Dalam bincang kecil proses kreativitas kepenulisan puisi, penggemar sastra di Singaraja berharap dapat menemukan cara baru untuk menumbuhkan perhatian masyarakat luas ke dalam dunia sastra dan seni.
Sudah hampir dua bulan saya berada di Bali, tepatnya di kota kecil Singaraja. Tak banyak kegiatan yang dapat saya lakukan selain keseharian yang itu-itu saja, kalau nggak motong ayam ya tidur. Kegiatan yang menjenuhkan, bukan? Jelas bagi seorang yang lebih suka aktif berkegiatan, saya merasa mumet dan bosan dengan keseharian yang monoton seperti itu. Namun, di sela-sela kebosanan itu saya mencoba mencari hal baru, mencari kesibukan yang lain, seperti mencari teman yang enak diajak ngobrol, pergi ke masjid, dan mengaji di rumah. Namun, sepertinya itu bukan kegiatan yang tepat untuk saya sendiri.
Sebab itu, pulang ke rumah menurut saya adalah hal yang menakutkan karena tak banyak yang dapat saya lakukan di rumah. Beruntunglah seorang teman yang baru saya kenal bernama Dani, menghubungi saya untuk meminta menjadi pembicara dalam bincang kecil-kecilan tentang kepenulisan. Kebetulan Dani adalah salah satu pendiri Omah Laras. Omah Laras merupakan ruang kolektif yang lumayan aktif sebelum pandemi. Namun, semenjak datangnya pandemi Covid 19, Omah Laras tidak banyak melakukan kegiatan seperti sebelumnya. Biasanya kegiatan yang dilakukan Omah Laras adalah lapakan buku dan pasar gratis di Taman Kota atau pelabuhan di Singaraja, Bali.
Awalnya saya menolak menjadi pembicara di acara bincang kecil-kecilan tersebut. Sebab di samping saya masih awam dalam dunia kepenulisan, saya juga seorang yang tidak terlalu percaya diri buat mengisi acara seperti itu, walau lingkupnya kecil. Namun, Dani mengatakan kegiatan itu hanya ngobrolin tentang bagaimana proses kreatif menulis puisi dan dia mengira saya adalah orang yang tepat. Jadi, dengan hati yang masih bingung saya mengiyakan permintaan tersebut. Dengan alasan saya memiliki sedikit ilmu tentang kepenulisan puisi, ya walau nggak bagus-bagus banget. Di samping itu juga saya berpikir, kenapa saya dianggap orang yang tepat baginya untuk menjadi pembicara. Mungkin karena kebanyakan yang hadir adalah orang-orang yang saya kenal, sehingga jika pembicaranya saya, mereka tidak merasa canggung.
Kamis (10/6) pukul 20.00 WITA, saya berangkat ke lokasi untuk menjadi pembicara di acara tersebut. Dengan menaiki sepeda motor, di sepanjang jalan menuju lokasi saya masih menghafal dan mengulang materi dalam otak saya, maklumlah kan saya masih awam dan amatir untuk hal seperti ini. Setelah sampai di lokasi, banyak teman-teman yang belum hadir. Alhasil saya harus menunggu terlebih dahulu kedatangan mereka. Setelah hampir 15 menit berjalan, mereka datang bergerombol dan sangat antusias untuk acara ini walau hanya kecil-kecilan.
Diskusi pun dilangsungkan. Lumayan banyak yang datang meski itu hanya dari lingkaran orang-orang yang saya kenal. Saya agak gemetar awalnya karena mungkin belum terbiasa. Namun, lambat laun saya semakin percaya diri untuk menyampaikan sedikit ilmu dari ilmu saya yang sedikit. Tanpa mengurangi rasa pesimis, saya terus melanjutkan materi. Mengingat juga seorang ulama pernah berkata “Sampaikanlah apa yang ada dalam dirimu, tidak kurang dan tidak lebih”. Oleh sebab itu, saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui tentang kepenulisan puisi, tidak kurang dan tidak lebih.
