Menjalani pengabdian di masyarakat dalam kegiatan KKN adalah tindakan yang mulia. Mahasiswa harus cermat membaca peluang dengan keterbatasan sarana prasarana. Apalagi jika mendapat keterbatasan jaringan seluler saat di wilayah pedalaman. Oleh karena itu, mendapat tugas sebagai pengirim pesan saat KKN di Mentawai adalah sebagian dari iman.
Menjalani kegiatan KKN selalu dipenuhi momen-momen mendebarkan. Mulai dari merancang program kerja, menyiapkan tim kerja, dan sering kali terdapat drama cinta lokasi di dalamnya. Yang tak kalah mendebarkan adalah memberi kabar kepada orang yang dicintai di tengah susahnya jaringan seluler.
Satu tahun yang lalu, tepatnya Januari 2019, saya mendapat kesempatan mengikuti KKN yang berlangsung di kepulauan Mentawai. KKN tersebut diinisiasi oleh beberapa kampus Katolik di Indonesia. Terdapat delapan kampus dengan masing-masing mengirimkan sekitar 5-6 mahasiswa. Selanjutnya para mahasiswa akan dilebur menjadi tujuh kelompok dengan setiap kelompok terdiri dari latar belakang kampus yang berbeda-beda.
Baca juga: KKN adalah Hal Baik
Penempatan pelaksanaan KKN ini berlangsung di desa Katurei, kecamatan Siberut Barat Daya, kabupaten Kepulauan Mentawai. Bayangkan saja, Kepulauan Mentawai adalah pulau memanjang paling barat dari pulau Sumatra. Pesisirnya langsung berhadapan dengan arus laut samudra Hindia. Maka dari itu, jaringan seluler hampir-hampir menjadi kesunyian masing-masing.
Tujuh kelompok ini akan tersebar di beberapa dusun antara lain Tiop, Matobat, Atateitei, Sarasau, Makakadut, Malilimok, dan Mapailingen.
Tempat terbaik untuk mendapatkan jaringan seluler adalah di Muara Siberut, sebuah pusat keramaian tempat berkumpulnya masyarakat Mentawai. Muara Siberut adalah kota kecil di kecamatan Siberut Selatan. Di Muara Siberut-lah biasanya masyarakat mencari pasar, sekolah, dan kebutuhan hidup lainnya. Termasuk jaringan seluler.
Perjalanan menuju dusun tempat pelaksanaan KKN akan bermula dari Muara Siberut. Memasuki bandar, menikung di persimpangan rawa, hingga menembus lautan menuju teluk Katurei. Perjalanan tersebut memakan waktu kurang lebih 30-45 menit di atas pompong (sampan).
Beberapa dusun di desa Katurei beruntung memiliki fasilitas wifi. Jaringan seluler masih bisa diraih jika kita berdiri di dermaga dusun. Itupun harus penuh kesabaran untuk menjaring sinyal.
Terkecuali dusun Mapailingen, sebuah dusun pemekaran dari dusun Malilimok. Memang seperti dusun-dusun berkembang lainnya, Mapailingen juga memiliki fasilitas wifi di pos pelayanan terpadu. Tapi ya begitu, wifi menjadi barang rebutan bagi setiap orang untuk memberi kabar sanak saudara di luar sana. Begitu pula yang dilakukan teman-teman saya; para mahasiswa KKN.
Mendapat tugas untuk berbelanja ke Muara Siberut adalah permulaan dari tugas mulia, dan yang paling sering mengemban tugas tersebut adalah saya. Selain menitipkan daftar belanja, mahasiswa-mahasiswa KKN akan menitipkan pesan untuk disampaikan ke orang-orang yang mereka cintai. Mereka menulis pesan dengan penuh haru pada secarik kertas. Sisanya langsung pada aplikasi sms di hp saya.
Baca juga: Problematika Remaja dan Langkah yang Perlu Kita Buat
Bagaikan kurir di masa penjajahan, saya mengemban tugas mulia untuk menyampaikan pesan kepada seluruh bangsa bahwa teman-temanku sudah merdeka! Eh maksudnya kepada orang-orang yang mereka cintai bahwa mereka dalam keadaan baik.
Berikut adalah kumpulan-kumpulan pesan singkat mahasiswa KKN yang terbatas jaringan seluler di tengah kepulauan Mentawai.
Setelah mengirimkan pesan-pesan tersebut, saya jadi berpikir, selain mengabdi pada masyarakat dusun Mapailingen, saya juga telah melakukan pengabdian pada keberlangsungan hidup teman-teman saya. Tentu saja dengan mengirimkan pesan-pesan mereka.
Editor: Endy Langobelen
mentawai sekarang apa kabar?