Kumpulan puisi ini: Puisi untuk Ayah dan Ibu, Menuju Pulang, dan Ramadan Tahun Ini ditulis oleh Munanda Okki Saputro. Mahasiswa Sosiologi di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bergiat dalam kelompok pertunjukan “Monolog Pejalan” yang berbasis di Kota Solo.
Puisi untuk Ayah dan Ibu
Sebelum pulang, kutuliskan puisi
Tepat di bibir pintu kosan yang seringkali telat ku bayar
Kata pertama adalah rindu
Ku kemasi barang dan beranjak membelakangi kamar yang mungkin cukup muak mendengar keluh kesahku setiap malam
Kini istirahatlah sejenak, aku akan pulang
Sampai di rumah kubacakannya pada ayah dan ibu
rindu…
Hanya itu yang terucap dari secarik kertas, disusul peluk hangat
Ternyata puisiku telah gagal dan tak rampung dalam perjalanan
Menuju Pulang
Pada tahun yang melaju begitu cepat
Aku terseret harap yang tak kunjung kudapat
Lebaran seolah telah melambaikan tanganya di depan mata
Rasanya baru kemarin saat kudengar kabar hilal terlihat
Tapi waktu tak bisa kompromi, ia tak peduli
Seberapa siap diriku untuk bertemu ribuan tanya tentang perantauan
Dan wajah-wajah lucu keponakan yang mengharap recehan
Di sepanjang jalan kutemui orang-orang bermotor dengan kardus dan tas yang entah apa isinya
Mereka seolah tergesa-gesa, melalui jalan yang sama
Berhenti di lampu merah, sejenak
Saat lampu telah hijau kulihat mereka kembali melaju
Ada yang tetap lurus, ada yang ke kanan ada yang kekiri
Kemanapun arahnya, rasanya mereka menuju tempat yang sama
Kampung halaman
Kampung halaman
Pikirku kembali tak karuan, apa yang sebenarnya mereka harapkan dariku
Benarkah hanya kedatangan?
Sebab aku sama sekali tak membawa buah tangan
Ramadan Tahun Ini
Sahur dan berbuka
Rasanya hanya mereka berdua yang menemaniku
Mokel hanya sesekali datang menyapaku, ia lebih sering gagal
Sebab terbangun menjelang sore
Benar saja, Mokel telah kalah dengan mimpi-mimpi siang bolong
Tetapi soal berbuka aku tak mau kalah menyambutnya
Tiap sore sekitar pukul lima, kubawa motorku melaju melintas jalan
Di perhentian lampu berwarna merah
Seringkali kudapati sebungkus plastik beraneka makanan, dibagikan cuma-cuma
Ini dia berkah Ramadan
Ramadan membuat maghrib lebih berarti
Yang biasanya lebih sering kalah dengan bising jalanan
Kini menjelang petang orang-orang telah bersiap bertemu denganya
Bahkan menantikanya sejenak, sebelum adzan benar-benar berkumandang
Tak perlu diingatkan, orang-orang telah bersiap untuk berbuka
Perihal sahur, sebelum jam menunjukkan pukul tiga pagi orang-orang telah berkeliling “Sahur… Sahur… Sahur,” suara itu terdengar begitu lantang
Atau disiarkan dengan khidmat pada speaker masjid, mengingatkan untuk menyiapkan makan sahur
Berbeda dengan berbuka yang tak perlu diingatkan, sahur mendapat perlakuan khusus
Sebab orang-orang sering terlena dalam mimpi dan enggan bangun dini hari
Sahur begitu penting sebab tanpanya tak jarang aku gagal berjumpa dengan berbuka
“Imsak… Imsak… Imsak,” suara itu mengejutkanku
Puisi ini selesai saat kumandang itu masuk telinga
Sial, semoga berbuka masih bisa kujumpai petang nanti
Dan tentu Mokel memperbesar peluangnya menyapaku
Siapa yang akan menang?
Berbuka atau Mokel?
Itu adalah tanyaku hari ini yang tak sempat bercengkrama dengan sahur di meja makan
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri