memberitakan tentang sejarah peniti, sebuah benda kecil yang terlupakan akan tetapi punya makna yang bisa dinarasikan. Ada juga para perupa yang acapkali tampil sebagai cover majalah Aikon.

(dok. Yogyakarta Art Book Fair)

Terobosan Aikon lantas membuat saya bertanya bagaimana media ini menghidupi dirinya? Penjualan merchandise dan kertas samson menjadi sumber pemasukan alternatif yang mereka perjuangkan. Hak atas informasi berlaku sebagai adagium yang dipertahankan oleh Aikon sehingga majalahnya tetap disebarluaskan secara cuma-cuma.

Tantangan bagi pergerakan media alternatif tentu berpusat pada masalah funding. Beruntung, ketika politik sedang panas-panasnya Aikon adalah satu dari sekian banyak majalah yang tidak berbau politis dan tidak dibredel ketika tragedi 1998.

Lima belas menit berlalu, mikrofon berpindah tangan ke Ugoran Prasad, seorang pemain band yang turut berkiprah mewarnai pergerakan literasi alternatif. Baginya, Aikon menjadi media yang kehadirannya senantiasa dirayakan.

Dahulu, ketika media sosial belum ada masif, kehadiran media cetak menjadi cara untuk menghubungkan diri. Ketika butuh informasi soal pameran dan pentas apa yang berlangsung di berbagai kota, maka majalah Aikon hadir untuk mengabarkannya. Ugo bercerita lebih lanjut tentang pandangannya melihat Aikon yang menjelma terobosan imaji visual, alih-alih membahas pengalamannya mengelola penerbitan mandiri. Menurutnya, Aikon menjadi penanda awal bagi bermulanya visual culture dan media terbitan underground kala itu.

Makna “publishing” menurut Ugo merupakan form of being and existing. Kita eksis dan menjadi manusia karena kehadiran geliat media. Dahulu kita belum mengenal konsep status update sehingga medium paling ampuh untuk mengabarkan diri adalah melalui tulisan.

Ugo mengajak para hadirin yang kira-kira seusia dengannya untuk bernostalgia. Masa-masa kuliah dulu ujarnya, punya kenalan tukang fotocopy adalah suatu keharusan. Mereka menjadi penyambung lidah terbaik yang akrab dengan dunia perbukuan dan percetakan. 

Antara bermain band dan terjun ke konstelasi zine menjebak seorang Ugoran Prasad ketika mengawali kiprahnya di dunia kepenulisan. Saat kuliah, Ugo terkoneksi dengan pers mahasiswa tersohor yang juga saya kenal dengan nama Balairung UGM. Kehadiran pers mahasiswa merupakan penanda dari munculnya alternatif media besar.

Ketika media mainstream secara terbatas hanya memberitakan hal-hal umum, maka media alternatif muncul untuk membicarakan hal-hal yang tidak mungkin dibicarakan media besar. Bahkan tiap fakultas memiliki media alternatif sendiri, menghadirkan ruang-ruang personal bagi mereka yang rajin membaca, menonton teater, juga mendengarkan musik. 

Intinya bagi Ugo, para penulis memberi kesaksian dari readership mereka, itu juga yang dilakukan oleh BlockNot, media sastra alternatif yang ia kelola bersama Gunawan Maryanto*. Sayang, BlockNot tidak lagi beresonansi dengan semangat zaman.

Geliat penulisan di blog yang kian marak sejak tahun 2004 menghilangkan relevansi kehadiran media yang diusung Ugo. Dunia percetakan tak lagi sama. Media cetak BlockNot gugur, terganti dalam bentuk situs web yang bersaing dan meredup di antara suburnya pergerakan skena media daring alternatif yang mengemuka hari ini.

(dok. Yogyakarta Art Book Fair)

Selanjutnya, Wok The Rock sebagai pemegang mikrofon berikutnya yang lagi-lagi mengawali kilas balik pengalamannya di era majalah Aikon. Baginya Aikon adalah tonggak media alternatif pada masanya. Material kertas yang digunakan dan desain layout yang ditampilkan sangat mencolok perbedaan baginya. Bagi Wok The Rock, Aikon menjelma sebagai media informasi seni dengan pendekatan yang lebih cakep dan dekat dengan anak muda. 

