Beberapa teman sepantaran saya di tiga atau empat tahun terakhir telah menjadi orang tua. Saya melihat bagaimana ragam perubahan yang kemudian terjadi pada mereka setelah menjadi orang tua. Ada yang dulunya bermasa depan kelam yang tiba-tiba jadi kalem. Tidak sedikit pula yang dulunya sering mencibir kebodohan orang lain, seketika lebih sering menertawakan diri sendiri.
Barangkali benar yang sering disebut-sebut bahwa anak adalah malaikat pencabut nyali bagi para orang tua. Menjadi orang tua agaknya membuat mereka jadi tak pandai menutupi binar bahagianya akan buah hati. Meski isi ceritanya keluh-kesah akan kerewelan anak, namun dari sorot mata mereka tampak jelas betapa bangganya mereka memiliki permata hati.
Sebagai seorang lajang, menjadi seorang ayah belum menjadi cita-cita yang ingin segera saya upayakan saat ini, sehingga saya tentu masih belum paham betul bagaimana rasanya memiliki momongan hingga lalu merawatnya.
Gardika Gigih menuliskan 23 tracks musik yang berisikan denting piano serta suara celotehan anaknya dan sesekali suara percakapan istrinya. Dengan notasi piano yang berulang-ulang dengan nuansa hangat yang menjadi keistimewaannya.
Alih-alih monoton, permainan piano Gardika Gigih seolah membawa pendengarnya membuka seabrek hikmah akan kehadiran sosok bayi mungil yang tentu dinantikan oleh para orang tua. Secara keseluruhan, album ini menawarkan kesan tenang dan sumringah.
Perjalanan pulang tengah malam dari Condongcatur (Yogyakarta) menuju Gantiwarno (Klaten) menjadi perjumpaan pertama saya dengan “Larasati”. Di tengah hingar dan sepi jalan antar provinsi, saya menyumpal kedua telinga saya dengan perangkat penyuara telinga. Lalu “Larasati” menjadi rekomendasi awal untuk saya dengarkan.
Tak perlu menunggu waktu lama, permainan piano khas Gardika Gigih menuntun saya pada segala kemungkinan yang belum saya impikan sebelumnya. Ya! Saya membayangkan bagaimana jika saya memiliki keluarga kecil dengan hunian yang sederhana.
Diawali dengan track pertamanya berjudul Karina, merupakan nama depan anaknya. Gardika Gigih membukanya dengan alunan piano yang mengiringi Karina berceloteh riang gembira. Ini merupakan keistimewaan pada album “Larasati”.
Gardika Gigih berusaha menghadirkan sudut pandang bahwa celotehan bayi merupakan tuturan indah yang berasal dari surga. Sebuah tuturan yang belum digeser atau diintervensi oleh bahasa lokal, bahasa politik, atau bahkan bahasa rezim. Kombinasi celoteh Karina dan piano yang dimainkan pada lagu ini membangun babak baru dalam hidup: berkeluarga!
Pada urutan ketiga yang berjudul Ayeyee barangkali menjadi contoh literal dari celotehan anak yang tak kita pahami bahasanya. Di beberapa bar awal lagu ini, terdengar Gardika Gigih membunyikan satu tuts yang asing, malah jadi agak sumbang didengar.
Di sini, agaknya Gardika Gigih memaknai kasih dapat menembus ketidakpahaman itu dimana kini sang buah hati menjelma seorang penutur yang piawai menyentuh jiwa dan membagi cerita yang bukan sembarangan, kendati telinga kita hanya mengerti pada sebatas “ayeyee” saja.
Setidaknya, dua nomor lagu yakni Minggu (Sunday) dan Makan (Eating) terdapat percakapan sang istri dengan bahasa yang berbeda. Minggu menjadi waktu yang paling aman menghabiskan waktu bersama. Ketika mendengarkan, saya membayangkan lagu Minggu (Sunday) menjadi momen di mana segala hal menjadi lambat.
Ini juga terdengar dari bagaimana alunan piano dimainkan dengan lambat, terasa lebih lambat dibandingkan beberapa nomor yang lain. Percakapan sederhana Gardika Gigih dan Vita, istrinya, pada lagu ini juga membuktikan bahwa setidaknya hidup masih baik-baik saja.
Sementara pada lagu Makan (Eating), gaya bahasa dan interaksi yang berbeda terasa dari interaksi Vita pada Karina saat ndulang. Kedua mereka saling bertutur dengan bahasa yang tak begitu saja mudah ditafsirkan namun dapat dipahami.
Saya teringat dengan Lagu Ibu yang menjadi lagu tema film pendek Lemantun, terdapat di album “Nostalghia” (2020) mengisyaratkan akan kerahiman. Lagu Makan (Eating) juga menjadi bentuk lain dari kerahiman sosok ibu yang memberikan ruang dan nafas kehidupan bagi sang buah hati.
Perjumpaan dengan “Larasati” ditutup dengan lagu berjudul Ngantuk (Sleepy). Boleh jadi dari berbagai nomor lagu yang sambung-sinambung baik dari judul dan permainannya, lagu ini menjadi penutup yang tepat dan ugahari.
Tak terasa perjalanan pulang saya pun berakhir di lagu tersebut. Alunan nomor terakhir di album “Larasati” menjadi lullaby untuk sejenak memejamkan mata, menaruh kembali kesaktian dan keterbatasan, kembali kediam-dirian.
Dari “Larasati”, rupa-rupanya saya diingatkan lagi (dan-lagi) bahwa untuk senantiasa membiarkan keterasingan tinggal dan menempuh segala soal yang tak terjawab. Barangkali kebimbangan akan menjadi ayah atau tidak adalah keterasingan yang saya syukuri saat ini.
Sebagaimana “Larasati” adalah tanda syukur Gardika Gigih dan istri, bagi para orang tua, album ini bisa menjadi terang jalan dan doa untuk sang buah hati. Nafas, Makan, Ceria, Tertawa, hingga Meracau yang dirangkai oleh komponis dan pianis asal kota pendidikan itu baiklah dipertimbangkan untuk didengarkan sendiri dan/atau bersama di suatu malam yang sederhana yang penuh kasih.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Franciscus Apriwan