Sepasang elang terbang berputar-putar di atas bukit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah yang rimbun ditumbuhi pohon durian, aren, mahoni, kelapa, kopi, petai dan lainnya. Kanopinya rapat menyerupai hutan tropis lebat yang menyisakan “jendela-jendela” kecil bagi masuknya sinar matahari. Pada batang pohon sejenis palem, merambat tanaman kemukus dan vanili. Sedangkan lantai hutan menjadi tempat tumbuhnya semak belukar, sayuran, dan tanaman rempah seperti jahe dan kencur.
Secara turun-temurun warga desa yang hampir seluruhnya petani itu menjalankan pertanian multikultur (bermacam-macam jenis tanaman) di lahan tanah subur miliknya di bukit itu. Sistem ini memungkinkan para petani mendapatkan penghasilan dari panen berbagai macam tanamannya secara bergantian sepanjang tahun.
Datangnya musim durian selalu dinantikan karena saatnya meraup penghasilan besar. Sejak dulu Purworejo terkenal dengan duriannya dan durian Wadas adalah salah satu yang dicari karena berdaging lembut, legit, dan manis menggugah selera.
“Bila panen bagus, satu pohon besar durian bisa menghasilkan Rp 10 juta. Saya mempunyai 10 pohon, jadi ya bisa mendapatkan Rp 100 juta,” ujar Mbah Marsono, Minggu (8/5).
Kakek berumur 62 tahun itu membangun sebuah musala bercat hijau berukuran sekitar 5 x 6 meter di depan rumahnya. Musala itu sengaja dibangun Marsono untuk para tetangganya. Biaya pembangunan menggunakan uangnya sendiri, hasil jerih payahnya bertani. Setiap hari, Mbah Marsono menyadap getah pohon karet miliknya, satu kilogram getah karet berharga Rp7.000
Sebelumnya, saat menjelajahi bukit, saya bertemu Suroso yang memiliki rumah di punggungan bukit. Rumahnya berada dalam posisi yang paling tinggi karena rumah warga Wadas lainnya dibangun di kaki bukit, tidak jauh dari jalan utama yang membelah desa itu.
Ia menunjukkan tanaman kemukus (Piper cubeba) miliknya yang merambat pada sebuah batang pohon di depan rumahnya. Buah kemukus atau lada jawa itu bisa digunakan sebagai bumbu masak atau diambil minyaknya.
“Satu kilo kemukus basah mencapai Rp50.000, kalau kering Rp250.000,” ujarnya.
Bila musim panen tiba, Suroso bisa mendapatkan antara 20 hingga 30 kilogram buah kemukus basah. Setelah dikeringkan 3 kilogram buah kemukus basah menyusut jadi 1 kilogram. Jika Suroso bisa panen 30 kilogram dan dijual dalam kondisi kering maka ia meraup pendapatan Rp2,5 juta.
Dalam survei potensi ekonomi yang dilakukan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Perpustakaan Jalanan, semua tanaman yang dibudidayakan di bukit itu mempunyai nilai akumulasi tinggi per tahun: petai mencapai Rp241 juta, kayu sengon Rp2 miliar, kemukus Rp1,35 miliar, vanili Rp266 juta, dan durian Rp1,24 miliar.
Begitu banyak keuntungan yang diberikan bukit di Wadas itu sehingga warga menyebutnya sebagai “tanah surga di bumi Wadas”. Warga mengatakan hidup mereka berkecukupan dari alam di “tanah surga” itu.
Tetapi kini para petani sedang terusik hidupnya karena pemerintah mencoba mengambil penghidupan mereka. Pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang membangun Bendungan Bener di Desa Guntur, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Rencananya, material batu pembangunan bendungan itu diambil dari “perut” bukit di Wadas dengan luas tanah yang terdampak 114 hektar.
Lokasi Bendungan Bener terletak sekira 10,5 kilometer sebelah Barat Wadas. Sebuah jalan akan dibuat untuk transportasi truk mengangkut tanah dari Wadas ke lokasi Bendungan Bener.
Kepala Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bendungan Bener, M. Yushar mengatakan bukit di Wadas menyimpan batu andesit sebanyak 40 juta meter kubik. Tetapi yang diambil hanya 8,5 juta meter kubik selama dua hingga tiga tahun. Sebenarnya menurut Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo, No. 27/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Desa Wadas ditetapkan sebagai kawasan perkebunan.
“Bukit di Wadas dipilih karena batunya memenuhi spesifikasi teknis seperti kekerasan dan sudut gesernya. Volumenya paling memenuhi dan jaraknya ke Bendungan Bener paling ideal,” ujarnya, Kamis (20/5).
Ia mengatakan para pemilik tanah di bukit itu akan mendapat “ganti untung” minimal Rp120.000 per meter persegi. Setelah itu tanah dikuasai pemerintah tetapi pasca direstorasi, masyarakat dapat memanfaatkannya lagi melalui kesepakatan antara Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dengan BBWSSO.
Suplai Air untuk YIA ‘Aetropolis’
Bendungan Bener yang menampung Sungai Bogowonto akan memiliki tinggi sekitar 160 meter dan diklaim sebagai bendungan tertinggi di Indonesia. Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menelan biaya Rp2,06 triliun ini bisa menampung air sebanyak 90,39 juta meter kubik yang menggenangi lahan seluas 313 hektar di wilayah empat desa di Kabupaten Purworejo dan tiga desa di Kabupaten Wonosobo.
Kalian tahu tidak salah satu proyek pembangunan bendungan di Indonesia, yakni Bendungan Bener akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia. Bendungan ini terletak di Purworejo, Jawa Tengah. pic.twitter.com/qTIieBt941
— Kementerian BUMN (@KemenBUMN) April 3, 2019
Dokumen Rencana Aksi: Rencana Induk Pariwisata Terpadu Borobudur–Yogyakarta–Prambanan yang dikeluarkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian PUPR, Kemenparekraf/Baparekraf, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 31 Maret 2020 menyatakan Bendungan Bener mampu mengairi sawah seluas 15.519 hektar dan mengurangi debit banjir sebanyak 210 liter/detik, menyuplai air baku sebanyak 1.500 liter/detik, dan menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 6 Mega Watt (MW).
Dari 1.500 liter/detik suplai air baku untuk air bersih, porsi terbanyak atau 700 liter per detik akan dialirkan ke Kabupaten Kulon Progo. Sisanya, 300 liter, untuk Kabupaten Kebumen dan 500 liter untuk Kabupaten Purworejo. Dari 700 liter untuk Kulon Progo, 200 liter dikhususkan untuk Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), sebuah PSN untuk mendukung aktivitas pariwisata dan perekonomian di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang dibangun dengan memindahkan para petani pengguna lahan pantai yang subur ke lahan lain. Sebagian warga yang dipindahkan menyebut tindakan ini sebagai “penggusuran paksa”.
Pemerintah provinsi Yogyakarta telah merencanakan pengembangan YIA menjadi kawasan “aetropolis” seluas 7.000 hektar yang akan menjadi “kota masa depan pesisir selatan Jawa”. Pada Desember 2019 akhir, kepala Bappeda Kulon Progo, Agus Langgeng Basuki, mengatakan radius “aetropolis” YIA akan dilebarkan hingga 15 kilometer dari titik bandara. Pengembangan ini untuk menarik investasi dan pertumbuhan ekonomi Kulon Progo, kata Agus. Di kawasan ini akan ada pusat perdagangan, logistik, dan permukiman. Bahkan, akan ada helipad juga di “aetropolis” ini.
‘Kalau Tanah Hilang, Mau Kerja Apa?’
Warga Desa Wadas mulai mendengar desanya terdampak pembangunan Bendungan Bener sejak 2013. Tokoh Desa Wadas, Insin Sutrisno (75) mengatakan mayoritas warga Wadas yang terdiri sekira 400 Kepala Keluarga (KK) tidak setuju dengan penambangan quarry di desanya. Mereka telah menyatakan sikapnya saat BBWSSO mengadakan sosialisasi penambangan quarry di Balai Desa Wadas.
“Kami itu 99 persen petani, kalau tanah hilang, mau kerja apa? Tanah ini adalah penopang kehidupan sekarang dan untuk anak cucu nanti,” ujarnya.
Walaupun ada penolakan warga, Amdal Pembangunan Bendungan Bener yang mencakup penambangan quarry di Wadas bisa lolos, Maret 2018. Dokumen itu sama sekali tidak menyebutkan soal penolakan warga Desa Wadas.
Selanjutnya Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Keputusan No.590/41 tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Izin Penetapan Lokasi (IPL) ini sudah diperpanjang sekali dan akan berakhir pada 5 Juni mendatang.
Mengenai soal lolosnya Amdal walaupun ada penolakan warga, kepala PPK Yushar mengaku sudah mengadakan sosialisasi dengan melibatkan elemen masyarakat seperti Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Kepala Desa Wadas, Camat Bener, tokoh masyarakat dan beberapa warga yang bisa datang. Dalam dokumen Amdal, kegiatan ini dilaksanakan di rumah Kepala Desa Wadas, 7 Agustus 2017.
“Kami juga menyebarkan survei untuk UKL/UPL Amdal Bendungan Bener. Survei ini membuktikan warga setuju tetapi seiring waktu ada oknum yang melakukan provokasi agar menolak,” ujarnya.
Yushar mengatakan jika tahun 2019-2020 komposisi warga yang menolak dan setuju pertambangan quarry berimbang, kini sekitar 70 persen sudah menyatakan setuju. BBWSSO meminta warga yang setuju (tergabung dalam organisasi Mata Dewa) membantu mengumpulkan KTP dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) bukti kepemilikan tanah untuk dibebaskan tanahnya.
“Kini sudah terkumpul 313 bidang tanah dan hanya 100 bidang yang dikuasakan kepada LBH Yogyakarta karena menolak,” tambahnya.
Tetapi Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia yang menjadi kuasa hukum warga Wadas sejak Oktober 2018 mengatakan mayoritas warga Wadas masih menolak penambangan quarry. Ada 300 orang yang memberikan kuasa kepada LBH Yogyakarta untuk menolak penambangan quarry.
Amdal ‘Cacat Substansi dan Prosedur’
Menurut Julian, absennya catatan penolakan warga terhadap penambangan warga di Wadas dalam Amdal Bendungan Bener sangat memprihatinkan. Sepengetahuannya warga sudah aktif menolak sejak 2016 atau 2017.
“Amdal itu cacat substansi dan prosedur,” tegasnya.
Julian juga melihat proses pelibatan masyarakat di Desa Wadas untuk menyusun Amdal Bendungan Wadas tidak sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No.17/2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. Pelibatan masyarakat harus melibatkan warga terdampak, pemerhati lingkungan dan warga yang terpengaruh atas seluruh keputusan Amdal, bukan pejabat-pejabat desa yang mudah “dikondisikan”.
Jika masyarakat yang dilibatkan dalam proses penyusunan Amdal itu adalah perwakilan maka mekanismenya harus lewat musyawarah warga dahulu. Ia juga tidak melihat proses itu dilakukan di Wadas.
Julian berpendapat Amdal bendungan Bener dan penambangan quarry seharusnya dipisahkan karena merupakan jenis kegiatan berbeda. Mekanisme proses mendapatkan izin penambangan juga berbeda dengan izin pembangunan suatu infrastruktur.
“Ini preseden buruk, nanti jika ada yang ingin bangun jalan tol yang membutuhkan semen, Amdal jalan tol dan penambangan batu kapur untuk menghasilkan semen jadi satu,” ujarnya.
Tetapi Yushar memiliki pendapat berbeda, Amdal cukup satu karena pembangunan bendungan dan penambangan quarry adalah satu kesatuan dan prosesnya mirip. Ketika membuat bendungan ada proses penggalian (untuk menemukan struktur batuan terkuat sebagai dasar membangun pondasi), persis sama dengan penggalian dalam penambangan quarry.
