Moral Hazard pada Kehidupan Normal yang Baru

Pandemi corona mengajarkan kita hakikat manusia sebagai mahkluk sosial dan individual. Pada sisi individual kita banyak belajar bahwa jika nyawa tiap orang diancam oleh sesuatu secara naluriah dia akan menyelamatkan nyawanya sendiri tanpa sejenak memikirkan nyawa orang lain. Contohnya penimbunan masker demi mendapatkan keuntungan lebih untuk dirinya sendiri memanfaatkan ketakutan sosial atas pandemi. Bagaimana dengan sisi sosialnya?. Jawabannya tentu terlihat banyak bermunculan komunitas sosial kontemporer dan sporadis yang merespon keadaan pandemi ini. Kita ambil contoh munculnya gerakan-gerakan donasi, gerakan kampanye #dirumahsaja yang dilakukan secara bersama untuk menyadarkan akan eksistensi corona dalam kehidupan kita.

Cerita tentang corona sepertinya pada pertengahan tahun ini tetap akan berlanjut dan semakin banyak bumbu drama didalamnya. Istilah-istilah baru mulai dikeluarkan pemerintah dari PSBB lokalan sampai dengan istilah yang mengajarkan kita tentang  sebuah  gaya kehidupan paradoks yaitu gerakan melawan tapi pasrah dengan corona. Paradoks ini dinamakan normal yang baru (new normal). Masyarakatnya pun merayakan dengan gempita seperti tempat pembelanjaan yang dibuka, tempat rekreasi yang mulai ramai, berlomba-lomba beli sepeda baru sampai dengan mulai menerapkan gaya hidup lama pada hari minggu  yaitu car free day.

Peradaban terbentuk karena kuatnya norma yang hidup dimasyarakat dan telah membudaya dengan kuatnya. Normal yang baru sepertinya akan menjadi sebuah peradaban baru jika keberadaanya dikuatkan oleh norma dan perilaku manusia yang hidup didalamnya. Normal yang baru ini mulai lahir karena ketakutan Pemerintah atas ambrukya nafas ekonomi dan ketakutan warga negaranya atas terancamnya jiwa mereka. Keadaan ini bisa memunculkan sebuah potensi moral yang ada dalam diri manusia yang cenderung mengamankan dan menyamankan dirinya sendiri dalam tatanan normal yang baru. Moral yang akan tumbuh itu mari kita sebut dengan Moral Hazard.

Teori tentang moral hazard pada dasarnya lebih dikenal dalam wilayah bisnis dan asuransi namun pada kondisi normal yang baru ini perilaku moral hazard dapat muncul di tengah masyarakat. Moral hazard dapat diartikan sebagai perilaku seseorang saat risiko akibat tindakannya ditanggung oleh pihak lain, bukan dia sendiri sehingga dia memiliki kecenderungan melakukan kecerobohan atau ketidakpedulian terhadap kerugian yang timbul. Adanya pelonggaran PSBB dapat memicu perilaku masyarakat merasa keadaan kembali normal dan mulai merasa abai akan keberadaan ancaman corona karena ketika mereka mendapatkan akses kemanfaatan dari suatu aktifitas (misal adalah dibukanya Mall, transportasi umum mulai kembali diadakan). Pada saat mereka melakukan aktifitas tersebut dengan berbekal masker dan pelindung wajah/ sarung tangan membuat mereka merasa secara moralitas  tanggungjawab mereka sudah selesai sampai disana. 

Menurut Dunham L. Cobb (2004) solusi untuk mengendalikan moral hazard secara sederhana menjelaskan bahwa semakin tinggi rintangan/penghalang untuk melakukan moral hazard, maka semakin rendah frekuensi moral hazard. Pada konteks terjadinya pandemi ini Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyadarkan moral secara efektif sehingga perilaku moral hazard dapat ditekan dan tidak merugikan masyarakat luas. Pemerintah harus membuat sebuah kebijakan dengan pendekatan manajemen resiko yang tak terputus dari perencanaan, penanganan dan monitoring.

Perencanaan

Pada tahapan ini Pemerintah dapat membentuk suatu perkiraan kondisi dengan pendekatan resiko paling kecil sampai dengan resiko paling besar. Perencanaan tersebut dapat dijadikan sebuah norma tertulis (contoh: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020  tentang PSBB) yang pelaksanaanya diturunkan pada level pelaksanaan terbawah. Peraturan-peraturan ini juga harus mengikuti keadaan pandemi dikarenakan proses pandemi di suatu wilayah sangatlah dinamis dan hal ini bertolak belakang dengan kriteria sebuah norma hukum itu selalu tertinggal dari sebuah keadaan baru maka peraturan yang dibuat harus dapat menjawab kedinamisan tersebut. 

Normal yang baru sesungguhnya menciptakan norma yang baru dan menimbulkan moral yang baru. Peraturan pengendalian pandemi yang telah dibuat juga dalam perencanaanya sudah dijelaskan bagaimana dia menjadi sebuah norma yang akan terinfiltrasi kepada masyarakat dan menjadikan peraturan tersebut sebagai perdaban yang baru yang pelaksanaanya tidak hanya mengandalkan represif saja namun pengetahuan umum apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tak dilakukan menjadi bagian dari moral masyarakat pada era normal baru ini.

Penanganan 

Pada tahapan ini lebih kepada kebijakan yang dibuat harus memenuhi unsur menghindar, mengurangi, memindahkan, dan menerima. Pada manajemen resiko pilihan menghindar adalah pemerintah membuat suatu kebijakan normal yang baru dengan cara menghindari penyebaran corona. Pembatasan sosial yang ketat ketika ada pada suatu wilayah zona merah yang masyarakatnya memiliki kecenderungan melakukan moral hazard. 

Pilihan kedua adalah mengurangi penyebaran pandemi lebih kepada kegiatan sosial yang memicu moral hazard muncul. Caranya adalah dilakukan rekayasa sosial yang dapat membatasi ruang gerak individu untuk berinteraksi secara langsung. Contoh paling mudah pada tahapan ini adalah ketika sesorang masuk ke sebuah tempat belanja dia akan mendapatkan pelayanan protokol kesehatan (masuk bilik steril, pengecekan suhu badan, dll.) 

Pilihan ketiga adalah memindahkan resiko dari resiko paling besar ke arah resiko paling kecil. Pemindahan ini lebih menekankan metode kegiatan normal yang baru dengan mencari bentuk kegiatan yang baru sehingga resiko yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Contoh paling mudah untuk melihat pemindahan resiko ini adalah melakukan kegiatan dengan cara virtual online. Orang yang pada satu ruangan (sebuah kru pertunjukan) bisa saja muncul moral hazard diantara mereka namun tidak muncul pada penonton pertunjukan karena menggunakan bentuk kegiatan yang baru  tersebut.

Pilihan keempat adalah menerima resiko namun penerimaan resiko terkecil. Ini bisa terlihat pada keadaan rumah sakit yang dikhususkan untuk corona tidak bisa dicampur dengan penyakit umum lainnya. Inilah jenis rumah sakit dengan normal baru yang tumbuh dimasyarakat. Namun pada resiko ini tetap harus dilihat sebagai resiko terkecil dengan cara penyediaan sarana prasarana pencegahan penyebaran virus.

Monitoring

Pada tahapan ini adalah Pemerintah harus melakukan monitoring yang berkala, konsisten dan transparan. Pada normal yang baru ketersediaan data informasi tentang corona menjadi harta yang paling penting. Data ini yang membuat persepsi masyarakat akan suatu kondisi dapat dinilai resikonya. Data yang merah akan membuat masyarakat menahan diri dan sebaliknya data yang hijau membuat masyarakat melonggar. Data ini lah yang menjadi parameter langkah kebijakan pemerintah menjadi dinamis, keadaan kesadaran moral masyarakat tumbuh dan menekan moral hazard dan data ini pula yang membuat penanganan corona tidak hanya melulu tentang apa yang dilakukan pemerintah tetapi menciptakan peradaban baru bahwa corona adalah musuh bersama bukan hanya berlomba-lomba untuk menjadi manusia yang mementingkan dirinya sendiri.

*) Opini karya Punta Yoga Astoni, juara 1 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts