Tulisan ini merupakan bagian dari pengarsipan festival cendera mata musik, Music Merch Fest. yang berlangsung di tahun 2023.
BANJARNEGARA – Tahun lalu, Kpop4Planet, komunitas environmentalis penggemar musik Pop Korea, mengumpulkan lebih dari delapan ribu paket album musik (boxset) yang terbuang. Aksi simbolis ini merupakan bentuk protes yang ditujukan kepada perusahaan hiburan, dalam hal ini label musik besar yang ada di Korea Selatan. Bagi mereka, perusahaan punya tanggung jawab dalam pengemasan produk boxset yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Penggemar musik Pop Korea atau Kpopers punya kecenderungan membeli boxset hanya untuk mendapatkan photo card saja. Sehingga mereka membeli banyak boxset untuk peluang mendapatkan photo card yang lebih beragam. Kpopers tidak bisa hanya membeli photo card saja, sehingga kebanyakan dari mereka membuang sisa dari boxset. Bagi Kpop4Planet, kreasi seniman semestinya tidak berhak berakhir menjadi sampah.
Protes ini tentu berdasar. Bagaimanapun, perusahaan hiburan memiliki kuasa untuk dapat merancang produksi, mengemas, dan mendistribusikan merchandise. Pengemasan boxset dengan isi photo card acak merupakan pilihan sadar untuk meningkatkan penjualan. Namun pada praktiknya, efektivitas merchandising ini perlu ditakar ulang.
Produksi merchandise musik biasanya bertepatan dengan agenda tur, perilisan album atau single, bahkan dalam banyak kasus, produksi merchandise merupakan satu agenda tersendiri tanpa menunggu momen.
Cenderamata yang biasanya diproduksi dalam bentuk kaus ini merupakan jalan pintas bagi musisi untuk mendapatkan uang untuk paling tidak menutup biaya produksi bermusik. Karena tak bisa dipungkiri, penjualan rilisan fisik musik mengalami tren yang menurun setelah era pemasaran musik digital. Sementara royalti dari pasar musik digital tak bisa dikatakan masuk akal.
Pada titik inilah musisi ditantang untuk dapat menakar laku kekaryaannya. Seperti dikatakan oleh Arsita Pinandita dalam catatan kuratorial Music Merch Fest 2023, “Fokus utama band ialah pembuatan karya musik.”
Mungkin kita kerap mendengar lelucon dengan nada “Ini band atau distro?” dalam perkara ini. Dengan lelucon semacam ini, paling tidak diskursus menyoal merchandising musik bisa bergulir ke arah yang lebih produktif. Ini bisa menjadi kritik kepada musisi untuk dapat menjaga produktivitasnya dalam bermusik, menjaga kualitas produksi merchandise (baik secara material maupun filosofis), serta menantang kreativitas musisi untuk lebih cerdik dalam upaya mencari pendapatan.
Sejatinya tidak pernah ada praktik gatekeeping pada musisi untuk sampai pada batas apa hingga mereka bisa memproduksi merchandise. Namun seperti yang disampaikan Arsita Pinandita, perlu bagi musisi untuk dapat menjaga reputasi positif dengan menyelaraskan produktivitas bermusik, merchandise, dan kualitas hubungan, baik kepada para pendengar maupun pada lingkar kreatif yang berkelindan dengan skena musik.
Dalam gagasan produksi, tentu ada sejuta kemungkinan dalam produksi cenderamata musik bahkan tak terbatas. Meski musik hanya menjual gelombang suara, sejatinya jualan musik tidak pernah hanya sekadar suara. Dalam proses pembuatan sampul rilisan musik saja, paling tidak musisi bekerja sama dengan seniman rupa. Dalam era digital ini, menjadi kewajaran juga bagi musisi untuk membuat karya video. Tak terbatas apa yang dapat digagas dalam perkara produksi kebendaan.
Ini bisa menjadi jawaban agar musisi tidak lantas dikatakan sebagai distro (dalam makna yang disederhanakan: toko pakaian). Kaus benar merupakan medium yang dapat mengakomodir kebutuhan estetis sekaligus praktis. Namun ini bukanlah satu-satunya jalan pintas yang telah disebutkan di atas.
Jika tujuannya adalah uang, semua hal bisa dikomodifikasi. Seperti Grrrl Gang yang menjual madu bahkan JKT48 yang menjual jabatan tangan. Itu semua, bagaimanapun juga, berhasil membangun pengalaman dan hubungan emosional antara musisi dengan penggemarnya.
Dalam pandangan estetis kebendaan, dalam rangka merawat pengalaman ini, merchandise semestinya memiliki daya ikat emosional yang kuat, dan ini perlu ditunjang dengan gimik yang ciamik. Dalam pandangan tersebut, merchandise semestinya lebih bisa dipasarkan dengan dalih kolektibel/barang koleksi daripada barang praktis; lebih pada nilai pengalaman daripada fungsi. Dengan ini, kualitas merchandise musik (baik secara material maupun filosofis) bisa tetap terjaga.
Jika kita kembali berbicara kaus, paling tidak kaus ini akan bertahan selama sepuluh tahun di dalam wardrobe yang sama. Karena kita tentu tidak ingin menyaksikan kaus band terbuang setelah satu tahun pemakaian. Sejatinya setiap kreasi pada mulanya merupakan destruksi. Kaus yang kita beli itu sudah menyengsarakan banyak buruh garmen, jadi alangkah lebih baiknya jika kita bisa merawat nilainya sebelum menjadi polutan.
Apa yang tergambar dari fenomena Kpopers di awal mungkin bisa menjadi bahan pandangan baru dalam proses penciptaan ekosistem merchandising yang lebih berkesadaran; tak hanya mementingkan penjualan melainkan juga menjaga hubungan baik secara emosional antara produsen (musisi dan agen) dan penggemar. Kemudian beranjak dari titik ini, adalah bagaimana ekosistem ini mampu menjangkau lingkaran isu yang lebih luas; tak hanya perkara kreativitas, namun juga bab kesejahteraan maupun kelestarian lingkungan.
Dalam skena musik independen, kita tidak pernah kekurangan kepala-kepala penuh ide kreatif dengan gimik yang ciamik. Maka setelah ini, mau jualan apa lagi?
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Hanna Luthfiani / @nyonghanna