Berbicara kedekatan dengan buku, sejak kecil Wok The Rock sudah terpapar oleh majalah dan tabloid sebagai bahan bacaan. Orang tuanya bekerja sebagai agen toko buku ternama sehingga tanpa sengaja ia dibentuk untuk terbiasa berliterasi. 

Berdasarkan cerita Wok, Track Music Studio di kawasan Seturan kerap menjual buku dan majalah luar negeri fotokopian. Ketika itu rasanya aneh menyadari banyak toko menjual karya tulis salinan aih-alih yang orisinil. Barangkali distribusi tidak semudah yang kita bayangkan, akan tetapi peristiwa itu terkenang kuat di ingatannya. 

Di paruh 90-an, keinginan untuk berkarya tulis menyala hebat dalam diri Wok. Media alternatif yang dibentuknya adalah zine yang bersinggungan dengan anak-anak punk, mereka yang suka bolos kuliah, dan penyaluran ekspresi tanpa harus menjadi akademis. Atau misalnya hasil laporan pengamatan dan wawancara band yang termaktub sebagai gigs report diwadahi melalui kehadiran media alternatif seperti zine.

“Pengen nulis tapi nggak pinter dan nggak bisa nulis, media ini tercipta untuk mengakomodasi itu pada mulanya,” ujar Wok The Rock. Masih jelas ingatan Wok The Rock ketika tumbuh kebanggaan mencantumkan alamat redaksi pada zine yang mereka terbitkan.

Ambisi utama dari skena penerbitan terkait erat dengan misi korespondensi. Apa yang dituturkan Wok The Rock, membuat saya melihat lebih dalam bahwa media menjadi katalis untuk terhubung. Kehadiran media disadari fungsinya sebagai alat berkorespondensi di masa media sosial belum hadir. Pengiriman surat, artikel, dan ikatan pertemanan sebagai sahabat pena dikenang sebagai periode mengharukan di masanya.

Pergeseran arus dan lahirnya pendekatan baru menjelma sebagai ledakan medium. Tantangan yang dihadapi adalah perihal mencari jalan di luar tatanan yang baku. Setidaknya sudah banyak perubahan/pergeseran skena penerbitan alternatif sepanjang satu dekade lebih dari 1998 hingga 2010.

“Di Yogyakarta Art Book Fair 2024 Pilot Edition ini kita bisa menemukan karya-karya dari penerbit yang secara distribusi dan geliat kreatifnya alternatif, dalam hal konten, bentuk visual, hingga produksi bukunya. Akan ada buku, zine, graphic novel, dengan tema-tema minor yang jarang dibahas oleh penerbit besar,” ujar Daud Sihombing, perwakilan dari Kamboja Press, Petrikor Books, sekaligus inisiator dari Yogyakarta Art Book Fair 2024 yang diwawancarai oleh pihak JNM Bloc.

Rasa penasaran semakin memuncak, sesi Open Air Talks mengaktifkan kembali spirit kerja media dan penerbitan alternatif yang padam dan menyala ditantang kemajuan zaman. Tak jauh berbeda dengan Yogyakarta Art Book Fair 2024: Pilot Edition yang digagas oleh beragam komunitas publikasi independen di Jogja.

Puncak festival literasi independen pertama di kota pelajar ini akan berlangsung di Jogja National Museum pada bulan Maret mendatang.

*) Selain Ugoran Prasad, pengelola BlockNot antara lain Muhammad Marzuki (art) dan Gunawan Maryanto. Setelah era BlockNot Newsletter, terbitan BlockNot terbagi menjadi dua: BlockNot Prosa (editor Ugoran Prasad) dan BlockNot Poetry (dikelola Gunawan Maryanto) dengan kendali art oleh Andy Seno Aji. Dina Oktaviani (BlockNot Poetry) dan Nailil Muna (BlockNot Prosa) kemudian bergabung di masa akhir dan sempat memimpin penerbitan masing-masing satu edisi. [sumber: Ugoran Prasad]

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Lintang Pramudia Swara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts