Pameran Poster Propaganda Visual ‘Habis Gelap Terbitlah Gelap’: Lupakan Etika, Tugas Seni adalah Menciptakan Ketakutan bagi Penguasa

Poster propaganda dalam pameran ini adalah estetika resistensi yang tumbuh dari partisipasi banyak tangan, suara, dan gagasan.

Netizen resah setelah menyaksikan video klarifikasi Sukatani atas lagu Bayar, Bayar, Bayar. Dalam videonya, Alectro Guy dan Twisted Angel meminta maaf kepada institusi kepolisian karena dianggap telah mencoreng nama baik mereka.

Pasalnya, lagu tersebut memuat lirik yang vulgar dalam menggambarkan kebobrokan sistem kepolisian, yaitu anggota polisi acap kali meminta biaya tambahan ketika mengurusi kepentingan publik. Sukatani berdalih bahwa mereka hanya ingin menyampaikan kritik terhadap “oknum” polisi yang gemar melakukan pungutan liar.

Dengan cepat, tagar #KamiBersamaSukatani bergema di platform X. Netizen curiga Sukatani mendapatkan intimidasi dari polisi (terbukti dari pernyataan Divpropam Polri bahwa mereka sedang memeriksa enam personel terkait kasus Sukatani).

Netizen akhirnya menggaungkan protes terhadap polisi dengan berbagai cara: melakukan remix lagu Bayar, Bayar, Bayar dengan sentuhan berbagai jenis genre hingga menciptakan poster protes dengan nada dan gambar yang lebih garang, dan lain sebagainya. Karena tebaran poster di media sosial saja tidak cukup, maka poster-poster itu perlu dicetak dan dipamerkan kepada khalayak umum.

(dok. Hifzha Aulia Azka)

“Pameran Poster Propaganda Visual: Habis Gelap Terbitlah Gelap”, begitulah tajuk yang disebar oleh akun Instagram @barengwarga, @arsita_pinandita, @brsk.merchandise, dan @pasifisstate. Ajakan ini untuk mengumpulkan poster dari para netizen yang berkaitan dengan isu “pembredelan” Sukatani yang akan dipamerkan di Libstud, Sleman, Yogyakarta.

“Sukatani juga mengekspresikan perlawanan melalui berbagai simbol visual. Mereka menggunakan topeng yang identik dengan para pekerja kasar yang juga sebagai anonimitas dan representasi bagi masyarakat yang terpinggirkan,”

tulis Arsita Pinandita, kurator pameran.

Sebelum pameran resmi dibuka, ada sesi diskusi yang membahas soal estetika keterlibatan. Diskusi ini dipandu oleh Yuris Rezha perwakilan Pusar Kajian Anti Korupsi FH UGM, Kiki Pea jurnalis dan vokalis band Megatruh Soundsystem, dan Arsita Pinandita kurator pameran.

Ketiganya membahas sejauh mana keterkaitan antara musik dengan karya visual serta lebih jauh memaparkan bahwa sepanjang lintasan sejarah, seni, khususnya musik, bisa menjadi alat protes yang ampuh membikin geram penguasa.

Menurut Kiki Pea, Sukatani bukanlah band pertama yang menciptakan lagu protes terhadap sistem korup negara. Dalam konteks Indonesia, band Rotor pada tahun 1993 pernah menciptakan lagu berjudul Peluit Phobia yang mengkritik peraturan polisi yang menjatuhkan denda bagi pengendara yang melanggar aturan lalu lintas.

Rotor marah karena denda itu memberatkan bagi rakyat miskin dan bagi orang kaya ringan saja membayar denda. Menurut Kiki, lagu itu bahkan lebih galak dan ia membayangkan jika tahun segitu sudah maraknya media sosial, kemungkinan Rotor pun ditangkap polisi. Begini penggalan lirik Peluit Phobia milik Rotor: 

“Pada tahun 1993, polisi serasa Israil
Saat berlaku UU LLAJ, siapkan ratusan ribu. Bangkrut!

Selanjutnya, Kiki menganggap bahwa lagu Bayar, Bayar, Bayar adalah bom waktu. Kiki mengaku mengenal duo Sukatani sejak dua tahun lalu ketika dirinya sedang membuat film di bawah program Rekam Skena di Purbalingga.

Kondisi wilayah Purbalingga yang sarat akan penindasan oleh instrumen negara membentuk lagu-lagu Sukatani tampak lantang menyuarakan keresahannya. Contohnya saja: konflik agraria, pembubaran perpustakaan jalanan, pembangunan bandara Angkatan Udara yang menyebabkan hilangnya area bermain anak-anak, dan lain sebagainya.

“Sukatani bisa dibilang dia mempunyai paket lengkap dari apa yang dibutuhkan budaya populer, dalam konteks perlawanan. Kenapa? Secara visual sangat mengancam. Secara lirik lugas. Tidak terlalu banyak bunga bunga. Musiknya pun punk walau dibumbui elektronik,”

ujar Kiki Pea.

Sukatani meledak dan menimbulkan ledakan-ledakan lainnya. Kiki mencontohkan, berkat lagu Bayar, Bayar, Bayar rekam jejak Sukatani mulai dikuliti berbagai media secara masif, dari album hingga dua sosok di balik topeng Sukatani. Maka, tak heran semua mata tertuju pada Sukatani.

Seniman Tak Harus Pusing Akan Etika, Tapi Estetika

Arsita Pinandita, kurator pameran, berpendapat bahwa Sukatani telah menyelesaikan tugasnya sebagai seniman. Menurutnya, seniman tidak perlu dipusingkan mengurusi wilayah etika, tapi justru menaruh perhatian pada estetika. Ketika seniman telah menghasilkan karya dan sudah beredar di publik, ia telah lepas dari karyanya. Lalu, masalah karya itu mendapatkan perhatian lebih besar adalah konsekuensi dan karya itu pun masuk ke perbincangan etika.

Arsita memandang fenomena meledaknya Sukatani lewat Bayar, Bayar, Bayar disebabkan oleh konteks masyarakat kita hari ini telah menjadi konsumen sekaligus produsen dalam waktu bersamaan. “Dan itu tidak terjadi dalam konteks masyarakat di 90-an. Mereka hanya jadi konsumen tidak bisa jadi produsen. Makanya, beberapa orang menyebut semua orang itu seniman,” paparnya.

Dalam proses kurasi, Arsita dan teman-teman mengaku memilih karya yang mudah dipahami banyak publik dan secara tegas mengabaikan soal etika. Menurutnya, ia bahkan tidak peduli dengan batasan dalam berkesenian yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

“Kita melakukan seleksinya yaitu jelas pesannya mudah disampaikan atau dia mempunyai teknis artistik yang mudah dipahami banyak orang. Saya dan teman-teman menanggalkan istilah etika. Kita ingin menampilkan kebebasan berekspresi seliar-liarnya,” jelasnya.

Jika kekuasaan takut pada seni, itu berarti seni telah melakukan tugasnya!

Kurang lebih begitu yang tertulis pada tembok sebelah pintu masuk pameran. Poster-poster yang ditampilkan di pameran ini, menurut Arsita adalah estetika resistensi yang tumbuh dari partisipasi banyak tangan, suara, dan gagasan.

(dok. Hifzha Aulia Azka)

Terdapat sekitar 255 poster yang dihadirkan di Pameran Poster Propaganda Visual: Habis Gelap Terbitlah Gelap pada tanggal 27 Februari – 1 Maret 2025 di ruang pameran Libstud. Sekitar 140 seniman dari seluruh wilayah Indonesia bersolidaritas untuk Sukatani yang karya lagunya telah dibungkam oleh polisi.

Arsita menganggap Sukatani membocorkan realitas secara lebih luas. Pembungkaman terhadap Bayar, Bayar, Bayar adalah gambaran dari sistem negara yang timpang, tidak adil, serta sewenang-wenang. Jika kita melihat poster-poster yang ditampilkan di Libstud, sebagian besar dari poster tersebut tampak agresif mengkritik polisi. Mereka tidak terkungkung dalam norma kesopanan yang berlaku di Indonesia.

Sebagai contoh adalah poster yang menggambarkan polisi gendut tertancap tiang kayu yang mengibarkan bendera “1312” beserta ilustrasi topeng mirip dengan Sukatani. Atau poster yang menampilkan salah satu personil Sukatani menampar anggota polisi hingga memuncratkan darah dan terdapat tulisan Pay, Pay, Pay.

Hampir keseluruhan karya kreativitas yang dihadirkan tampil dengan jargon #KamiBersamaSukatani. Mereka mengabaikan diktum “kritik harus membangun”, atau Arsita lebih suka menyebutnya “visual-visual ini ialah bentuk perlawanan: gema kolektif dari suara yang menolak tunduk”.

Pada akhirnya, boleh saja lagu Bayar, Bayar, Bayar Sukatani hilang dari peredaran musik digital, tetapi mungkin mulai saat ini lagu itu akan tersiar lantang di segala penjuru negara.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Hifzha Aulia Azka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Buku 'Kisah Masa Kecil Ibuku': Preservasi Ingatan tentang Kunang-Kunang di Tengah Cahaya Artifisial

Next Article

EP 'Harapan' The Cottons: Berbanggalah dengan Harapan

Related Posts