Diskusi bertajuk Sarirasastra Mataraman menjalarkan api pengetahuan ratusan tahun lalu dari naskah-naskah berharga yang kami bahas bersama-sama. Api yang kemudian menghanguskan kepayahan saya membaca manuskrip berharga itu beserta konteks sosial-politik yang menyertainya. Juga tentang pesimisme terhadap gerak sejarah.
Acara yang diselenggarakan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) ini menghadirkan narasumber-narasumber yang kredibel untuk membicarakan naskah-naskah kuno, seperti Dr. Arsanti Wulandari, M.Hum., Rendra Agusta, M.Sos., dan Muhammad Bagus Febriyanto, M.Hum. serta dimoderatori oleh Arum Ngesti Palupi, M.A.. Bersama mereka, Rabu (12/4) sore di Ruang Seminar TBY jadi lebih panas dari biasanya.
Babad yang Bergerak
Perbincangan dimulai oleh Arsanti Wulandari yang membawakan topik manuskrip Ngayogyakarta dengan tajuk Kecendekiaan dalam Babad Ngayogyokarto. Saya baru kenal Yogyakarta setelah saya kuliah di sana, tetapi tidak masa lalunya. Peristiwa ini proses saya membaca Yogyakarta yang punya sejarah makna yang sangat panjang.
Beliau kemudian membukanya dengan kesepakatan makna atas Babad Ngayogyokarto. Bahwa hal ini merupakan judul umum, babad yang berbicara tentang Yogyakarta. Sehingga mempunyai banyak sekali paparan.
Kalau diingat-ingat, saya tidak mempunyai banyak kenangan dengan Babad Ngayogyokarto kecuali ketika saya mengunjungi museum Sonobudoyo karena sebuah keisengan. Di sana saya membaca beberapa saja, dan yang Ibu Arsanti sampaikan hari ini bukan salah satu pun yang saya baca, yaitu manuskrip dengan kode SP141A yang diproduksi pada masa Hamengkubuwono V dan SP169 yang diproduksi pada masa Hamengkubuwono VII.
Dari penjelasannya, saya membaca relasi yang unik antara carik (juru tulis) dengan Sultan. Ada kerja-kerja kolektif dalam beberapa penciptaan naskah-naskah kuno ini yang berkelindan antara keduanya. Pemrakarsa yang punya ide (Sultan, sesepuh, atau orang terdekat keduanya) disampaikan kepada carik. Perintah ini jadi kekuatan bagi carik, modal menulis, untuk kemudian dipersembahkan kembali tulisannya kepada kerajaan. Kurang-lebih begitu.
Di sela-sela penciptaan itu, uniknya, jarang sekali carik yang menyertakan namanya dalam manuskrip. Semacam “ditulis oleh carik A X Sultan” atau “karya carik B” itu tidak ada. Beda sekali dengan zaman sekarang, saya pikir. Di mana terkadang intelectual property jadi polemik besar yang banyak drama.
Kemudian diperlihatkan dua manuskrip dari dua masa berbeda tadi. Yang satu dari masa HB V, satunya lagi dari masa HB VII. Keduanya punya perbedaan yang signifikan terutama pada penggunaan kertas dan kop surat yang menandakan perkembangan industri percetakan dan peningkatan kondisi ekonomi kerajaan. Dari sanalah kita bisa melihat bagaimana produksi naskah kuno juga bisa menjadi penanda realitas sosial di zamannya.
Babad ini bagian dari jaring sejarah makna Yogyakarta yang bergerak. Bergerak, berarti mengalami produksi makna baru sepanjang lintasannya dan terus mengisi kehidupan masyarakat-bacanya. Baik itu secara isi maupun fisiknya.
“Produksi itu semua secara fisik kita bisa dapat informasi nggih. Tidak sekedar apa yang menjadi isi dari teks itu. Tetapi visual ataupun fisik naskah sudah memancarkan suatu sinyal tersendiri yang ternyata itu membantu kita dalam menempatkan teks itu di dalam khazanah sastra secara umum,” pungkas Arsanti Wulandari.
Nama-nama di Naskah Kuno
Keraton Kasunanan Surakarta dulu pernah terbakar. Tepatnya pada Januari 1985. Rendra Agusta menerangkan bahwa salah satu bangunan yang terbakar adalah Kapustakan Sono Pustoko, kediaman bagi naskah-naskah kuno Kasunanan Surakarta. Beberapa naskah kuno tidak terselamatkan. Kendatipun banyak riwayat yang musnah, masih ada banyak lumbung naskah kuno untuk Kasunanan Surakarta, seperti di Masjid Agung Keraton Surakarta atau Museum Radya Pustaka. Untuk Mangkunegaran, kita bisa membacanya di Perpustakaan Rekso Pustoko.
Kondisi ini yang menjadi titik berangkat pembahasan tentang kesusastraan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, di mana pertanyaan yang ditekankan adalah siapa yang menulis naskah-naskah kuno di kedua tempat ini? Jawabannya, banyak sekali.
Sama dengan Babad Ngayogyokarto yang dijelaskan Arsanti Wulandari, karya-karya sastra yang diproduksi Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran lahir dari kerja-kerja kolektif. Banyak yang menulis. Raja menulis, juga adipati, bupati, patih, carik (khusus Kasunanan Surakarta), prajurit (khusus Mangkunegaran, hanya di Mangkunegoro I dan II), hingga juru pustoko. Pembedanya ada pada nama yang diterangkan, seperti rojopustoko atau nitipustoko berarti ia penulis kepatihan; sastronegoro, sastronitrat, berarti kasunanan. Kalau dari Mangkunegaran biasanya ada istilah yang “manis-manis”, seperti madu, colo, dan sebagainya.
Mungkinkah kecenderungan ini punya relasi yang kuat dengan bagaimana rakyat memandang Raja dan sebaliknya? Saya tidak begitu paham. Penjelasan Rendra membawa saya pada imaji-imaji tentang bagaimana masyarakat Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran bekerja pada masa lampau; bagaimana naskah-naskah itu menyatu di dalam kenyataan masyarakat saat itu.
Pakualaman IV, Kambing Hitam Sejarah
Perbincangan terakhir ini dibawakan oleh Muhammad Bagus Febriyanto dengan membahas kesusastraan Pakualaman, paling muda di antara yang lain. Bagus memfokuskan bahasannya pada era Paku Alam IV yang dalam sejarah seolah wajar dikambinghitamkan. Paku Alam IV dianggap biang kemerosotan ekonomi Pakualaman dan era kepemimpinannya dianggap era kegelapan. Apa yang terjadi?
Yang biasa diterangkan dalam sejarah adalah Paku Alam IV sering bergaul dengan orang-orang Belanda, berfoya-foya, dan mengadakan pertunjukan-pertunjukan. Dari sana ia dianggap sebagai penyebab kolapsnya ekonomi Pakualaman. Namun, terang Bagus, dalam sejarah tidak dijelaskan apa peninggalan intelektual yang berasal dari era Paku Alam IV. Pada perbincangan menjelang magrib itulah, Bagus menerangkan bagaimana Paku Alam IV punya jasa yang besar dalam kesusastraan Pakualaman.
Pakualaman punya riwayat kesusastraan yang sangat baik. Paku Alam I merupakan pelopor dan peletak dasar tradisi kesusastraan Pakualaman, yaitu piwulang. Kemudian anaknya, Paku Alam II membidani masa kegemilangan kesusastraan Pakualaman. Era itu menghasilkan banyak karya sastra yang berkualitas secara isi dan gambar, sebab kestabilan politik pasca-Diponegoro 1830. Fakta menarik lagi adalah gambar-gambar yang bagus dalam naskah-naskah kuno Pakualaman diperhitungkan Paku Alam II agar anak-anak senang membacanya.
Paku Alam III melanjutkan tradisi bapak dan eyangnya dan mencapai polemik pada permulaan penurunan takhta kepada Paku Alam IV. Paku Alam IV bukan anak Paku Alam III, melainkan keponakannya atau anak dari GRMN Nataningprang yang merupakan saudara kandung dari Paku Alam III dan Paku Alam V. ‘Masalah’ terus ditemukan semasa Paku Alam IV berkuasa seperti yang tadi telah disebutkan. Namun, sejarah selalu luput menuliskan perannya terhadap Pakualaman, yaitu dokumentasi pertunjukan.
Menurut Bagus, tidak ada tulisan lain sepanjang sejarah Pakualaman yang mendokumentasikan pertunjukan khas Pakualaman sebaik Paku Alam IV. Atau malah hanya beliau satu-satunya? Yang dicatat sejarah hanyalah Paku Alam IV yang biang kerok dan tiada lain. Peninggalan intelektual inilah yang tidak dibaca sebagai aset kerajaan. Aset hanya dihitung sejauh ia menghasilkan uang dan bukan kemanfaatan kultural (cultural return on investment atau CROI) dan sosial (social return on investment atau SROI). Tidak jauh beda dengan persepsi pengelolaan kebudayaan hari ini, rupanya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Taman Budaya Yogyakarta