Amdal Bendungan Bener mencatat ada 12 burung yang hidup dan akan terdampak dengan aktivitas di lokasi pembangunan. Tetapi sayangnya luput mencatat keberadaan burung elang. Setiap pagi menjelang siang, raptor yang statusnya dilindungi ini selalu terbang di atas bukit di Wadas untuk mencari mangsa.
Sejak terbitnya Amdal Bendungan Bener, Maret 2018 yang mencantumkan Desa Wadas sebagai tempat penambangan quarry, perjuangan warga Wadas makin meningkat. Mereka membentuk organisasi bernama Gempa Dewa dan sayap perjuangan perempuan bernama Wadon Wadas. Sejak itu warga Wadas aktif menggelar aksi protes di berbagai Lembaga pemerintah seperti BBWSSO, Bupati Purworejo, Polres Purworejo, Kantor BPN Purworejo, dan Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang. Tetapi aspirasi mereka agar penambangan quarry di desanya dibatalkan tidak dipenuhi.
“Puncak” perjuangan warga Wadas terjadi saat mereka dengan ujung tombak Wadon Wadas menghalangi kedatangan tim BBWSSO ke Balai Desa Wadas untuk melakukan sosialisasi pematokan tanah, Jumat (23/4). Sejak pagi setelah Wadon Wadas menggagalkan pemasangan tenda di Balai Desa Wadas, mereka menutup jalan dan menggelar doa mujahadah, atau doa perjuangan, di ruas jalan menuju desa.
Menjelang tengah hari, aparat kepolisian yang berjumlah sekitar 400 orang datang dan memaksa masuk ke Desa Wadas, demikian kesaksian warga. Kericuhan terjadi setelah aparat kepolisian menembakkan gas air mata dan membubarkan aksi Wadon Wadas menutup jalan. Sembilan orang mengalami luka-luka dan 11 lainnya ditangkap, termasuk Julian dari LBH Yogyakarta yang menjadi pengacara warga Wadas.
Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli melaporkan kasus kekerasan yang dilakukan polisi itu ke Komnas HAM di Jakarta, Kamis (29/4). LBH Yogyakarta bersama Tim Pembela Profesi Advokat untuk Keadilan (PEKA) juga melaporkan Kapolres Purworejo ke Polda Jawa Tengah karena aparat kepolisian juga melakukan kekerasan kepada pembela hukum warga Wadas, Julian dan Lalu M. Salim Iling Jagat, Senin (3/5).
Dalam peristiwa kericuhan di Wadas itu, seorang anggota Wadon Wadas, Yatimah (50) sempat terjatuh saat ia dan anggota Wadon Wadas lainnya ingin menyelamatkan seorang remaja pria yang ditangkap polisi. Ia mengaku berani berjuang dan berhadapan dengan polisi karena membela hak atas kehidupannya yang terancam jika ada penambangan quarry.
“Kami ikut berjuang karena kaum perempuan adalah yang paling terdampak jika penambangan terjadi,” ujarnya.
Ia mengatakan penambangan quarry menyebabkan tata ruang kehidupan hancur dan sumber air bersih hilang. Tanahnya di bukit yang ditanami pohon aren akan hilang sehingga Yatimah tidak bisa lagi membuat gula merah sebagai sumber pendapatan setiap hari.
“Kami tidak melawan program pemerintah. Hanya satu saja, kami tidak memperbolehkan penambangan quarry di Desa Wadas,” tambah Yatimah.
Kami Ahli Air, Ga Usah Khawatir: BBWSSO
Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Bendungan, BBWSSO, Tampang mengklaim penambangan quarry tidak menyebabkan dampak negatif seperti tanah longsor dan hilangnya mata air. Semua ada cara untuk mengatasinya.
“Kami itu ahlinya air, gak usahlah khawatir,” ujarnya.
Ia mengatakan lokasi penambangan quarry dan pengolahannya di bukit bagian atas adalah tanah gersang karena berbatu dan hanya ditumbuhi semak belukar. Tetapi jika dilihat melalui google map, bukit di Wadas itu hijau, penuh dengan tegakan pepohonan besar.
