Mungkin, yang lebih sering kita hadapi hari demi hari adalah kekalahan; saat mimpi ditebas kenyataan, sewaktu isi dompet kosong yang nihil artinya, ketika tak sempat menyapa keluarga karena pulang terlampau larut, atau kala malam kian temaram dan kita hanya melamun di teras rumah: bagaimana melewatinya? Lewat “Bersemi Sekebun” garapan Efek Rumah Kaca, Herry Sutresna merapal: “dalam rentetan kekalahan, bertahanlah sedikit lebih lama.”
Kelahiran Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan: Kumpulan Esai Musik, Politik, Kegaduhan, dan Kerapuhan (Consumed Media, 2025) —selanjutnya disebut Setiap Api, seperti memberi penerang mengapa Herry Sutresna, termasuk ketika dikenal sebagai salah satu anggota Homicide dan Bars of Death, atau moniker Morgue Vanguard dekat dengan diksi kekalahan, angkara, perang, keberanian, solidaritas, dan tentu saja api. Ia sedang mencatat zaman dan menguak segala kemuraman di hadapan matanya, dari ruang terdekat hingga yang di luar jangkauannya.
Setiap Api berisi esai-esai yang sebagian kecil pernah saya baca di web blog pribadi Sutresna. Kumpulan esai yang sangat tajam untuk dunia musik bawah tanah sekaligus menjadi angin ribut bagi ragam pijakan ideologi politik. Harus ditandai bahwa Setiap Api adalah pemantik kesadaran bagi dunia besar (society) dan dunia kecil (private). Keduanya saling berkelindan dalam kehidupan kita setiap hari.
Saya akan membagi pembacaan pendek saya dalam empat babak, membawa esai Sutresna keluar dari ruangnya—buku. Bahwa Setiap Api telah dipertemukan dengan sekam. Kondisinya sudah mulai mengering seiring waktu berjalan. Sudah saatnya bersiap.
Babak Pertama: Musik
Musik pada pengertian fundamentalnya adalah hiburan. Namun, jika hanya berhenti di situ, kita akan tertampar mentah oleh Sutresna. Ia melihat musik lewat kacamata yang penuh dengan kemungkinan. Berulang kali, di Setiap Api, ia tekankan bahwa musik dapat menjadi bahasa yang mengejawantahkan kerumitan persoalan.
Persoalan yang rutin kita hadapi hari ini adalah bahasa dominan. Bahasa yang digunakan oleh otoritas. Bahasa serupa medan laga yang tak pernah berhenti pertarungannya; saat di mana ia (bahasa) mengambil peran sebagai senjata yang saling berhadapan. Musik, dalam kacamata Sutresna, merupakan bahasa alternatif yang mengambil peran performatif: busur panah.
Sebagai seorang rapper lewat proyek Homicide, Morgue Vanguard, atau Bars of Death, ia mendedah semua itu dalam bentuk yang melampaui lagu belaka. Setiap lagu, dari setiap nama yang ia kenakan, cenderung terdengar sebagai manifesto alih-alih sekadar lirik lagu. Kekuatan bahasa menjadi kunci mengapa karya-karyanya sangat kuat.
Berkat Setiap Api, kita mengetahui bahwa referensi Sutresna benar-benar kaya. Ia melacak pergerakan musik bawah tanah dari medio 70-an hingga 90-an dengan sangat rapi. Tidak hanya berhenti pada musikalitas belaka, tetapi juga ideologi, pergerakan, wacana, hingga pergulatan yang terjadi.
Setiap pelacakan itu ia komparasikan dengan problematika sosial atau domestik. Hal itu menandai bahwa musik baginya adalah medan pertempuran untuk memperebutkan status quo; mulai dari jazz, punk, hip hop, hardcore, metal, dan turunan sejenis lainnya. Musik sama sekali tidak terlepas dari ikatan polemik masalah sosial, politik, dan ekonomi: terjawab atau gagal.
Jika kita mengenal musisi sebagai tempat bersemayamnya sebuah harmoni, maka Sutresna melalui Setiap Api adalah mesin pencetak api. Keterikatan referensi itu terbangun kuat. Silakan lacak diskografi Sutresna dalam berbagai proyeknya. Luasnya bacaan, preferensi wacana komunitas, medan solidaritas, dan pertarungan ideologi di hadapan adalah cetak dasar yang “meruangi” musiknya.
Tak heran bila Rage Against The Machine, Public Enemy, Inside Out, Fugazi, Minor Threat, dan lainnya terus disebut berulang kali dalam kumpulan esainya. Sutresna merengkuh pengertian sekaligus merasakan patah hati atas idolanya. Terlepas dari itu, ia juga memberi catatan khusus pada jazz yang mulanya merupakan musik yang membebaskan, hingga bergeser menjadi kanon.
Persimpangan sepertinya adalah titik yang tepat untuk menempatkan di mana Setiap Api berada. Ia lahir sebagai rangkuman pengertian, pemahaman, hingga peringatan yang belum sepenuhnya berhenti karena waktu, atau mungkin saja tak terhentikan. Sekalipun terdengar pelan di tengah bisik-bisik. Perlahan. Menyebar.
Musik mungkin satu hal, dan referensi—beragam sumber—adalah mesin. Saya mencoba memodifikasi satu kalimat dari Setiap Api; pesan radikal yang ingin disampaikan sebuah lagu tidaklah teredam abstraksi musikal. Ia semestinya sublim dan saling menguatkan. Berkat media sosial, kita mengutip keyakinan Mulyo Basuki: “Candhak tali gocine, Mas!”
Theng! Theng! Theng!

Babak Kedua: Idola
Seumur hidup, sulit untuk tak mengatakan bahwa kita tak pernah mendapat pertanyaan siapa idolamu? Setelah menjawab itu, mungkin kita tidak memedulikannya lagi. Namun, bagaimana bila idola kita mematahkan hati? Sutresna merasakan betul hal itu. Saya akan menceritakan tipis bagaimana hal itu terjadi.
Semua bermula dari sebuah potret Chuck D bersama dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Anthony Blinken, pada 2024 lalu dalam sebuah konferensi pers. Bagi Sutresna yang menginternalisasi karya D sejak sekolah, tentu bukan sekadar mengejutkan. Namun, sepenuhnya telah membuatnya penuh gejolak, dan ia merasakannya: patah!
Orang Mojogedang seperti saya ini ketika mengetahuinya lekas membatin: wong sangar nek patah hati, nggrantese ora nguwati. Seiring perjalanan waktu, benarkah prinsip, nilai, ideologi, dan kata ganti turunannya bergeser pada titik berseberangan? Kita tidak pernah tahu sepenuhnya.
“… pil pahit yang sulit ditelan bagi jutaan penggemarnya,
atau ampas kopi bagi saya di taman skate sepagi itu,” terang Sutresna (hal. 145).
Bayangkan, patah hati di pagi hari karena seorang idola.
Babak Ketiga: Lingkaran
Dalam wawancara di Diskas Media, saya menangkap sebuah pesan sederhana tentang perkumpulan; bahwa sebuah perkumpulan tidak harus besar, tetapi dapat muncul di banyak titik dan saling terhubung. Hal itu sepertinya semangat yang terus digenggam Sutresna hingga kiwari.
Ia terus berjejaring dengan komunitas yang pernah atau masih terhubung dengannya, baik musik, kolektif, inisiasi politik, dan segala jenis perkumpulan yang ia yakini penting menjadi jejaring. Karena itu, keberadaan Grimloc adalah upaya merawat keterhubungan itu, selain terus menjalin komunikasi. Hal ini penting mengingat tidak semua perkumpulan kuat apabila menjadi besar.
Setiap Api mencatat macam perkumpulan yang memiliki konsentrasi berbeda; mulai dari Ujungberung, Tamansari, Kulonprogo, Rembang, dan titik-titik lain, di mana sesuatu bisa saling terhubung. Sutresna menandainya: solidaritas.
Lingkaran adalah api. Ia mampu merawat ide dan mimpi. Meski kadang-kadang terdengar utopis, bagaimana pun lingkaran adalah ruang belajar. Kritik-otokritik memberi ruang keterbukaan pengetahuan. Lingkaran, saya terjemahkan sebagai tafsir dari nukilan judul buku Sutresna, Butuh Sedikit Bantuan – tempat di mana pengetahuan berada.
Babak Keempat: Perkawanan
“Demi masa, waktu terbuangku tak terhitung….
Tak semua kepergian harus diiringi tangisan
Janji kami merekam zaman hingga waras penghabisan
Serupa nyala Ginan dan pijaran bara Sebastian
(Demi Masa – Morgue Vanguard ft. Doyz)
Rentetan panjang antar lingkaran menempatkan kawan menjadi bagian penting perjalanan. Sutresna menyebut Jojon (Balcony), Eben (Burgerkill), Ginan (Jeruji), dan beberapa lainnya dalam Setiap Api. Ia tumbuh karena mimpi bermusik bersama teman-temannya semasa sekolah. Sebagian dari mereka masih meneruskan, berada di balik layar, berhenti, atau sudah kembali ke Yang Maha Kuasa.
Ada juga seorang tukang parkir pembaca Nietzsche, Samuel Huntington, Ali Syariati, hingga Gramsci, namanya Deni, terulas khusus dalam esai “Übermensch Simpang Dago” (hal. 363). Sutresna menyebutnya sebagai intelektual organik. Hal-hal yang barangkali layak menjadi sangkal hari-hari ini di tengah kemunculan wacana kelas pendidikan yang menimbulkan kelas baru.
“Kamu sekolah atau tidak?”
Kita tak pernah tahu mengapa sesungguhnya seseorang kesulitan mendapatkan pendidikan layak. Kita barangkali juga tanggal mencari tahu bahwa pembelajar juga tumbuh di pinggiran; tempat yang jauh dari penerang pengetahuan. Saya merasa bahwa ilmu pengetahuan tersebar dari bungkus tempe itu sungguh benar adanya.
Deni, bagi Sutresna, jelas memberi api pengertian yang meletup. Seseorang yang menghidupi pendidikan adiknya, karena dia tahu bahwa pengetahuan adalah penyadaran. Sutresna memberi ruang khusus bagi kawannya di tempat yang sangat terhormat. Ia mampu menyatakan bahwa batas pengetahuan mesti diretas, meskipun kecil.
Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan hadir di tengah keabu-abuan zaman. Kala menemukan celah adalah cara mengambil sedikit napas. Sulit untuk melepaskannya karena tak sepenuhnya terdapat ruang lega.
Apa yang bisa kita bagi hari ini?
Sedikit bantuan barangkali adalah berbagi pengetahuan. Memberitahu bahwa fungsi bahasa pada akhirnya mesti kembali kepada penggunanya. Pengetahuan kembali kepada tempatnya. Sebab, sulit untuk memprediksi kapan patah hati akan datang. Konon, kata Morgue Vanguard, “tidak hari ini!”
Hujan mengguyur Desember. Sutresna memantik api agar tak padam. Mungkin kita adalah satu di balik makna “setiap” pada judul buku Sutresna. Begitu pula, api seperti apa yang saat ini sedang butuh sedikit bantuan? Pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan belajar, apalagi hujan tengah menderas.
Lewat notifikasi, saya mendapati pesan puitik dari seseorang: kita alami, perlahan. Barangkali, Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan adalah ketika kita mengalami sesuatu. Dalam konteks tertentu mungkin kita hanya perlu merasakan, dan berikutnya adalah pertanyaan tentang kita sebagai manusia: bagaimana?
Judul buku: Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan
Penulis: Herry Sutresna
Editor: Ilham Fadhilah
Penerbit: Consumed Media
Tahun terbit: Cetakan pertama, November 2025
Tebal halaman: 367 halaman
Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto Sampul: X/lord_kobra
