Hantu-hantu Neoliberal di Tanah Madura | Ulasan Buku ‘Politik Agraria Madura’ karya Dardiri Zubairi

Membaca buku “Politik Agraria Madura” seperti membaca daftar panjang kepedihan masyarakat terdampak petaka yang merupakan hasil bahu membahu pemerintah dan pemodal.

Kini, Madura bergerak begitu cepat. Mulai 2015, ratusan hektar tanah dan lahannya telah berganti hak milik dari masyarakat ke tangan rakus kapital. Mereka mengalihfungsikan pertanian pada industri-industri eksploitatif, khususnya di bagian pesisir dari ujung timur sampai ke barat telah dibangun tambak-tambak besar industri udang yang tentunya meresahkan secara sosial dan dalam jangka panjang akan merampas ruang hidup. Madura, darurat agraria!

A. Dardiri Zubairi, seorang kiai pesantren dari sudut timur Madura, menaruh perhatian besar dan aktif dalam berbagai kegiatan agraria. Baru-baru ini, ia menerbitkan sebuah buku ringkas, Politik Agraria Madura: Privatisasi, Marginalisasi, dan Perampasan Ruang Hidup (2023). Buku itu merupakan antologi esai-esai kritis pilihan kurun waktu satu dekade (2011-2022) yang temanya adalah soal ekspansi hantu-hantu neoliberal ke tanah Madura.

Dardiri bertutur, sejak dibukanya jembatan Suramadu pada 2009, gurita tuan-tuan kapitalis jadi mudah merengkuh sumber daya alam Madura yang begitu kaya. Tidak hanya itu, akses-akses cepat lainnya pun dibangun: jalan raya diperlebar, pelabuhan lama diperbaiki sekaligus menambah pelabuhan baru, dan  diresmikannya bandara Trunojoyo. Memang tampaknya mereka diundang untuk merusak sisi lain.

Dalam salah satu esainya berjudul “Tanah Malang di Desa Andulang”, Dardiri memotret bagaimana tambak udang CV. Madura Marina Lestaridi desa itu merupakan sebuah masalah yang pelik bagi masyarakat, khususnya bagi dua perempuan berikut: Ammah dan Azizah. Tanah mereka yang luasnya kira-kira 1400-an hektar berada di tengah-tengah tambak itu. Mereka bersikukuh enggan menjual tanah mereka. 

Alhasil, tanah itu terbengkalai. Ia tidak ditanami lagi. Sebab, pagar kokoh yang melingkupi tambak menyulitkan akses mereka ke tanahnya. Hanya ada satu akses, yaitu pintu utama yang dijaga sekuriti, tapi akses itu tidak dipergunakan. Ada ketidaknyamanan bersifat psikis jika mau lewat di situ.

“Aneh memang. Mau ke sawah sendiri justru dihinggapi perasaan khawatir. Satu bukti bahwa kehadiran investor malah membuat warga desa terasing dengan lingkungannya sendiri.”

(hlm. 38)

Kendatipun dua perempuan malang itu berhasil mempertahankan tanahnya, ada kekhawatiran tanah-tanah itu akan tercemar oleh limbah tambak yang mengitarinya. Perlahan-perlahan ia akan mati; “ …menjadi monumen,” kata Dardiri (hlm. 39).

Nasib mereka sedang terampas dan termarginalkan. Ada banyak nasib serupa yang menimpa masyarakat, yang mungkin sebanyak industri eksploitatif yang sedang merebak dan mekar kini. Namun, miris jarang diketahui.

Dalam esai yang lain berjudul “Cerita Pilu Petani Garam”, ia meliput bagaimana tertatihnya masyarakat Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep. Mereka, dari hampir tujuh puluh persen penduduk, jadi kuli di tanah sendiri pada PT. Garam yang menguasai sebagian besar lahan tani garam dan beberapa oleh investor lokal yang mengitari desa itu. Mata pencaharian mereka amat tergantung pada PT. Garam.

“Mon ta’ alako ka PT Garam, ta’ bisa ngakan.”
(kalau tidak bekerja ke PT Garam, tak bisa makan)

(hlm. 83)

Namun sayang, ketergantungan itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan. Mereka cuma memperoleh upah dua puluh enam ribu perhari. Itu pun musiman. Di musim penghujan di mana garam tidak bisa diproduksi, para kuli itu akan mendapat pinjaman lahan dari perusahaan untuk budidaya ikan bandeng, yang tak melulu menguntungkan.