Waktu terus berjalan dan bincang-bincang terus berlanjut, malah semakin hangat. Saya tak berhenti kehilangan ide pada saat itu. Entahlah, mungkin ilmu kepenulisan puisi yang saya dapatkan di perantauan bergerak dan berjalan aktif di dalam pikiran saya. Di sana saya memaparkan bagaimana kreatifitas menulis puisi itu bisa ditumbuhkan, mulai dari pembahasan ide, penulisan, perenungan, dan revisi. Untuk saat itu bincang-bincang tentang kepenulisan puisi hanya di bagian itu saja dulu. Jikalau lebih melebar takutnya kebablasan.
Acara tidak berjalan dengan formal, karena memang panitia mengatur acara tersebut seperti bincang-bincang puisi dengan santai. Jadi kita berbincang sambil merokok, ada beberapa orang juga sambil minum (serub). Dengan acara seperti itulah saya merasa santai dan memang agak tidak terlalu memajang raut wajah yang serius.
Setelah acara selesai saya dan beberapa teman-teman mulai mengobrol masih tentang dunia kepenulisan puisi. Seperti bagaimana cara memecah kebuntuan ketika menulis, menentukan alat untuk menumbuhkan ide, atau inspirasi dan merangkai kata-kata yang tepat agar tidak loncat dari apa yang ingin disampaikan. Tidak sedikit juga kita menggeser pembahasannya sedikit ke arah yang agak sedikit melebar. Misalnya, membicarakan kemajuan sastra di daerah Singaraja.
Sebagai orang yang lama hidup bahkan dari lahir sudah mendarat di kota Singaraja ini. Semakin mengenal dan menyentuh dunia sastra saya semakin bertanya-tanya kenapa di Singaraja sangat sedikit ruang bagi para penyair ataupun penulis. Entah saya yang kurang mencari tahu tentang hal itu atau memang benar ruang yang ada hanya sedikit. Padahal kalau kita perhatikan banyak penulis-penulis entah tua ataupun muda yang hebat juga berkompeten lahir dari rahim Mahima. Mahima adalah salah satu komunitas seni dan sastra di Singaraja. Penulis-penulis yang lahir dari rahim Mahima antara lain Agus Wiratama, Jong Santiasa Putra, Manik Sukadana, dan Agus Noval Rivaldi.
Masalah itu sempat saya singgung dan bicarakan dengan teman-teman, ya walau kita terbilang belum seharusnya membahas itu, tapi bolehlah sedikit-sedikit guna mengikis keresahan. Sebagai seorang perantau yang mengenal sastra di perantauan. Saya terkadang sering kebingungan ketika pulang ke rumah harus berbuat apa, seperti yang ada di paragraf pertama. Seharusnya seluruh daerah Bali atau masyarakat secara luas tersentuh dengan hal-hal yang berbau sastra juga kesenian. Tidak hanya di kota Denpasar atau Gianyar saja yang banyak seniman dan penyair.
Namun di tulisan ini saya sama sekali tidak ada niat mengkritik hal tersebut karena saya juga masih terbilang anak baru di dunia kesusastraan ini. Namun, setelah perbincangan yang kebanyakan dihadiri anak-anak muda itu, pikiran saya seakan terseret ke dalam keadaan ini. Seperti saya merasa kita sebagai orang yang bisa dibilang peduli dengan dunia sastra memerlukan gebrakan yang baru ataupun cara baru guna menjadikan sastra sebagai destinasi yang baru bagi masyarakat luas.
Di acara itu juga, saya dan kawan-kawan seperti ingin membangun suasana serta atmosfer sastra dan seni di Singaraja. Keinginan yang cukup mengejutkan bagi saya dan kawan-kawan. Terlebih lagi, saya banyak menemukan masyarakat, terutama anak-anak muda di Singaraja yang begitu tertarik dengan dunia sastra. Tinggal kita saja sebagai pegiat seni dan sastra bisa menemukan cara untuk membangun serta menumbuhkan perhatian masyarakat luas ke dalam dunia sastra dan seni. Tujuannya, hal itu memiliki daya tarik lebih ketimbang hal-hal lain.
Di luar daripada itu, kembali lagi ke minat tiap-tiap orang. Toh, bagi saya juga tidak semua harus ambil bagian di dunia yang kaya akan makna ini, dalam artian sastra dan seni. Namun, setidaknya mereka dapat menyentuh dan mengenal hal tersebut. Bagi saya, sastra dan seni bisa menjadi ruang refreshing bagi para masyarakat, terutama masyarakat yang ada di Singaraja.
Editor: Agustinus Rangga Respati