Ada sejarah yang tidak ditulis oleh pemenang, tetapi terlipat rapi dalam sehelai kain yang nyaris koyak dimakan usia. Sejarah yang tercerai, bukan karena ia tidak penting, melainkan karena dunia telah sibuk menatap ke arah lain—ke arah mesin-mesin, ke arah uang, ke arah suara-suara yang lebih lantang dari derak alat tenun tua di teras rumah perempuan tua.
Lalu terdengarlah pertanyaan yang barangkali telah lama mengendap di benak banyak orang, “Bisakah kita menyejahterakan para penenun dengan menjadikan tenun sebagai komoditas utama mereka?”
Pertanyaan yang sederhana, tapi punya beban sejarah dan harga diri yang tidak ringan. Sebab, di balik pertanyaan itu, tersimpan kehendak untuk menyambung kembali urat nadi budaya yang hampir putus. Ya, budaya tenun Junti, Indramayu.
Karenanya, sarasehan itu dinamai Lumintu. Ia berarti keberlimpahan, keberlanjutan. Dua hal yang saling bertaut. Sebab, apa artinya kebudayaan jika ia tidak memberi hidup pada yang melakukannya?
We Love You(th), 25 April 2025, tempat dan waktu yang dijadikan sandaran harapan agar budaya tenun Junti tidak tinggal nama, agar suara “trék, trék, thung, thung” kembali terdengar di sore hari. Harapan itu menggantung pada pundak mereka yang tersisa; salah satunya Bu Sunarih, perempuan desa yang oleh negara tak pernah disebut pahlawan, tetapi menjaga budaya tenun lebih teguh dari banyak yang berpangkat.
“Sehari-hari saya petani,” ujar sang maestro tenun, lirih tapi mantap, “menenun hanya kalau sedang tidak musim panen.” Satu kalimat yang menyimpan seluruh kisah tentang bagaimana tenun tidak pernah menjadi mata pencaharian utama. Tetap saja, dari sampingan itu, kebudayaan masih berputar.
Bu Chandra Kirana, melalui Sekar Kawung, berusaha agar lingkaran itu tidak putus. Ia dan rekan-rekannya datang membawa semangat tabur dan tuai. Mereka tidak mengatur, tidak menyeragamkan, karena tahu bahwa yang seragam itu selera pasar, bukan kehidupan. Kehidupan, kata Bu Chandra, adalah keberagaman. Dalam keberagaman itulah, budaya tumbuh, cinta bekerja, dan perempuan seperti Bu Sunarih bertahan.
Cinta, dalam segala bentuknya, selalu punya tempat dalam kebudayaan. Karena itu, Bu Chandra menyerahkan panggung kepada Nurmaya, kawan seperjuangannya yang meneliti wastra dari dalam dinding akademi Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Linimasa Geliat Tenun Indramayu
Nurmaya (akrab disapa Maya) lahir dan besar di Indramayu, sebuah tanah pesisir yang garamnya asin dan sejarahnya tak pernah sungguh-sungguh dicatat. Rumahnya hanya dua kilometer dari para pembuat tenun, tapi seumur hidupnya ia hanya mengenal batik. Bukan hanya Maya; kebanyakan orang di sekitarnya pun tampaknya tumbuh dalam pengingkaran kolektif atas keberadaan tenun itu. Pernahkah ada? Serius ada tenun di Indramayu?
Ia hidup di tengah tanah yang diam-diam sedang melupakan dirinya sendiri. Ketika kesadaran itu datang, Maya merasa seperti seseorang yang baru ingin berkenalan dengan neneknya, tepat di hari pemakaman. Ada warisan yang belum sempat ia pahami, tapi nyaris lenyap sebelum sempat disapa. Dari kegelisahan itulah Maya mulai menelusuri, sejak 2017, jejak-jejak tenun Indramayu yang berserakan.
Seperti mencari bayangan dalam kabut, Maya menggali sejarah tenun Indramayu tanpa menemukan sumber primer yang dapat digenggam erat. Tak ada kisah tunggal yang utuh, tak ada buku yang memeluk masa lalu itu dengan lengkap.
Apa yang kini diketahui Maya bukanlah hasil dari satu naskah agung, melainkan mozaik yang ia himpun dari potongan buku-buku tua, dari suara para penenun aktif yang masih bertahan seperti bara dalam abu, dari cerita para mantan penenun yang tangannya pernah menari di atas balok kayu, dari keluarga mereka yang mewarisi sisa-sisa, dari warga yang pernah mendengar bunyi “trèk-trèk” di pagi hari, dan dari mereka yang kini duduk sebagai pemangku kebijakan—yang sebagian lebih mengenal pabrik daripada anyaman tradisi.
Jika ditarik ke belakang, jejak tenun Indramayu paling awal yang bisa ditemukan datang dari seorang penjelajah Portugis, Tom Pires, dalam rentang tahun 1512 hingga 1515. Ia mencatat bahwa Cimanuk—yang disebutnya Chi Manuk—merupakan salah satu bandar terbesar di masa Kerajaan Sunda. Di situ, lalu lintas komoditas berdenyut: tarum atau indigo, dan kain tenun kasar yang ditenun dari kapas pintal tangan. Dari pelabuhan kecil itulah benang-benang sejarah pernah ditenun, meski kini nyaris terurai tanpa simpul yang pasti.

Supali Kasim, lelaki kelahiran Juntinyuat, tak sekadar pengamat budaya Indramayu. Ia saksi hidup. Ia menyambut hangat hasil kerja Maya, barangkali karena di dalamnya ia menemukan kembali serpihan hidup yang dahulu pernah menjadi keseharian orang-orang di tanah kelahirannya. Ia bercerita, dan dari kisahnya mengalir pemahaman: bahwa kain tenun bukan sekadar kerajinan tangan, melainkan bagian dari perjuangan hidup rakyat.
Pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, kain tenun menjelma kebutuhan yang tak terelakkan. Belum banyak kain yang masuk pasar, belum ada pilihan sebagaimana hari ini. Maka kain tenun dijadikan tapih, sarung, kebaya, hingga séwét. Dalam kondisi negeri yang masih porak-poranda oleh revolusi dan darah, rakyat tak punya kemewahan memilih. Apa yang tersedia, itulah yang digunakan.
Karena kebutuhan yang begitu mendesak, pemerintah kolonial tak tinggal diam. Di beberapa desa ditanam kapas, karena dari kapas itulah lawé (benang untuk menenun) diperoleh. Kapas itu dipetik, dijemur, dipintal, diberi warna dari bahan-bahan alam, lalu ditenun menjadi lembaran kain, penuh kesabaran, dan barangkali juga doa.
Sejak kedatangan Raffles, benang lawé mudah diperoleh di pasar. Namun begitu Jepang mengangkangi Junti, benang lenyap dari pasar. Maka peredaran tenun di kalangan rakyat jelata pun ikut lesu. Orang-orang memang kembali ke tanah, ke kebun kapas, menggantungkan harap pada benih kecil yang suatu hari akan jadi benang, akan jadi pakaian. Namun, malang tak dapat ditolak. Rakyat, yang telah menanam harapan di ladang kapas dan menunggu hasilnya dengan sabar, justru harus menyaksikan semuanya dirampas oleh penjajah yang tanpa malu menamai diri mereka “saudara tua”. Akhirnya banyak keluarga terpaksa berpakaian dari apa pun yang ada, termasuk karung.
Tahun-tahun berlalu, situasi berubah. Ketika sistem tanam paksa telah tinggal nama dalam buku sejarah, para perempuan kembali duduk di depan alat tenun mereka. Kali ini benangnya datang dari luar daerah, dari pabrik-pabrik yang menghasilkan poliester. Namun, yang penting bukan bahannya, melainkan semangat yang menyala kembali.
Di desa-desa Kecamatan Junti, rumah-rumah dulu tak lengkap tanpa alat pintal dan alat tenun. Perempuan-perempuan duduk di serambi, menenun dengan ritme yang teratur, kadang seperti lagu sunyi yang mengisi celah hari: “trék, trék, trék … thung, thung, thung!” Itu suara masa lalu. Suara kerja. Suara hidup.
Namun sebagaimana nama “Junti” yang berasal dari pohon yang kini sudah punah, suara tenun itu pun perlahan menjadi kenangan. Pak Supali masih ingat—tahun 70-an, masa kecilnya, suara tenun bersahut-sahutan seperti obrolan ibu-ibu di sore hari. Kini, tinggal dua nama yang masih setia menenun: Bu Sunarih dan Bu Kaweng. Mereka berdua, lebih dari enam puluh tahun usianya, tetap duduk di hadapan alat yang sama, menjaga warisan yang kian tergerus oleh waktu dan perubahan.
Menenun Ulang Kehidupan
Agni Malagina, seorang sinolog dan antropolog, mencoba mengurai simpul masalahnya. Ia melihat dengan jelas: generasi muda kini lebih memilih pabrik. Di sana, upah pasti. Tidak menunggu panen. Tidak bergantung pada pasar. Pabrik menjanjikan kestabilan, walau seringkali menyita hidup.
Akibat dari keputusan itu, generasi tua, harus menanggung beban baru, yakni menjaga cucu-cucu yang ditinggal orang tuanya bekerja. Maka alat tenun pun makin jarang disentuh. Waktu habis untuk mengasuh, bukan merenda benang.
Maya, dalam penggalian datanya, menemukan kisah dari seorang penenun yang telah tiada. Perempuan tua itu mengatakan bahwa dahulu, seorang perempuan harus bisa menenun. Bukan hanya karena adat, tapi karena sandangnya bergantung pada kemampuannya itu. Dulu, cukup jarik sehelai untuk menutup diri dan menjaga martabat. Namun kini, jarik tak lagi cukup. Sandang telah menjadi simbol status, cermin selera, bahkan gengsi.
Perempuan-perempuan Indramayu yang dahulu teguh duduk di depan alat tenun, satu per satu merantau. Ke kota, ke pabrik, ke luar negeri—mencari nasib baru, membawa tubuh dan tenaga sebagai modal.

Semua ini adalah mata rantai. Satu per satu saling berkait, membentuk lingkaran besar yang pelan-pelan mendorong aktivitas menenun menuju pinggir sejarah. Dari kegiatan utama menjadi sekadar ingatan. Dari ingatan menjadi bisik samar dan dari bisik menjadi nyaris punah.
Namun di tengah suramnya cerita yang nyaris berujung pada kepunahan, Bu Sunarih membawa kabar yang menyegarkan, seperti embun di pagi hari yang lama tak datang. Ada gairah baru yang didanai Pertamina, katanya. Anak-anak muda dari luar Indramayu mulai melirik kembali pekerjaan tua itu.
Pun begitu, anak-anak muda itu tak lagi menenun dengan alat gedogan, seperti yang diakrabi Bu Sunarih sejak usianya belum genap belasan. Mereka memakai alat dari Yogyakarta. Mesin tenun modern yang lebih ringan tangan, lebih cepat kerja, tak memerlukan waktu panjang untuk belajar.
Bu Sunarih menatap perbedaan itu dengan kepala tegak. Ia tak memaksakan masa lalu harus tetap seperti dulu. Baginya, menenun bukan perkara alat, bukan perkara teknik semata. Ia adalah kebudayaan—sebuah kehidupan yang memberi hidup. Ia menyambung garis dari tanah, udara, dan manusia. Sebuah warisan yang bisa menghidupi, bukan sekadar dikenang.
Dalam tiap helai benang yang disilang, dalam tiap motif yang tumbuh di atas kain, Bu Sunarih melihat alam—melihat pohon, bunga, binatang, air hujan dan angin musim. Penenun tak sekadar bekerja, tapi menerjemahkan biodiversitas ke dalam bahasa kain. Dari situ, dari hubungan halus antara manusia dan alam, lahirlah motif-motif yang menyimpan nama dan makna.
Dari Masa Lalu yang Hilang ke Masa Depan yang Dicari
Lebih jauh lagi, menurut hemat Pak Supali, tenun di tanah Junti tidak hanya bicara soal sandang, soal menutup tubuh atau menyesuaikan diri dengan adat berpakaian. Ia bicara lebih dari itu. Ia bicara tentang kehidupan sehari-hari yang profan sampai yang gaib dan suci. Ada kain-kain yang hanya ditakdirkan untuk dipakai harian, untuk pergi ke pasar, menghadiri hajatan, atau membelit pinggang sebagai stagen. Di dalamnya teranyam motif-motif dengan nama-nama yang kini terdengar seperti puing-puing masa lalu: poléng kembang sahang, mata baru, kembang bayem, radén patih, kucing gering, udan mas prambutan, kembang pacar, kembang blimbing, dan kembang sabrang.
Tak semua kain itu melayani keperluan duniawi. Di antara motif-motif tersebut, terselip satu-dua yang dipercaya membawa kekuatan melampaui batas dunia kasatmata. Poléng mentisa, misalnya. Tak sembarang orang boleh memakainya. Konon ia adalah jembatan antara dunia bawah dan dunia atas, antara mikrokosmos manusia dan makrokosmos alam semesta. Ada kekuatan yang tak terlihat mengalir dalam corak dan simpul-simpul benangnya.
Di Junti, kepercayaan pada kain bukan sekadar takhayul. Ia hadir dalam peristiwa-peristiwa kehidupan yang tragis, bahkan mistis. Kain motif kluwungan dan sawud digunakan saat harus mengemban jenazah anak kecil yang meninggal secara berurutan dalam satu hari—pagi kakaknya, sore harinya sang adik, atau sebaliknya. Kematian semacam itu, bagi masyarakat, bukan sekadar nasib, tapi pertanda. Kain, tenunan tangan yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi perantara tolak bala. Ia adalah tameng terakhir, warisan yang mencoba berdialog dengan kuasa yang tak tertangkap logika.
Namun waktu berjalan tanpa kompromi. Dari semua jenis kain dan motif yang dulu hidup di tangan-tangan ibu penenun, kini banyak yang hanya tinggal nama. Poléng kembang sahang, radén patih, kucing gering, udan mas prambutan—itu semua telah tenggelam dalam ingatan samar. Sebagian lainnya bahkan lebih getir: hanya tersisa namanya saja, tanpa satu pun yang masih bisa mengingat rupa dan bentuknya. Poléng mentisa, kembang bayem, kembang pacar, kembang blimbing, kembang sabrang—ibarat nisan tak bernama di pekuburan budaya.
Memang, tenun Junti kini telah didaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Akan tetapi menurut Agni, pengakuan negara, sebagaimana biasa, acapkali tak lebih dari segel simbolik. Ia tercatat, tapi tak dijaga. Ia diakui, tapi dilupakan.
Tak seperti cagar budaya yang berwujud bangunan atau situs yang bisa dilihat dan disentuh, Warisan Budaya Tak Benda terlalu sering dikorbankan oleh ketergesaan zaman. Ia hidup hanya sebatas naskah di kantor kementerian, bukan dalam keseharian rakyat yang mewarisinya. Meski dalam peraturan tertulis bahwa WBTB boleh berubah bentuk asalkan melalui musyawarah dan persetujuan, kenyataannya, siapa yang diajak bicara? Siapa yang sungguh-sungguh peduli?

Seorang peserta bertanya, “Kalau begitu, apakah alih teknologi bisa jadi jalan pelestarian tenun Junti?”
Agni menjawab dengan hati-hati. Alih teknologi, katanya, ibarat sebilah pisau bermata dua. Ia bisa memudahkan ingatan, membantu generasi muda mengenali kembali budaya yang hampir punah. Namun di saat yang sama, ia juga bisa memotong urat nadi dari kebudayaan itu sendiri. Yang tersisa hanyalah rupa, bukan jiwa.
Tenun gedogan, yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan keintiman antara manusia dan alat, bukan sekadar kain yang jadi. Ia adalah cara hidup. Jika pun suatu hari budaya itu benar-benar lenyap dari tangan rakyat Junti, paling tidak, kata Agni, catatannya telah disimpan.
Mendengar kata-kata Agni, agaknya seluruh hadirin sarasehan melepaskan napas panjang, seakan beban yang menggantung di dada mereka akhirnya diberi tempat untuk berbaring, meski hanya sejenak. Karena sejarah, sebagaimana mereka tahu, selalu mencatat bukan hanya yang hidup, tapi juga yang dibunuh secara perlahan oleh kelambanan dan kelupaan.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Kanya Kiarra