Adapun pemuda-pemudanya, tentu enggan meneruskan pekerjaan orang tua mereka yang begitu keras dan tidak menjanjikan itu. Mereka lebih memilih meniti karir di hal-hal lain. Siapa sudi bekerja kasar dan berat di bawah matahari sengit dengan upah yang hanya dua puluh enam ribu perhari? Lebih baik, misalnya jadi kuli bangunan yang sama kerasnya, namun perbandingan upahnya jauh timpang, sekitar seratus ribu perhari.

Sementara bagi janda (ditinggal mati atau dicerai suminya), yang tidak mungkin bekerja di PT Garam sebab hanya menerima kuli laki-laki, menyandarkan penghidupannya pada pencarian semacam siput laut di pesisir. Itu perkerjaan berat. Untuk ¼ kg saja butuh setengah hari yang setidaknya dikerjakan secara komunal, 4-5 orang. Mirisnya lagi, lahan pesisir di desa itu tersisa tiga hektar. Pada tahun 90-an, tambak garam merambah ke pesisir, dan konon secuil tanah itu akhirnya akan dialihfungsikan pula.

Potret-potret ketidakbedayaan dan keterimpitan tadi, amat sulit untuk menjadi terang benderang bagi pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten. Mereka terlalu terlena akumulasi angka-angka profit dari para kapital. Maka tidak heran bila Pemkab Sumenep tahun 2019 hendak merevisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) No. 12 Tahun 2013. Revisi itu rencananya akan memperluas objek tambang fosfat dari 8 jadi 18 kecamatan.

Untuk menjegal kesewenang-wenangan mereka, untunglah, kiai-kiai segera bergerak. Sebuah gerakan diinisiasi dengan nama Forum Sumenep Hijau. Forum ini dihadiri lebih dari 40 kiai, dan beberapa amat berpengaruh di Sumenep secara luas. Mereka menyepakati bahwa penambangan apa pun mesti ditolak sebab mesti mendatangkan kerusakan dan malapetaka alam. Hasil kesepakatan itu mereka bawa ke DPRD dan Bupati, yang kata Dardiri “belum sepenuhnya berhasil” (hlm. 16).

Buku Politik Agraria Madura karya Dardiri Zubairi (dok. Faris Ahmad Toyyib)

Sebelum membaca Politik Agraria Madura ini, saya sudah pernah membaca sebuah artikel Dardiri, “Agama, Pemodal, dan Strategi Penguasaan Lahan Pesisir” dalam antologi bersama Rebutan Lahan di Pesisir Sumenep terbitan tahun 2021 oleh Cantrik. Tampak dari judul bahwa apa yang ditulisnya itu tak jauh berbeda dengan buku terbarunya ini, yaitu tentang hantu-hantu kapitalisme neoliberal dan bagaimana ia bergentayangan di Madura, khususnya Sumenep. 

Membaca buku Politik Agraria Madura seperti membaca daftar panjang kepedihan masyarakat terdampak petaka yang merupakan hasil bahu membahu pemerintah dan pemodal. Ditambah pula dengan gaya penulisan Dardiri yang renyah dan menyentuh, membuat kepedihan itu secepat mungkin menjalar ke saraf-saraf emosi. Usai membacanya, saya jadi sedikit sendu, apalagi saya sendiri merupakan bagian dari masyarakat pesisir Sumenep yang terdampak.

Tentu buku yang ditulis kiai dan aktivis agraria ini tidak mengajak agar pesimis belaka dan tidak berbuat apa-apa. Sebaliknya ia memberikan pemahaman agar waspada, dapat mengambil tindakan tepat, sehingga sanggup bertahan di tengah banalitas fase neoliberasi. Oleh karena itu, buku ini amat penting dibaca, dan lebih penting lagi dibaca para wakil rakyat kita yang sepertinya hampir tuli untuk mendengarkan jeritan ketertindasan rakyatnya.

Judul buku : Politik Agraria Madura: Privatisasi, Marginalisasi, dan Perampasan Ruang Hidup
Penulis : A. Dardiri Zubairi
Penerbit : Literatus
Cetakan : Pertama, Februari 2023
Tebal : xiv + 100 halaman, 13 x 19 cm
ISBN : 978-623-09-1707-3

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Faris Ahmad Toyyib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts