Ngobrol Bersama DeathGang: Grup Stoner Pelebur Batu Setan yang Mengidolakan Lana Del Rey

Sepanjang menyaksikan Deathgang di atas panggung, pemandangan penonton seperti lautan hitam jadi ciri khas yang memberikan sihir di panggung.

Pentas musik atau gigs rock yang berhasil rata-rata menyulut keinginan penonton untuk headbang dan moshing. Mungkin, moshing juga merupakan respons alamiah yang wajar terjadi dan khas dalam konser musik-musik ekstrem (misalnya dalam konser musik metal atau hardcore). Menonton gigs (pentas rock, punk, metal, atau hardcore) juga bisa merupakan satu-satunya yang mengizinkan para pelakunya saling sengol dan melakukan tarian-tarian kesurupan dan banyak orang menyebutnya sebagai olahraga.

DOOMATAN bukanlah satu-satunya gigs nyeleneh yang ada di Yogyakarta dengan iringan musik nuansa metal. Sepertinya, jenis musik semacam ini sedang menjadi tren dan digemari belakangan ini. Karakter sound doom/stoner/slugde metal rasanya memang cocok untuk dinikmati oleh orang-orang yang terbiasa megakses kondisi kesadaran yang berbeda. 

Musik ini kerap tampil dalam ruangan yang redup, biasanya hanya memakai lighting warna merah ataupun biru keunguan sebagai selimut suara. Kondisinya dibuat untuk memberikan kesan ruangan terasa personal dan intuitif.

Doom metal, dari semua turunan genre metal banyak menggali refrensi perjalanan spiritual dengan nuansa esoteric. Mungkin begitulah perjalanan gigs doom yang kerap tampil di panggung, artinya hanya orang-orang tertentu saja yang mengerti dan mengetahui kapan mereka akan menyihir saat tampil. Hal inilah yang kemudian membuatnya disebut sebagai music underground, sebab ia hanya dapat dinikmati oleh orang-orang dari kalangan tertentu saja, meskipun tidak ada batasan apapun yang memaksa orang untuk menikmati musik.

Track-track doom metal biasanya disetel dari dua ampli besar berjarak beberapa meter dari penonton. Komposisi musik metal yang lamban seolah menjadi bagian dari lingkungan dan kebiasan yang saya lakukan akhir-akhir ini. Contohnya seperti malas untuk menjajal berbagai jenis olahraga, jika adapun itu pasti tidak akan konsisten untuk dilakukan terus menerus.  

Deathgang Stoner; Pelebur Batu Setan

Terakhir kali saya ngobrol dengan Nekrobonbon, dia sedang menikmati sebatang rokok dan kami duduk di sekitar beringin soekarno sembari mengisi waktu luang dengan saling memanfaatkan segala hal yang dimiliki untuk berkumpul, membicarakan sesuatu yang baru maupun beberapa memori kenangan yang sudah pernah dilalui. Nekrobonbon dengan nama asli Bagas Kodrat dikenal di komunitas musik sebagai vokalis Deathgang, Group Notorious Quatrro Stoner/Doom (stoner pelebur batu setan) asal Yogyakarta. 

Deathgang terbentuk pada tahun 2017 di Yogyakarta, semua bermula saat Nekrobonbon (vokal) dengan ide dan akal-akalanya menggambarkan mosaik utama guna mengajak beberapa teman yang menurutnya nasty untuk berkumpul dan membuat suatu project band.  Gerardoom atau Ega (drum), Garda atau Gardaman (gitar), serta Doomantra yang sering dipanggil Gembus (bass/gitar) merupakan formasi awal yang mengisi band ini. Kemudian formasi baru Deathgang, ditambah oleh Steven Yoyada yang kerap manggung bersama Deathgang sebagai bassist. 

Nekrobonbon menjelaskan bahwa waktu luang menjadi alasan utama Deathgang ada dan berhasil sampai sekarang. Konsekuensi yang muncul dari situasi itu juga adalah mulainya untuk mengarap beberapa instrument, menulis lirik dengan simfoni berisi riff-riff stoner, sampai ke tahap rekaman. Berbagai hal juga diselimuti dengan berbagai curahan hati berisi harapan dan beberapa teman yang solid dan kurang lebih dipersatukan oleh musik dan sub-culture yang sama.

Malam itu (5/3/2023) dengan rasa cupu dan dengan modal berani untuk menemui semua personel beserta crew Deathgang di backstage selepas mereka mangung. Ruangan Bage X Kama saat itu sedang ramai dan berisik akan pertunjukan musik bertajuk “Membakar Sekat”.

Ada satu hal lagi: cuaca pada malam hari saat saya di tawari melihat acara gigs itu sangat mendukung. Lagi pula, pengalaman menonton gigs di Jogja akhir-akhir ini terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Sepanjang saya menyaksikan Deathgang diatas panggung, pemandangan penonton seperti lautan hitam dan sorot lampu berwarna merah ataupun biru keunguan menjadi ciri khas yang memberikan sihir di panggung mereka.

Segala proses yang sudah dilalui dan berbagai tindakan absurd maupun urusan tetek bengek teknis di dalamnya yang pernah di lakoni personel Deathgang dan pengemarnya. Menyaksikan mereka manggung dan kemudian mati listrik adalah momen yang tidak bisa saya lupakan. Waktu itu di samping panggung dekat dengan ampli, ada satu manekin tanpa kepala, tanpa tangan dan kaki. Menyerupai instalasi dengan konsep horror, manekin itu di liliti kabel dan ada dua dupa menyala di sana. Panggung yang intim dan mencekam sontak mendadak menjadi panas dan gerah, ditambah komat kamit lirik Fuzzana yang terus dinyanyikan tanpa alunan musik membuat beberapa menit suasana di sekitar seperti sedang melakukan upacara adat sesembahan untuk manekin tersebut.

Crowdsurfing di Panggung Deathgang, Bage X Kama (dok. Deathgang)

Setelah menyaksikan pertunjukan Deathgang dan menikmati setiap menit penuh dengan riff-riff down-tuned di panggung dan menunggu waktu yang tepat, akhirnya Sudut Kantin Project mendapatkan kesempatan untuk bisa ngobrol bareng bersama para personel DeathGang. Wawancara ini hanyalah sebagain kecil dari harapan yang tidak teramat besar dari penulis sejak memasuki tahun 2023, dan semoga band ini lekas untuk merilis satu album penuhnya nanti. Dalam obrolan yang tidak sampai sepuluh menit ini, semua personel mencoba menjawab dan membicarakan apa itu DeathGang. Ditambah ada juga beberapa momen obrolan dengan membuka hal-hal menarik seputar personal dari setiap personel yang mungkin jarang diketahui teman maupun oleh orang lain.

Nama Deathgang dipilih menjadi nama band ini semata-mata hanya karena nama tersebut mudah diingat, tidak ada arti khusus atau filosofi apapun yang mendasari pemilihan nama ini. Kemudian, ada penyebutan lain terhadap band ini, yaitu “Nasty Deathgang Motherfucker”. Penyebutan ini, dilakukan agar nama Deathgang terdengar lebih cathcy. Selain itu beberapa orang juga menyebut band ini sebagai “Deathgang for nasty people”, karena personel Deathgang itu nasty dan beberapa teman juga menganggapnya begitu. Lalu, masing-masing personel Deathgang juga memiliki nama panggungnya masing-masing, hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari gimmick mereka di atas panggung.

Ketika ditanya mengenai band atau musisi yang menginspirasi Deathgang, para personel band ini setuju jika mereka semua terinspirasi dari beberapa nama seperti; Lana Del Rey, Mastodon, dan Sigur Rós. Setiap personel juga memilki nama-nama lain yang dijadikan inspirasi sebagai bahan materi untuk kebutuhan instrumen DeathGang, namun tiga nama yang disebut di atas adalah sumber intinya.

Gerardoom, sang drummer misalnya, mengatakan “DJ Giatman sebenarnya memberi pengaruh buat DeathGang. Tapi Lana Del Rey itu tonjo tenan. Mastodon itu menurutku agak gimmick, sebenarnya yang sesungguhnya menginspirasi DeathGang buatku itu ya Eye Hate God, Sigur Rós, Ada juga The Cure, khususnya album Disintegration (1989), ini nyuwun sewu ya, itu album yang mengerikan.” Kemudian, menurut Nekrobonbon, sang vokalis, “Mastodon, sama Lana Del Rey itu the best.” Gardaman menambahkan bahwa “Lana Del Rey itu aesthetic juga unexpected.” Lalu bagi Doomantra, yang paling menginspirasi Deathgang adalah Black Sabbath, Lana Del Rey, Mastodon, Sigur Rós dan Deathgang itu sendiri.

Kemudian, tim dari Sudut Kantin bertanya kepada Steven Yoyada secara personal mengenai alasannya untuk memutuskan bergabung ke Deathgang. Gerardoom menyebut bahwa sebenarnya bukan karena keputusan Steven Yoyada semata, ia kemudian bergabung ke Deathgang, namun teman-teman dari Deathgang-lah yang mengajaknya untuk bergabung. Steven Yoyada sendiri, mengatakan bahwa ia merasa bahagia setelah bergabung dengan Deathgang. Nekrobonbon, kemudian mengatakan bahwa bergabungnya Steven Yoyada membuat Deathgang akhirnya memiliki dua gitaris dan hal tersebut membuat instrument Deathgang menjadi lebih variatif dan berkembang.


Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: dok. Deathgang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Menakar Produktivitas dan Efektivitas Merchandise: Bayangan Keberlanjutan | Music Merch Fest 2023

Next Article

[MMF Padang] Hari Raya Pemakai Kaos Band | Music Merch Fest 2023

Related Posts