‘Sembojan’ Tigapagi: Satu Lagu untuk September

Tigapagi lewat lagu ‘Sembojan’, jadi pengingat bahwa di balik statistik angka kematian, ada wajah-wajah.

September selalu datang membawa beban memori kolektif. Ia seperti penumpang yang selalu kembali dengan kendaraan berbeda. Tanpa sadar, kita sering kali sudah lebih dulu “parkir” untuk menjemput kedatangannya. Tahun ini, saya enggan menyapa September dengan sopan, sebab negara, lebih-lebih di tahun ini, piawai membuat kita waswas: bagaimana jika memori yang dibawanya justru mengulang pelanggaran lalu lintas sejarah yang tak pernah benar-benar ditangani?

Meski begitu, September punya cara lain untuk hadir. Ia kerap datang dengan selundupan–dalam bentuk kata, piksel, atau audio. Belakangan, untuk memenuhi kebutuhan healing yang instan, saya lebih memilih musik sebagai perantara. Tahun ini, memori September tiba, diam-diam, lewat sebuah lagu.

Lagu itu adalah “Sembojan”, karya grup musik folk Bandung, Tigapagi. Pada 2015, mereka merilisnya dalam format “Entitas Pendek”: tiga fragmen, berdurasi sekitar sepuluh menit. Waktu yang cukup lama untuk merinding, dan terlalu singkat untuk menangis. Mereka sengaja merilisnya di akhir September, seolah menandai perjumpaan dengan ingatan yang tak bisa dihindari. 

Sejak bait pertama, “Sembojan” langsung menampar pada lirik:

Wajah yang hilang berkisar di angka 500 ribu jiwa,
perkaranya praduga gugurkan 7 sekawan.”

Tigapagi dengan cerdik tidak mengambil sikap politik eksplisit, namun konteksnya jelas: peristiwa 1965–1966, tragedi pembantaian massal yang hingga kini masih menjadi luka terbuka di tubuh bangsa.

Menariknya lagi, band ini memilih istilah “Sembojan”–ejaan lama dari ‘semboyan’ (BI: seruan/sinyal/slogan). Ya, semacam alarm dari masa lalu yang terus menggema. Ia menuntut untuk didengar, di tengah berbagai upaya sistematis untuk melupakannya. Bahwa lagu ini lahir berdekatan dengan tanggal 30 September tentu bukan kebetulan.

dok. @tigapagimusic / @ajiarchive.psd

Saat itu, banyak tulisan mencatat bagaimana karya ini memantulkan ulang sebuah tanggal yang selalu ditarik ulur antara sejarah dan propaganda. Ketika kita menatap tajuk “G30S”, kita tahu cerita resmi selalulah rapi; kita juga tahu rak buku sejarah selalu punya ruang untuk versi yang lebih manusiawi–tentang bagaimana kekejaman menyapu, tentang bagaimana label ditempelkan dengan lem yang begitu kuat-rekat.

Secara musikal, “Sembojan” menunjukkan bahwa kelembutan bisa ketus menyampaikan pesan jika kesalahan besar tidak akan selesai dengan kata “maaf”–apalagi jika tidak ada yang berani benar-benar mengucapkannya. Hal tersebut mengingatkan pada tahun 2023, ketika presiden kala itu menyatakan penyesalan atas dua belas pelanggaran HAM berat pada masa lalu, termasuk tragedi 65–66. Pernyataan itu penting, tentu, tetapi penyesalan tanpa pengadilan, tanpa reparasi yang layak, tanpa kronologi sejarah yang jujur, hanyalah amplifier tanpa listrik–ada bentuknya, namun tak berdaya menggetarkan.

Saya sedang tidak meminta lagu menjadi oposisi. Namun mari jujur: ketika kebijakan publik kerap diumumkan tergesa pada tengah malam, kita butuh rujukan etis yang lebih kokoh daripada sekadar siaran pers. “Sembojan”, saya kira menawarkan itu: pengingat bahwa di balik angka statistik ada wajah; di balik tunjangan ada perut; di balik istilah “asing” ada manusia yang pernah salah mengira tembaga adalah mata uang. 

Mengapa “Sembojan” tetap relevan dengan September 2025? Karena ‘mungkin’ narasi sejarah masih menjadi komoditas politik dan polarisasi sosial masih kental. Dalam konteks politik hari ini, di mana narasi sejarah masih menjadi komoditas politik dan polarisasi sosial yang kental, Karya seperti ini menjadi penting sebagai pengingat bahwa bangsa yang tidak jujur pada sejarahnya akan kesulitan membangun masa depan yang sehat. 

Tentu masih banyak yang bisa diulas dari “Sembojan”, termasik detail lirik, aransemen, instrumen, dan lain-lain. Sayangnya, keterbatasan saya dalam pengetahuan musik membuat ulasan ini berhenti pada batas refleksi. Saya berharap orang lain menuliskan satu atau dua analisis yang lebih holistik, agar “Sembojan” mendapat ruang yang lebih luas.

Untuk Tigapagi sendiri, saya kira proses melahirkan karya ini penuh peluh, mengingat bukan perkara mudah menghasilkan karya eksperimental yang mesti dilanjutkan demi tidak berhenti pada nuansa dan gagasan saja, namun juga sampai kepada pengutaraan fakta tentang ke-Indonesia-an yang sakit secara indah. Dengan demikian, barangkali cukuplah mudah bagi penikmat lain untuk mengatakan “ya” sebagai bentuk apresiasinya atas Tigapagi karena mereka sungguh telah menjadikan seni sebagai penyambung lidah masyarakat yang majemuk.

Kalau-kalau ada yang bertanya, “Kenapa Tigapagi?”, barangkali jawabnya sederhana: sebab mereka memberikan analogi yang cantik bahwa pagi adalah waktu terbaik untuk membereskan rumah, sebelum tamu datang, sebelum kabar baru berdesakan masuk, sebelum kembali lupa. Tanpa drama. Tanpa istilah rumit. Hanya kursi yang ditata, jendela yang dibuka, dan satu lagu yang membuat kita memilih untuk terus berjuang. 


Editor: Zhafran Naufal Hilmy
Foto sampul: @tigapagimusic

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

EP ‘Angkat dan Rayakan’ Ananda Badudu: Walau Terjal, Hidup Harus Tetap Dilanjutkan

Next Article

api yang diciptakan seorang laki-laki yang pernah terbakar

Related Posts