Pengaruh Media Sosial dalam Aksi Langsung

Senin (9/3) aksi Gejayan memanggil kembali dilakukan. Tuntutan yang diajukan adalah menghentikan RUU Omnimbus Law disahkan. Melihat aksi Gejayan Memanggil untuk ketiga kalinya langsung dari lapangan membuat saya berpikir, kenapa jumlah orang yang ikut aksi dan terjun langsung ke jalan semakin sedikit? Bandingkan aksi Gejayan Memanggil pertama, delapan ribu orang turun dan memenuhi jalan Gejayan demi tercapainya semua tuntutan.

Menyampaikan pendapat di muka umum telah diatur dalam UU No.9 Tahun 1998 dan UUD 1945 pasal 28 tentang berkumpul dan berserikat, mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tertulis. Mengikuti kegiatan demonstrasi adalah hak setiap warga negara, tapi kenapa sampai aksi Gejayan Memanggil ketiga, jumlah massanya malah menurun? Apakah isu Omnibus Law yang diusung teman-teman Aliansi Rakyat Bergerak tidak se-seksi isu Gejayan Memanggil pertama? Menjadi pertanyaan juga, apakah media penyampaian pendapat yang begitu luas di masa sekarang juga mengurangi niat atau keinginan massa untuk turun langsung ke jalan?

Aksi langsung dengan turun ke jalan selalu menjadi cara yang ditempuh teman-teman kaum pergerakan demi menarik perhatian dari otoritas tertinggi. Membuat selebaran poster, spanduk, dan orasi-orasi yang membakar semangat demi perhatian pemegang kekuasaan. Tidak semua orang mau dan merasa nyaman untuk berdiri pada barisan yang sama; turun ke jalan. Apakah ketika kita menaruh perhatian lebih akan suatu isu lalu ada aksi turun ke jalan kita harus selalu ikut?

Salah satu cara untuk menyampaikan ide atau gagasan atas suatu peristiwa bisa melalui media sosial. Ketika kita mampu menggunakan media sosial dengan baik, ide atau gagasan yang kita lempar ke dunia maya bisa saja berpengaruh. Namun perlu diperhatikan bahwa secara ide atau pengetahuan mungkin akan tersampaikan kepada pembaca, tapi secara empati belum tentu pembaca akan merasakan api yang sama dengan penulis. Perlu keputusan besar dari pembaca untuk mengambil jalan yang sama untuk turun aksi langsung ke jalan. Sementara si penulis sudah berapi-api menyampaikan tulisannya berharap para pembaca merasakan hal yang sama, tapi nyatanya tidak.

Media apapun yang kita gunakan untuk menyampaikan pendapat sama baiknya. Turun ke jalan dan menyampaikan pendapat lewat media massa atau media sosial semua punya peran yang sama. Tidak ada yang lebih baik, pada dasarnya sama untuk menyampaikan pendapat. Hanya caranya saja yang berbeda, efeknya juga bisa berbeda tergantung cara yang dipilih. Justru semua aspek itu harus seimbang, saling melengkapi, dan disebarkan seluas-luasnya. Bukan hanya mencibir lewat sosial media atau bahkan mengagungkan aksi turun ke jalan.

Tujuan kita sama, menuntut sesuatu yang lebih baik kedepannya. Kita bisa saja menuntut produk hukum yang baik, tapi kenapa tidak kita ganti menuntut produsen hukum yang lebih baik? Jika produk hukum yang dihasilkan cacat dan tidak berpihak ke rakyat, kita tinggal melihat siapa produsennya, kawal terus jangan sampai produsen hukum yang cacat itu terpilih lagi duduk di parlemen. Mari kita coba ubah cara pandang kita soal media yang digunakan dan tentang apa atau siapa yang kita tuntut. Semoga tercerahkan.

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Foto: Bima Chrisanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article
problematika remaja

Problematika Remaja dan Langkah yang Perlu Kita Buat

Next Article
admin media sosial

Konten, Konten, dan Konten