Tampang mengatakan dengan “ganti untung,” petani bisa membeli tanah di lokasi lain dan membeli motor atau mobil. Menurutnya ini adalah sebuah peningkatan.
Yushar menambahkan selama proses penambangan, petani yang tanahnya diambil juga tidak kehilangan penghasilan karena bisa bekerja di proyek sesuai dengan keahliannya. Setelah direstorasi, tanah juga dikembalikan lagi dan bisa dimanfaatkan sesuai dengan keinginan mereka melalui mekanisme kerjasama Bumdes Wadas dan BBWSSO.
Janji “untung” BBWSSO itu sama dengan janji pemerintah kepada para petani di pesisir Kabupaten Kulon Progo yang tanahnya digunakan untuk membangun Bandara YIA. Namun seorang petani yang tergusur, Ustadz Sofyan punya kesaksian bagaimana kehidupan para petani rekannya yang juga dapat “ganti untung”.
“Sepengetahuan saya tidak semua warga bisa beli lahan lahan pertanian lagi. Ada yang hanya bisa sewa lahan yang jauh dari tempat tinggalnya,” ujarnya.
Kata Riset-riset Dunia Tentang Bendungan
Di dunia internasional, manfaat bendungan sudah mulai dipertanyakan karena ongkos pembangunan dan pemeliharaan sangat mahal, merusak lingkungan dan kehidupan sosial, koruptif, umur bangunan lebih pendek dan tidak sesuai tujuan awal karena dampak perubahan iklim, dan hanya menguntungkan para kontraktor. Liz Kimbrough dalam artikel berjudul “The Hidden Costs of Hydro: We Need to Reconsider World’s Dam Plans” di situs Mongabay.com (5 Maret 2019) yang mengutip sebuah penelitian dari Michigan State University yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), menyatakan ongkos atau dampak dari bendungan sering diremehkan.
Di Eropa dan Amerika Serikat (AS) ada tren menghancurkan bendungan daripada membangun yang baru. Di AS saja, sejak 2006, setiap tahun rata-rata ada 60 bendungan yang dihancurkan. Kontras dengan gambaran di negara-negara sedang berkembang di seluruh dunia yang sedang membangun sekitar 3.700 bendungan.
Jurnalis lingkungan, Paul Brown dalam reportase berjudul “The unacceptable cost of big dams” di The Guardian edisi Jumat, 17 November 2000 juga menyuarakan dampak negatif dari bendungan besar. Mengutip pernyataan Komisi Dunia untuk Bendungan, sekira 45,000 bendungan besar yang dibangun di seluruh dunia mempunyai dampak merugikan sangat besar, merugikan kelompok miskin dan gagal memberikan pasokan listrik dan irigasi seperti yang direncanakan.
Tetapi Tampang tidak sependapat dan mengatakan banyak keuntungan yang bisa diambil dari pembangunan bendungan. “Itu kasuistik saja,” ujarnya.
Ia memastikan pembangunan Bendungan Bener terus berlanjut dengan material batu andesit dari Wadas. Alternatif penambangan quarry dari desa-desa sekitarnya seperti tercantum dalam Amdal Bendungan Bener tidak menjadi pilihan.
Duduk di halaman terasnya, Marsono bingung dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Padahal setiap 10 meter persegi tanahnya di bukit di Wadas adalah tempat tumbuhnya aneka tanaman yang bisa menghasilkan banyak keuntungan.
“Katanya pemerintah mau mengurangi kemiskinan, kenapa malah menindas petani dan mengambil tanahnya?”
Malam sebelumnya, Marsono memimpin sholat hajat bagi warga Wadas yang menggelar mujahada di musalanya. Alunan doa bersama yang keluar dari mulut ratusan warga berkumandang ke udara menyatu dengan embun yang mulai turun. Mereka menggantungkan harapan agar Sang Khalik sudi menggagalkan penambangan quarry di Desa Wadas.
Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.
Foto sampul: Arlingga Hari Nugroho