Dari Sukatani, Mahasiswa Seharusnya Belajar untuk Membunuh Narsisme dalam Gerakan

Narsisme untuk memakai almamater kampus hanyalah warisan aktivis ’98 yang telah basi. Narasi historis bahwa mahasiswa pernah berhasil menggulingkan rezim 32 tahun, sekarang tak lebih dari sekadar dongeng sebelum tidur. 

Sukatani telah memenuhi setiap sudut di dunia maya. Suaranya justru semakin nyaring saat negara tak menghendakinya hadir. Dengan lantang, mereka seakan mengatakan bahwa ‘identitas tidak perlu’, dan itulah yang seharusnya didengar mahasiswa. Meski tanpa identitas, karya Sukatani tetap memiliki nyawanya sendiri. Begitu pula dengan suara-suara pemberontakan. 

Hari ini kita sedang berada pada suatu masa di mana gerakan sangat terfragmentasi secara kasat mata. Mulai dari kotak-kotak logo kampus hingga warna-warni bendera organisasi mahasiswa. Membangga-banggakan istilah agent of change, agent of control, dan lalala lainnya yang tak lebih dari sekadar kata. Semuanya menjelma menjadi fetisisme identitas yang kemudian menciptakan hierarki dan sekat-sekat. Kondisi inilah yang, sedikit-banyak, membuat gerakan di Indonesia cenderung terjebak dalam aktivisme performatif. 

Akan tetapi, di beberapa waktu lalu, kita melihat aksi #IndonesiaGelap yang menerbitkan secercah terangnya aksi demonstrasi tanpa terjebak dalam aktivisme performatif. Di beberapa kota, mahasiswa sepakat untuk mencopot almamater mereka. Malang berhasil memobilisasi massa tanpa jas kampus pada Selasa (18/02), setelahnya diikuti oleh Jakarta yang juga mampu mengornasisir 2.500 mahasiswa tanpa identitas almamater. Kemudian ada Surabaya, Jogja, dan beberapa kota lain yang turut melakukannya. Ini adalah awal yang amat berharga untuk aksi demontrasi yang tak lagi berpusat pada identitas individu atau kelompok. 

Seruan untuk mencopot almamater ramai sejak munculnya unggahan akun instagram @pustakacatut pasca demonstrasi #peringatandarurat. Sebenarnya, jauh sebelum aksi #peringatandarutat, gerakan mencopot almamater kampus sudah digencarkan oleh Gejayan Memanggil. Merekalah promotor gerakan ini. Ada alasan historis yang melandasi kultur demonstrasi di Jogja menjadi sebegitu organiknya. Salah duanya adalah Reformasi ‘98 dan terbentuknya Aliansi Rakyat Bersatu pada 2019 lalu. 

Gerakan mencopot almamater ini, pada dasarnya bisa terus dilakukan dalam rangka melenyapkan identitas pembawa pesan. Melucuti narsisme mahasiswa dan stagnasi gerakan yang muncul karenanya. Narasi-narasi mahasiswa sebagai aktor utama gerakan harus didekonstruksi secara radikal. Bahkan bila perlu, mari bersama-sama memakai balaclava untuk mematikan identitas individu seperti yang dilakukan Sukatani. 

Antara Inklusivitas dan Fetisisme yang Tersisa

Di Malang, kawan-kawan mahasiswa berhasil mencopot egonya beserta almamater mereka. Dengan berpakaian hitam-hitam, mereka juga menolak mengumandangkan jargon “Hidup Mahasiswa!”. Mereka mencoba untuk melebur dengan masyarakat dan melakukan semacam propaganda kepada kawan-kawan pelajar agar turut bergabung, meski jam sekolah masih berlangsung.

Mencopot almamater dan tidak membumbungkan “Hidup Mahasiswa!” sebenarnya bisa menjadi suatu strategi andalan. Misalnya ketika demonstrasi di DPRD Kota Malang. Para dewan mencoba sok asik dengan mengucapkan jargon “Hidup Mahasiswa!”. Alhasil, massa aksi menolak sahutan itu karena telah menentang melantangkannya sedari awal. Tak hanya menolak, massa aksi juga mengamuk karena para dewan menganggap mereka hanya terdiri dari elemen mahasiswa saja. Padahal masyarakat sipil juga turut hadir. Jadilah para demonstran semakin kokoh untuk menghiraukan ajakan dialog dengan pejabat-pejabat. 

Gerakan mencopot almamater juga hadir ketika aksi demonstrasi peringatan 2 tahun Tragedi Kanjuruhan, 2024 lalu. Semua massa aksi seragam memakai pakaian dominan hitam. Selain aksi tersebut, tentu saja jas kampus dan atribut organisasi mahasiswa masih muncul kala demonstrasi terjadi di Malang. 

Sepertinya, fetisisme identitas masih mengalir dalam darah pergerakan mereka. Kendatipun mereka mengklaim bahwa aksi #IndonesiaGelap waktu itu sangat mengedepankan inklusivitas, akan tetapi, hal-hal bernada internal organisasi/kampus dan narsisme masih sangat kental terasa. 

Selain narsisme, ajakan kepada kawan-kawan pelajar masih terkesan menggurui alih-alih melakukan agitasi dan propaganda (agipro) yang optimal. Kata-kata seperti “Kakak-kakakmu di sini sedang memperjuangkan kalian,” dan “Gimana makan siang gratisnya, Dek?” terdengar menonjolkan senioritas yang tak perlu. Hal itu hanya mengulang pola-pola paternalisme yang sudah usang.

Jargon “Hidup Mahasiswa!” memang tak lagi diterbangkan ketika itu. Akan tetapi, mereka mengganti kata ‘Mahasiswa’ dengan frasa ‘Masyarakat Indonesia’. Agak aneh terdengar, ketika mereka secara serampangan memakai frasa itu untuk mengubah Sumpah Mahasiswa menjadi Sumpah Masyarakat Indonesia. Secara implisit, mereka tampak mengajak masyarakat untuk turut serta dalam aksi. Namun, sebuah paradoks akan muncul ketika unsur rakyat-pekerja sama sekali tidak hadir di sana. Akhirnya, jargon “Hidup Masyarakat Indonesia!” hanya akan menimbulkan problem representatif. 

Dengan bangga, mereka membawa bendera warna-warni, gordon, serta masih melantangkan jargon andalan masing-masing. Dalam orasi pula, seruan-seruan untuk menghindari provokasi juga masih berdengung. Meskipun klaim provokasi yang mereka takutkan adalah provokasi dari intel, teman saya yang aktivis ‘tulen’ berkata bahwa intel sangat mudah dikenali dengan ciri-ciri tertentu. Jadi, tolok ukur intel atau bukan, tidak sesimpel mereka yang berpakaian hitam atau massa aksi yang tak beralmamater.

Ketakutan-ketakutan para mahasiswa jika tak memakai almamater ialah disusupi intel atau ‘provokator’, tetapi ketakutan itu terbukti salah. Demonstrasi berjalan lancar apa adanya. Jelas sudah, tak perlu lagi menggaungkan bahwa mereka yang tidak beridentitas sebagai ‘provokator’ atau dicurigai dalam barisan aksi. 

Andai kata terjadi sebuah penculikan massa aksi seperti yang terjadi di Makassar, lagi-lagi bukanlah pakaian yang harus disalahkan. Akan tetapi, bagaimana massa aksi saling melindungi dan menerapkan disiplin sekuritas yang tinggi ketika berdemonstrasi. Salah satunya adalah selalu berkelompok. 

Penampilan Sukatani di atas panggung (dok. Nois Are Sip!)

Sukatani dan Harapan Baru Gerakan 

Jangan bicara tentang solidaritas
Jika hanya untuk terlihat keras
Menjadi tren, menciptakan kelas
Kelas para pejuang
Dipajang di panggung dan kertas

“Satu komando! Satu komando!,” begitulah kiranya yang sering terdengar dari mobil komando. Entah solidaritas, entah otoritarianisme yang sebenarnya mereka kumandangkan itu. Yang pasti, Sukatani tak suka betul dengan aktivisme performatif jika menilik dari lagu di atas.

Potongan lirik dalam lagu Sukatani berjudul “Jangan Bicara tentang Solidaritas” di atas harusnya menjadi tamparan keras bagi para ‘mahasiswa aktivis’. Mereka yang suka berorasi demi foto profil Instagram atau PDKT ke para dewan saat aksi. 

Okelah, FOMO ikut aksi boleh dibilang bagus. Namun untuk para korlap dan aktivis ‘genuine’ yang hadir ketika demonstrasi hanya untuk memejeng namanya layaknya politisi (kecil), sudah bukan masanya untuk itu. 

Mari kita lihat Sukatani yang sama sekali tidak membawa identitas pribadinya dalam bersuara. Atau jika ingin dibandingkan dengan gerakan di belahan dunia lain, ada Revolusi Hong Kong, Occupy Wall Street, dan banyak lagi yang demonstrannya tak peduli tentang narsisme. Tuntutan adalah satu-satunya yang tersisa ketika aksi dilangsungkan. 

Bolehlah kita mulai dengan atribut. Lantangkan terus gerakan mencopot almamater. Hingga kelak, mata kita tak lagi melihat warna-warni bendera organisasi atau gordon yang menggantung di leher demonstran. Hingga kelak, semua massa aksi sadar sekuritas dan memakai balaclava/topeng seperti yang dipakai Sukatani. Atau pakai saja helm, kacamata, serta masker seperti demonstran Revolusi Hong Kong. 

Jika sudah demikian, akan mudah menghilangkan hierarki dalam gerakan. Narsisme warisan aktivis Reformasi akan perlahan terkikis. Koordinator lapangan tak akan lagi ada. Urgensinya hanya pada pembagian peran menurut tugas yang dibutuhkan saja, bukan jabatan dan kepemimpinan. Jadikan massa aksi cair dan organik. Tanpa hierarki namun tetap terkoordinasi. 

Dari Sukatani pula, kita belajar bahwa seharusnya “Semakin Tua Semakin Punk”. Perlu untuk menyadari bahwa ada narasi eksklusivitas dalam ‘aku muda, aku melawan’. Merusak narasi ini, akan membuat lebih banyak elemen masyarakat yang turut serta dalam gerakan. Membuat umur perjuangan lebih panjang sebab tak ada lagi batasan usia. 

Sukatani, secara tidak langsung, juga kerap mengorganisir hingga ranah akar rumput. Mengadakan gigs yang menyentuh lapisan masyarakat dan bernyanyi serta berdansa bersama. Apa yang dilakukan Sukatani, sudah sepatutnya terjadi juga dalam gerakan. 

Dari tahap agipro, konsolidasi, aksi, hingga evaluasi (bila ada), penting untuk menyertakan elemen selain mahasiswa sebagai aktor gerakan. Munculkan ide-ide baru di mana strategi agipro kemudian dapat merengkuh lebih banyak unsur masyarakat. Akan ada masanya di mana tak hanya kaum muda yang mendominasi di dalam konsolidasi aksi. Diskusi dari banyak latar belakang akan terjadi. Kemudian dialektika tak hanya akan melahirkan sintesis-sintesis gerakan, namun juga memperpanjang napas perjuangan. 

Sembari menunggu masa itu datang, ciptakan imajinasi-imajinasi baru di mana kita bisa hidup tanpa sedikitpun merasakan penindasan negara. Lakukan terus berulang-ulang hingga salah satu dari ide kita kelak menjadi motor perubahan pola gerakan di Indonesia bahkan dunia. 

Sebagai syaratnya, narsisme yang membuat aktivisme performatif langgeng di gerakan Indonesia harus musnah. Sukatani telah membuktikannya. Tak perlu pencitraan apa-apa selain identitas kolektif. Namun pertanyaannya: apakah mahasiswa era kiwari mau ‘membunuh’ dirinya sendiri dan melahirkan manifesto gerakan yang benar-benar baru? 


Editor: Zhafran Naufal Hilmy
Foto sampul: Nois Are Sip!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Thalasemia.: Kumpulan Puisi Brigitta Globin Angela

Next Article

Revisi Hidup: Kumpulan Puisi Rifqi Septian Dewantara

Related Posts