Bernostalgia dalam Single ‘Senyawa Berlabuh’ milik Mesin Waktu

“Senyawa Berlabuh” hendak menggambarkan sebuah cerita tentang kerinduan dan kenangan dalam konstruksi musik rock yang santai.

Musik eighties tak pernah gagal menarik perhatian telinga. Ia selalu tampil seksi ketika melintasi generasi, beregenerasi dalam waktu yang terus berjalan, menjalani kehidupan baru melalui orang-orang muda. Oleh karena itu, musik eighties tetap eksis sampai yang muda kembali menua.

Semester awal tahun ini, bertambah pula grup musik yang berkiblat pada musik 80-an. Namanya Mesin Waktu. Band dari Surabaya ini digawangi oleh Fikar (vokal), Akmal (gitar), Abiel (bass), dan Izul (drum). Mereka juga belum lama ini merilis single perdananya yang berjudul “Senyawa Berlabuh”, dengan membawa aliran indie rock. 

Sebelum membahas persoalan lagu, saya sedikit penasaran dengan pemilihan nama band mereka. Pertama, pada umumnya, kata ‘mesin waktu’ sering digunakan sebagai judul lagu. Coba saja buka browser atau platform musik digital, dan masukkan kata ‘mesin waktu’ di fitur pencarian. Hasilnya akan seperti yang saya katakan. Kalau saya salah, ya tak perlu marah. Itu artinya, nama band mereka sudah lebih terkenal dibanding nama judul lagu tersebut.

Kedua, masih persoalan nama band. Biasanya band 80-an atau mereka yang berkiblat pada era itu, cenderung menggunakan kata ‘The’ pada awal nama band mereka, seperti misalnya The Beatles, The Byrds, The Changcuters, The Lantis, The Banery, dan sebagainya. Kalau jatuh cinta dengan nuansa 80-an, kenapa tidak sekalian? The Mesin Waktu, misalnya. Saya juga sedikit berpikiran, apakah mereka hendak mencapai posisi dalam dunia permesinan? Karena yang saya tahu saat ini, skena band permesinan baru diduduki oleh band asal Bandung saja, yakni Mesin Tempur. Haha. Cukup!

Dilansir dari rri.co.id, Fikar sang vokalis mengatakan bahwa alasan pemilihan nama Mesin Waktu, berkaitan dengan nuansa musiknya yang membawa era 80-an. Ia juga berharap dapat membawa pendengar untuk bernostalgia, mengingat masa lalu.

“Senyawa Berlabuh” hendak menggambarkan sebuah cerita tentang kerinduan dan kenangan. Dua hal tersebut memang tak bisa dipisahkan. Jujur saja, sangat seru ketika membayangi sebuah pertemuan yang pernah terjadi dengan menampilkan momen-momen yang terekam jelas dan tentunya melibatkan suasana dan latar kejadian kala itu. Inilah yang saya alami saat lagu ini sedang diputar.

Disajikan dalam konstruksi musik rock yang santai, dengan bahan-bahan berupa vokal yang nostalgic, riff gitar tampil ganteng – karena yang ganteng mudah disukai – juga, bass yang aduhai, disertai gebukan drum yang menjadi jalan menuju ingatan masa lalu. Saya pun merasakan ada perpaduan The Changcuters dan Naif di sana. Enak!

“Di dermaga yang sama // merangkai cerita // menata bahagia // tanpa dusta”

Lirik di atas hadir pada bagian verse ketiga. Liriknya begitu romantis. Latarnya dapat, suasananya nikmat. Dalam hal ini, perihal tempat dan kejadian memang tak bisa dipisahkan ketika bernostalgia. Kepingan memori akan menyatu bila dipancing dengan gambaran lokasi, situasi, dan kondisi. Ditambah, mendengarkan musik yang punya spirit untuk mendukung sesi mengenang masa lalu tersebut. Pas!

“Keluh waktu kan berlalu // bersanding denganmu // mewujudkan harapan // sendu yang kita dambakan”

Penggalan lirik pada bait kedua bagian chorus mereka, dapat dimaknai dengan banyak hal. Namun saya memilih untuk memaknainya sebagai perjalanan indah dari hubungan dua arah yang menghabiskan waktu bersama. Hingga pada akhirnya, hidup berjalan lebih berarti sampai impian bukan lagi mimpi.

Dalam video lirik yang bertekstur vintage, mereka menampilkan kompilasi cuplikan foto yang menunjukkan suasana dan nuansa tahun 80-an. Ini adalah bagian yang saya suka, ketika melihat gaya berpakaian, lanskap arsitektur, gaya rambut, kendaraan, sampai bentuk helm motor yang macam helm tentara kolonial pun akhirnya membuat saya menyeringai. Secara keseluruhan, dari musik, lirik, sampai video lirik, mereka perlakukan dengan rasa dan nyawa. Sip!

Single perdana mereka menjadi awalan yang oke gas. Spirit membantu orang-orang mengenang masa lalu pun menjadi langkah awal untuk dikatakan sebagai band yang ramah. Di tengah arus musik yang anak mudanya menikmati modern music, mereka muncul dengan gaya musik para orang tua dulu. Ya, tentu saja tidak ada yang salah dengan hal itu. Menjadi salah ketika masih ada orang yang membandingkan musik. Musik tak minta dinilai, nilai tak minta di musik-i.

Mengakhiri tulisan ini, saya ucapkan, melaju terus sampai di pelabuhan berikutnya!


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto Sampul : Mesin Waktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts